Habib masih menangis sembari memegangi lututnya yang berdarah akibat terjatuh sewaktu mengejar ayahnya. Ada rasa ngilu yang terkoyak menyayat hatiku. Tega-teganya Mas Anan tidak mengakui darah dagingnya sendiri.
“Nak, sudah jangan menangis lagi. Ayo bangunlah!” titahku pada Habib.
Baju lusuh, seragam sekolah yang dia pakai telah menjadi perbedaan status sosial di mata ayahnya.
“Habib Sayang, ayo kita keliling mall ini. Ibu akan belikan mainan mobil-mobilan yang bagus untukmu.” Bujuk Bu Helmi.
Bu Helmi menimpali pembicaraan dengan Habib yang masih terisak, sejak pertemuan dengan Mas Anan tadi yang dramatis.
Binatang saja tahu kalau itu anaknya tapi Mas Anan, seorang Ayah tega melalaikan buah hatinya demi harta, tahta, dan wanita.
Masih segar dalam ingatanku, bagaimana dulu Mas Anan pergi berpamitan merantau pergi mengadu nasib ke Jakarta untuk mencari peruntungan nasib. Dia berpesan agar menjaga kedua anaknya. Bagaimana saat itu, aku melihat air matanya berurai membasahi pipi saat memeluk, dan mencium kedua buah hatinya sebelum berpamitan untuk berpisah.
“Dek Ayi, jaga anak-anak dengan baik, ya selama Mas pergi!” ucapnya lirih.
Mata Mas Anan terlihat berkaca-kaca. Lambat-laun air mata itu jatuh membasahi pipinya yang putih.
Aku mengangguk pelan. “Iya, Mas.”
Sebelum Mas Anan pergi, aku menyalaminya dengan takzim. Mas Anan membalas dengan pelukan salam perpisahan.
Dengan derai air mata dia mengecup kening ini. Aku dan anak-anakku dengan berat hati melepas kepergiannya. Keinginannya begitu kuat untuk pergi merantau ke Jakarta mencari peruntungan nasib. Dari kerja serabutan berharap bisa berubah nasibnya, menjadi seorang jutawan sukses.
“Ayi.” Bu Helmi menyapaku dengan menepuk pundak hingga membuyarkan lamunan seketika. “Ayo kita lanjutkan keliling mall untuk membeli mainan anak-anak dan keperluan yang lain!”
Aku mengangguk pelan dan mengikuti langkah Bu Helmi. “Iya, Bu.”
Hal selanjutnya yang dilakukan Bu Helmi untuk menghibur Habib, dengan menunjukkan beberapa mainan yang ada di mall itu.
Bu Helmi juga membelikan mainan mobil-mobilan yang belum pernah aku berikan untuk Habib. Sementara Nara dibelikan mainan boneka beruang kecil yang lucu.
Aku tersenyum kali ini, di tengah orang-orang yang menjauh karena kemiskinanku masih ada orang baik, seperti Bu Helmi yang mau berbagi rezeki dan kasih sayang yang tulus.
Setelah mendapat semua kebutuhan yang diperlukan Bu Helmi, juga mengajak kami makan di restoran yang ada dalam mall tersebut. Habib tersenyum riang saat mendapat makanan mewah. Dia makan dengan lahapnya hingga tidak menyisakan nasi sedikit pun di piringnya.
“Makan yang banyak, ya, Bib? Biar cepat besar dan jadi anak yang pintar,” ujar Bu Helmi.
“Makanannya enak, Bu. Habib suka,” cerocosnya. Mengunyah ayam yang dibalut tepung, dinamai kentucky freid chicken.
Aku hanya mengelus kepala Habib, saat dia makan dengan lahapnya. Memakai menu ayam goreng populer yang disukai banyak anak-anak.
Dadaku bergemuruh menahan sesak, ternyata bahagia itu sederhana membuat anak tersenyum. Memberi makan enak, dan mainan itulah yang seharusnya dilakukan oleh para orang tua. Namun, berbeda denganku. Keadaanlah yang memaksa tidak bisa melakukan itu semua.
“Pelan-pelan makannya, Nak! Jangan buru-buru, nanti bisa kesedak,” ujarku.
“Iya, Bunda,” sahut Habib berkata dengan makanan penuh di mulutnya.
Aku tersenyum haru, melihat buah hatiku yang sudah melupakan tragedi beberapa menit yang lalu.
***
Dalam perjalanan pulang kami semua terdiam tanpa berbicara satu sama lain. Habib dan Nara sudah tertidur dalam pangkuanku dengan perut yang kenyang.
Hari ini mereka tidak akan kelaparan. Ditraktir Bu Helmi dengan makanan yang enak. Mereka tidak akan makan singkong rebus di rumah, Bu Helmi juga membelikan tiga kotak makanan yang berisi ayam kentucky yang dibeli dari mall tadi.
“Ayi, maafkan, Ibu karena tidak memberitahukan padamu kalau sebenarnya suamimu ada di kota ini,” sela Bu Helmi membuka percakapan.
“Maksudnya?”
“Sebenarnya Bapak dua hari yang lalu bercerita pada Ibu kalau suamimu ada di kota ini. Anan juga akan membangun swalayan besar di pinggiran kota sebelah kampung kita dengan membeli tanah beberapa warga kampung.”
Aku terperangah mendengar penuturan Bu Helmi. Ternyata Mas Anan sudah datang ke kota ini sebelum berkunjung ke gubuk tuaku.
