Setelah pertunjukan selesai, Tama melakukan wawancara dengan Randi sesuai permintaan Ayuna. Tidak perlu menunggu terlalu lama acara wawancara itu selesai. Randi sangat senang karena tugas pertamanya terselesaikan dengan cepat dan mudah karena bantuan Ayuna dan juga Tama.
"Terima kasih banyak Kak Tama, sudah bersedia diwawancara, terbantu sekali, terima kasih juga Ayuna, sudah merekomendasikan Kak Tama buat jadi narasumber" wajah Randi tampak begitu cerah. Dia merasa sangat lega karena tugas pertamanya berjalan dengan lancar.
"Jangan sungkan, kalau bisa membantu kenapa nggak," sahut Ayuna.
Setidaknya, Ayuna merasa senang karena bisa bermanfaat buat orang lain. Kebetulan, Tama memang cocok di jadikan narasumber. Bukan tanpa alasan, satu-satunya orang yang di kenalnya di festival itu hanya Tama, tidak ada yang lain. Mungkin dengan begini Tama akan semakin di kenal oleh beberapa orang di luar sana, itu yang Ayuna harapkan.
"Aku juga seneng bisa bantu. Kalau lain kali ada yang di butuhkan untuk keperluan wawancara bisa hubungi aku lagi," Tama juga merasa senang karena dapat membantu kesulitan yang di alami oleh Randi.
"Wah, kalian berdua baik, cocok banget. Udah seperti Couple," Randi melihat kecocokan di antara Tama dan Ayuna. Mereka berdua berpandangan sekilas lalu tersenyum.
Ayuna tidak keberatan, tetapi dia cukup tahu bagaimana dengan Tama, lelaki itu tidak akan menganggapnya lebih dari sekedar sahabat. Apalagi mereka baru saja saling mengenal.
"Tapi kami bukan pasangan, hanya teman. Itu juga baru," Ayuna menimpali pernyataan Randi dengan singkat. Dia tidak ingin Tama merasa tidak nyaman karena hal ini.
"Yun, semuanya berawal dari perkenalan. Mungkin hari ini kalian hanya berteman, tapi suatu saat status kalian bisa berubah. Dari teman, jadi pacar." Kalimat yang di ucapkan Randi ada benarnya, tapi Ayuna tidak berani berharap terlalu jauh. Meskipun, sebenarnya Ayuna menaruh hati pada Tama. Sejak awal bertemu, ia memang sangat mengagumi pria itu.
"Jangan ngaco, Ran. Aku masih pengen sendiri. Aku belum pengen pacaran dulu." Ayuna melangkah menjauh, pura-pura menangkap beberapa objek foto. Dia tidak ingin tertangkap basah salah tingkah di hadapan Tama.
Dia cukup tahu diri untuk mengungkap perasaannya yang sesungguhnya, selain mereka baru saja kenal, Ayuna belum paham siapa Tama sebenarnya. Bahkan dia sempat berpikir kalau kebaikan pria itu hanya sebuah pencitraan belaka. Meskipun hati kecilnya memiliki keyakinan bahwa Tama adalah orang baik, bukan sok baik. Tapi kenangan pahit karena patah hati setelah menjalin hubungan tanpa status dengan Angga, membuat Ayuna sedikit ragu untuk memulai sebuah cinta yang baru.
"Hei..." Tama tiba-tiba hadir di depan Ayuna, membuat Ayuna tanpa sengaja memotretnya.
"Kak Tama, ngagetin aja. Ada apa? Aku kira kakak langsung pulang setelah wawancara dengan Randi," Ayuna lagi-lagi mencoba memotret ke arah lain untuk menghindari Tama.
"Kamu kenapa? Jangan bilang gara-gara Randi, kamu jadi begini. Tiba-tiba bersikap sok sibuk. Apa dugaan Randi benar? Kamu menyukaiku?" Tama tertawa, meledek Ayuna yang berbalik ke arahnya. Secepat kilat gadis itu memberikan klarifikasi.
"Kak, aku tahu diri kok. Mana mungkin aku suka kakak, bukankah kita baru kenal? Aku hanya ingin mengoleksi lebih banyak foto saja," Ayuna kembali pada kegiatannya. Memotret beberapa objek. Meski sebenarnya yang di katakan Tama benar, ia sedang sok sibuk.
"Aku kagum sama kamu, Ayuna." kalimat pendek Tama membuat Ayuna menghentikan apa yang ia kerjakan dan membiarkan kameranya menggantung. Berbalik dan berjalan menyongsong lelaki itu.
"Apa yang membuat kakak mengagumiku? Aku hanya seorang tukang foto amatir tanpa keistimewaan," Sahut Ayuna santai. Menurutnya, ia belum punya hal yang patut untuk di kagumi. Apalagi untuk lelaki yang baru di kenalnya seperti Tama.
"Kamu sosok yang menyenangkan. Kamu juga punya hobi dan bakat yang unik. Kenapa cewek seperti kamu masih menyendiri?" Tama menyelidik, mencoba mencari tahu, apa yang menyebabkan Ayuna masih sendiri.
