Mentari masih menunjukkan garis merah di ufuk timur. Ayam berkokok bersahutan menandakan fajar telah tiba. Seperti pagi ini, aku sudah bangun subuh untuk menyiapkan keperluan sekolah Habib. Aku berencana akan pergi ke sekolah Habib. Untuk membayar uang SPP yang tertunda selama enam bulan. Itu pun hanya akan dibayar separuh untuk menangguhkan. Agar Habib tidak dikeluarkan dari sekolah. Setelah menyiapkan sarapan singkong rebus aku membangunkan Habib untuk sekolah.
“Habib, bangun, Nak!” ucapku sembari mengguncangkan tubuh Habib, yang meringkuk di balik selimut.
Habib mengerjap perlahan membuka matanya. Dilihatnya jam dinding yang sudah tua menunjukkan pukul enam pagi.
“Bunda,” panggilnya.
“Iya, Nak.”
“Habib, mau mandi dulu dan melaksanakan salat subuh.”
Aku mengangguk pelan. “Iya.”
Habib beringsut dari tempat tidur busa yang tipis, lalu menuju kamar mandi belakang untuk mandi, dan setelah selesai dengan ritual mandinya, dia melaksanakan salat Subuh. Hari ini dia kesiangan karena aku tidak membangunkannya untuk salat Subuh di masjid. Biasa pukul lima pagi, Habib sudah bangun mendengar azan lewat masjid yang berkumandang. Rumah kamu tidak jauh dari masjid. Hanya berjarak sekitar 200 meter dari tempat tinggal yang sekarang kami tempati.
Setelah semuanya selesai dia kerjakan, Habib pun keluar dengan memakai seragam sekolah. Baju putih panjang yang sudah terlihat lusuh sudah terlalu lama dipakai.
Sejak dari kelas satu sampai sekarang kelas lima SD, Habib hanya punya satu pasang baju untuk dipakai. Kalau basah aku akan menjemurnya, dan pagi sebelum Habib sekolah aku terlebih dulu menyetrika agar tidak terlihat kusut. Bahkan celana pun hanya satu tidak ada yang lain untuk dipakai sebagai ganti. Kini Habib sudah terlihat mulai tinggi. Celana yang dulu kepanjangan, sekarang sudah terlihat mulai menggantung di atas mata kaki.
Habib memakai seragam SD Tsanawiyah karena memang dia sekolah di Ibtidaiah sekolah islam terpadu.
“Bunda, Habib takut pergi sekolah karena belum bisa melunasi biaya sekolah yang tertunda,” keluhnya.
Aku menghela napas berat. “Bunda akan bayar separuh dulu, Nak. Agar kamu tidak dikeluarkan dari sekolah.”
“Bunda dapat uang dari mana untuk melunasi uang sekolah, Habib?”
“Bunda masih ada sedikit uang simpanan untuk membayar rekening listrik. Bunda bisa pakai itu dulu untuk menutupi biaya sekolah kamu, Nak,” jelasku menghibur.
Aku meletakkan potongan singkong rebus ke dalam piring Habib. Umbi itu kemarin sore kucabut, dan direbus untuk mengganjal perut anak-anak agar tidak kelaparan saat berangkat menuntut ilmu.
“Bagaimana listrik kita nanti kalau diputus Bun?”
“Kamu gak usah pikirkan itu, Nak. Yang penting sekolah saja biar pintar. Soal p********n listrik biar Bunda yang urus,” jawabku sedih. Walau hati juga terasa perih. Namun sebisa mungkin kutahan. Agar tidak kelihatan lemah di depan Habib.
Habib kemudian memakan singkong rebus pemberianku. Masih hangat, baru dimasak tadi sehabis salat subuh. Keadaan ini tidak membuat dia kaget ataupun manja, baginya sudah biasa karena memang bukan Cuma sekali saja Habib makan singkong, untuk mengganjal perut yang lapar. Namun, sudah sering hal seperti kami tiap hari dialami oleh keluarga sejak dulu.
Jika aku tidak punya uang, maka mereka berdua hanya akan kuberi singkong rebus saja yang dimasak dengan memakai garam. Habib tidak pernah mengeluh ataupun protes. Habib paham betul jika bundanya tidak masak, dan hanya memberinya makan singkong rebus pasti tidak lagi ada uang.
“Bunda tidak makan?” tanya Habib kemudian. Aku hanya menggeleng saat Habib bertanya kepadaku.
“Tidak, Nak. Bunda sedang berpuasa,” jawabku datar. Untuk apa juga makan kalau tidak ada bahan makanan untuk mengisi perut. Lebih baik puasa menahan lapar dapat pahala.
“Ooh.”
Setelah menyelesaikan sarapannya, Habib lalu bergegas memakai tas sekolah yang sudah banyak jahitan. Dia tidak merasa malu memakai tas sekolah itu. Meskipun tas lusuh yang kemarin kubelikan sudah banyak jahitan dan tambalan sana-sini.
“Ayo kita berangkat!” ucapku sembari menggendong Nara.
“Ayo, Bun,” sahut Habib mengulas senyum.
Tidak lama kemudian, kami berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Kami berangkat dari rumah pukul 6.30. Sesampai di sekolah pukul tujuh lewat lima belas menit. Jarak yang ditempuh dari rumah ke sekolah lumayan jauh. Melewati kebun sawit, dan sungai karena letak kampung kami agak ke tengah. Jadi untuk tiba di tempat tujuan harus melewati beberapa persawahan, dan perkebunan warga desa.
Setiba di sekolah aku segera menemui guru yang ada di kantor, untuk menyelesaikan biaya SPP Habib.
Di depan kantor sekolah aku berdiri dan mengucap salam.
“Assalamualaikum,” ucapnya.
“Waalaikumsalam,” jawab Ustaz Rahman.
“Ayi, ada apa kamu datang ke sekolah?” tanyanya heran.
Tidak biasa aku datang ke sekolah.
“Maaf, Ustaz. Dimana ruang guru bendahara, ya? Aku mau bayar tunggakan uang sekolah Habib,” kataku.
Aku menundukkan kepala tak berani menatap pandangan ke arah Ustaz Rahman. Tatapan Ustaz Rahman seperti elang yang sedang mencari mangsa.
“Oh, itu, masuk saja! Bendahara ada di dalam.” Tunjuk Ustaz Rahman ke ruang bendahara.
Aku mendongak, lalu mengikuti arah yang ditunjuk Ustaz Rahman.
“Terima kasih, Ustaz,” lanjutku. “Permisi.”
Ustaz Rahman mengangguk. “Iya.”
“Assalamualaikum,” ucapku berpamitan.
“Waalaikumsalam,” jawab guru bendahara.
“Maaf, Bu. Saya ingin membayar tunggakan uang sekolah, Habib,” ungkapku.
“Silahkan duduk, Bu!”
“Iya, terima kasih.”
“Em ... maaf, Bu. Saya hanya bisa membayar tunggakannya tiga bulan saja,” ucapku kemudian. Kuremas ujung hijabku demi mengurangi kegugupan.
“Iya. Tak apa, Bu. Tapi kami dari sekolah mohon maaf. Untuk sementara Habib kami sekor tidak boleh sekolah. Jika uang tunggakannya belum dilunasi,” lanjut bendahara.
Aku menarik napas berat. “Apa tidak ada cara lain agar bisa terus sekolah, Bu?”
Bendahara menggeleng. “Tidak.”
“Tolonglah, Bu. Saya mohon kebijakan dari sekolah. Agar anak---saya bisa tetap sekolah,” pintaku memelas. Berharap pihak sekolah memberi keringanan. Namun, aku harus kecewa mendapat penolakan mereka.
“Sekali lagi mohon maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas tapi tidak bisa membantu.”
“Ya, sudah kalau gitu,” lirihku.
Aku langsung mengambil uang dari saku gamis, lalu menyerahkan pada bendahara sekolah.
“Tiga bulan, ya, Bu?”
Aku mengangguk. “Iya.”
“Sudah saya catat, Bu.”
“Iya, makasih. Permisi,” ucapku kemudian. Setelah membayar uang SPP yang belum terbayar lunas, agar Habib bisa sekolah.
Aku melangkah dengan gontai. Meninggalkan ruang kantor sekolah. Harapan tak semanis impian. Habib harus disekor dari sekolah untuk sementara
Setiba di luar aku segera ke ruang kelas Habib, dan mencari keberadaannya di antara anak-anak yang duduk di bangku kelas.
“Habib!” Teriakku melambaikan tangan kepada Habib.
Habib datang menghampiriku yang berdiri di ambang pintu kelas. Memperhatikan murid yang lain seumuran dengan Habib memakai seragam baru.
“Ada apa, Bunda?” tanya Habib.
“Kita pulang yuk!”
“Kenapa pulang, Bunda? Habib, kan mau sekolah?”
“Bendahara tadi bilang, kamu belum boleh sekolah kalau Bunda belum bisa melunasi uang sekolah kamu. Kamu belajar di rumah saja dulu sementara waktu sampai Bunda bisa melunasi uang sekolahnya,” jelasku menghibur hatinya.
“Em ... Bunda, Habib mau sekolah sekarang.”
Aku menunduk dan mensejajarkan dengan ketinggian Habib. Tanganku dengan lembut membelai rambut anak lelakiku yang kini sudah mulai beranjak remaja.
“Sabar, Nak. Nanti ... kalau Bunda punya uang akan dilunasi dan kamu bisa sekolah kembali, ya?” Bujukku berusaha menghibur.