"Kakak terlalu berlebihan, aku tidak sehebat itu. Aku belum ingin saja, Kak. Lagipula aku tidak bisa pacaran dengan sembarang orang. Aku lebih suka pendekatan yang perlahan, daripada buru-buru pacaran. Ada banyak hal yang harus aku pertimbangkan," Ayuna kembali memotret dan berjalan menyusuri beberapa sudut taman, masih di ikuti oleh Tama. Lelaki itu masih ingin berlama-lama berbincang dengan Ayuna.
"Suatu hari, kalau ada seseorang yang datang dan meminta hatimu, apa kamu akan tetap banyak pertimbangan untuk menerimanya?" entah apa maksud Tama dengan memberikan pertanyaan itu pada Ayuna. Pertanyaan itu membuat Ayuna memikirkan jawaban yang tepat. Dia tidak ingin sampai salah bicara.
"Suatu hari, orang seperti dia memang akan datang, Kak. Aku pasti mempunyai alasan untuk menolak atau menerimanya. Kakak sendiri, bagaimana kehidupan cinta kakak?" karena Tama sudah mengajaknya bercakap tentang kisah cinta, maka Ayuna juga ingin mengetahui perihal kisah asmara lelaki itu. Hal ini justru memberikan Ayuna kesempatan, untuk mengetahui apakah lelaki itu masih sendiri atau sudah memiliki kekasih.
"Aku sudah memiliki seorang kekasih, Ayuna. Namanya Nada. Dia gadis baik dan cantik yang sudah menemani perjalanan hidupku selama ini." kalimat itu keluar dari mulut Tama tanpa keraguan. Entah mengapa ada rasa kecewa yang hadir di dalam hati Ayuna, saat ia tahu, bahwa Tama memiliki seorang kekasih. Ada setitik harapan yang tiba-tiba pupus begitu saja. Tapi situasi ini lebih baik, daripada ia harus mengetahuinya lebih lama lagi.
"Sudah ku duga, kakak pasti memiliki seorang pacar," tanpa sadar, nada bicara Ayuna sedikit ketus. Tama sampai sedikit terkejut saat mendengar nada bicara gadis itu.
"Tapi meskipun aku memiliki pacar, aku masih boleh berteman denganmu, kan?" Tama dapat membaca raut kekecewaan di wajah Ayuna. Tapi dia memang harus jujur pada gadis itu, sebelum kenal lebih jauh dan lebih dalam. Tama bukanlah tipe lelaki yang ingin memberi harapan palsu.
"Tentu saja, Kak. Aku tidak merasa keberatan, lagipula kakak orang baik, mana mungkin aku menolak berteman dengan kakak hanya karena kakak sudah punya pacar." meskipun kecewa, Ayuna tidak akan mengakhiri hubungan pertemanan mereka hanya karena hal tersebut. Menurutnya, masih ada banyak alasan yang membuat hubungan pertemanan mereka harus berlanjut.
"Terima kasih, Ayuna. Aku harap, kamu bisa jadi sahabatku, mulai hari ini. Aku ingin kita bisa saling berbagi, kesedihan kamu adalah kesedihanku, dan begitu pula dengan kesedihanku, aku akan berbagi denganmu," Tama berbicara serius pada Ayuna. Ia ingin perempuan yang ada di hadapannya itu menjadi sahabatnya.
"Kenapa harus aku?" tanyanya. Ayuna kembali berjalan dan mencari objek lagi. Tama kembali mengejarnya.
"Jangan tanya kenapa harus kamu, aku nggak tahu. Tapi aku merasa kamu yang paling cocok menjadi sahabatku.”
"Baiklah, aku anggap kamu sudah memberi alasan,kita mulai sekarang bersahabat, kakak." Tiba-tiba Ayuna iseng memotret Tama asal.
"Hei, wajahku pasti jelek tadi, ayo hapus," protes Tama.
"Nggak, kak. Aku nggak akan hapus fotonya. Biar saja jadi kenang-kenangan," Ayuna tertawa jahil. Ia berusaha melarikan diri dari kejaran Tama yang ingin merebut kameranya.
Mereka melanjutkan perdebatan tentang foto asal itu. Akhirnya Tama mengalah dan mengizinkan Ayuna menyimpan fotonya yang tidak tahu ekspresinya seperti apa. Melihat senyum yang merekah di bibir Ayuna, hal itu menyejukkan hati Tama. Baginya, bertemu dengan Ayuna adalah sebuah keajaiban.
"Ya sudah, ambil saja. Aku tidak menginginkannya lagi." kata cowok itu menyerah.
"Serius?" Ayuna mengoreksi.
"Iya, serius. Aku tahu, mungkin kamu butuh foto itu untuk mengusir tikus di rumahmu." Tama tertawa karena kalimatnya sendiri. Ayuna tidak menyahut, hanya mendaratkan pukulannya di lengan lelaki itu.