Kuelus pucuk kepala Habib dengan mata berembun. Tidak berdaya menghadapi situasi ini.
Habib terlihat bersedih mendengar ucapanku. Apalah dayaku yang tidak punya biaya. Segera dia kembali ke dalam ruang kelas untuk mengambil tas sekolahnya, lalu kembali pulang.
Aku hanya memandang Habib dengan mata yang berkaca-kaca. Hatiku sakit melihat Habib. Anakku harus pulang karena ketidakadaan biaya untuk melunasi tunggakan uang sekolah. Perih terasa menyayat kalbu bagai disayat sembilu.
“Maafkan, Bunda, Bib. Bunda belum bisa menjadi orang tua yang baik untukmu,” batinku berkata.
Sudut mata ini kini mulai mengembun. Wajah juga terlihat sedih, dan muram.
Dari dalam kelas Habib mengemasi, kembali buku pelajarannya yang sempat dikeluarkan tadi. Dan memasukkan kembali ke dalam tas. Dia berjalan gontai menuju ke arahku tanpa menoleh ke belakang.
“Habib!” panggil Satria teman sebangkunya.
Habib menoleh membalikkan badannya ke arah Satria. Dia menatap sayu ke arah teman sebangkunya.
“Iya,” sahut Habib.
“Kamu mau ke mana kok bawa tas. Kayak mau pulang aja?” tanya Satria.
“Aku memang mau pulang, Satria.”
“Loh, kenapa kamu pulang, Bib? Kan’ pelajaran belum dimulai. Sebentar lagi Ustaz Rahman datang mengajar. Kenapa kamu pulang, Bib?” tanya Satria lagi.
“Iya. Aku tahu, Satria. Tapi pihak sekolah memintaku pulang karena Ibuku belum melunasi tunggakan uang sekolah tiga bulan lagi,” tutur Habib. Dia pun segera berlalu dari hadapan satria, dan keluar dengan menjinjing tas bututnya.
Sesampai di depan pintu kelas Habib menghampiriku yang sudah menunggu dari tadi bersama Nara. Berdiri menunggu sambil menggendong Nara adiknya dengan gelisah.
“Ayo, Bun. Kita pulang!” ucapnya.
Aku mengangguk lalu mengiyakan ucapan Habib. “Ayo, Nak.”
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah beriringan dengan Habib di sampingnya.
***
Di dalam kelas Ustaz Rahman masuk dan memberikan mata pelajaran agama. Sebelum memulai mata pelajaran dia terlebih dahulu mengabsen murid-murid yang hadir. Seperti biasa para murid akan dipanggil satu-persatu namanya dengan nyaring, untuk mengecek kehadirannya sebelum mata pelajaran berlangsung.
Semua para murid hadir mengisi mata pelajarannya kecuali, Habib yang tidak hadir saat disebut namanya.
“Habib,” panggilnya.
Hening tidak ada jawaban, semua murid terdiam tidak ada yang berani bersuara.
Ustaz Rahman mengulangi kembali panggilannya.
“Habib!”
Tetap hening tidak ada jawaban.
Dia kemudian bertanya pada Satria- teman sebangkunya. Apakah tadi melihat Habib, dan tahu kenapa Habib tidak masuk kelas hari ini.
“Satria,” panggil Ustaz Rahman.
“Iya, Ustaz,” sahut Satria.
“Kemarilah!”
Satria bergegas menghampiri Ustaz Rahman yang duduk di depan ruang kelas membelakangi papan tulis.
“Ada apa, Ustaz?”
“Kamu tahu ke mana teman sebangkumu? Habib kenapa tidak datang?” tanya Ustaz Rahman.
Satria mengangguk. “Tahu, Ustaz.”
“Ke mana dia? Kenapa tidak datang? Apa dia sakit?” tanya Ustaz Rahman bertubi-tubi.
Habib adalah murid paling pintar di kelas. Dia selalu menjadi juara satu tiap pembagian rapor.
Tidak hanya juara kelas saja, Habib juga menjadi juara umum. Dia cerdas karena otaknya yang pintar selalu mendapatkan rangking satu.
Satria menjelaskan dengan gamblang kenapa Habib tidak sekolah hari ini.
“Tadi, Habib sudah datang dan masuk kelas Pak Ustaz tapi dia pulang lagi,” jelas Satria.
“Loh, kenapa?”
“Pihak sekolah menyuruhnya pulang karena dia belum melunasi tunggakan uang sekolah,” jawab Satria.
Kening Ustaz Rahman berkerut. “Jadi, karena itu Habib pulang?”
Satria kembali mengangguk. “Iya, Pak.”
Ustaz Rahman kembali meminta Satria untuk duduk. Dia pun segera menyampaikan materi pelajaran kepada murid-muridnya.
***
Bersambung.