“Jadi … Ibu sudah tahu kalau Mas Anan ada di kota ini?”
Bu Helmi mengangguk pelan. “Iya.”
“Kenapa Ibu diam saja tadi sewaktu, Habib hendak mengejar ayahnya.”
“Ibu tidak bisa menghalangi seorang anak yang ingin memeluk ayahnya. Di dunia ini hanya ada mantan suami atau istri, tapi tidak ada yang namanya mantan anak atau mantan orang tua,” jelasnya.
“Tapi Habib masih kecil, Bu. Belum mengerti keadaan. Alangkah baiknya bila tadi tidak bertemu dengan ayahnya,” lanjutku.
Bu Helmi menarik napas panjang hingga terdengar desahannya. “Demi harta dan wanita suamimu tega berkhianat.”
Aku terdiam mendengar ucapan Bu Helmi. Memang apa yang dikatakannya sangatlah benar. Di dunia ini tidak ada yang namanya mantan anak atau mantan orang tua. Mas Anan sudah menyia-nyiakan darah dagingnya sendiri, demi ambisinya mendapatkan kedudukan tinggi dan terhormat. Dia melupakan darah dagingnya sendiri.
Setiba di rumah, mobil yang dikemudikan sopir pribadi—Bu Helmi berhenti. Aku melihat Ustaz Rahman sudah menunggu di depan gubuk reotku dengan duduk di atas motor maticnya.
Aku turun dengan menggandeng Habib, dan membawa Nara dalam gendongan. Aku sapa Ustaz Rahman dengan mengucap salam.
“Assalamualaikum, Ustaz,” ucapku.
“Waalaikumsalam,” jawab Ustaz Rahman.
Bu Helmi turun dari mobilnya. Dia menghampiri Ustaz Rahman sembari membawakan barang belanjaan yang dihadiahkan padaku.
“Eh, ada Ustaz Rahman. Apa kabar Pak Ustaz?” tanya Bu Helmi.
“Baik, Bu,” jawabnya mengulas senyum.
“Ayi, Habib, ini barang kalian. Ibu pamit pulang, ya?” kata Bu Helmi sembari menyerahkan kantong plastik yang dia jinjing.
“Iya, Bu. Makasih, ya, sudah ajak Habib. Adik dan Bunda jalan-jalan,” ucap Habib.
Bu Helmi tersenyum ramah. “Iya, sama-sama.”
Setelah itu dia membalikkan tubuhnya masuk ke mobil, dan mengucap salam.
“Mari, Ustaz, Ayi, Habib. Assalamualaikum,” ucapnya.
“Waalaikumsalam,” jawab kami serempak. Mobil yang dinaiki Bu Helmi lambat-laun menghilang di balik tikungan.
Aku tidak mempersilahkan Ustaz Rahman masuk ke dalam, karena takut menimbulkan fitnah. Kami hanya berdiri di depan rumah saja berempat. Mengobrol biasa seperti tamu tak diundang.
“Maaf, Ustaz. Ada perlu apa datang ke sini?” tanyaku kemudian.
“Kami dari pihak sekolah sudah rapat bersama Dewan guru dan Kepala sekolah. Besok, Habib sudah bisa masuk sekolah kembali seperti biasa,” jelasnya.
“Hore! Besok Habib masuk sekolah kembali,” sela Habib kegirangan.
Habib melompat-lompat kesana-kemari, mendengar kabar baik yang disampaikan Ustaz Rahman.
“Bagaimana dengan uang sekolah Habib yang belum dilunasi, Ustaz,” potongku.
“Pihak sekolah sudah meringankan biaya uang sekolah Habib dengan memberi biaya beasiswa. Untuk uang sekolah yang menunggak tiga bulan, aku sudah melunasinya secara pribadi,” lanjut Ustaz Rahman.
Aku menarik napas panjang dan menghembuskan secara perlahan. “Maaf, Ustaz. Jadi merepotkanmu.”
Ustaz Rahman menggeleng pelan sembari tersenyum. “Tidak ada yang direpotkan, Ayi. Habib—anak yang cerdas dan pintar. Siapa pun akan tertarik untuk membantunya.”
“Sekali lagi makasih, Ustaz. Sudah membantu meringankan biaya sekolah Habib,” tuturku mengulas senyum.
“Sudah kewajiban sesama manusia tolong-menolong, Ay,” sahutnya tersenyum. “Kalau begitu aku permisi pulang. Assalamualaikum.”
Aku mengangguk. “Waalaikumsalam.”
Kami bertiga mengantar kepulangan Ustaz Rahman sampai di pinggir jalan. Habib melambaikan tangan kepada Ustaz Rahman.
“Da ... Ustaz.”
Ustaz Rahman membalas dengan lambaian tangan kembali sembari tersenyum. Setelah itu, motor yang di kendaraannya melaju, menyusuri jalanan desa hingga menghilang menjadi titik terkecil.
Setelah kepergian Ustaz Rahman kami bertiga masuk ke dalam rumah. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, Habib berpamitan untuk pergi mengaji ke rumah Ustaz Rahman, sekaligus mengajari anak-anak yang lain.
Habib adalah anak yang cerdas, dan juga pintar mengaji. Di usianya yang memasuki 11 tahun sudah bisa membaca Al-Qur’an dengan fasih, dan juga merdu. Sering kali dia dipanggil mengisi pengajian para ibu-ibu kampung hanya untuk sekedar membaca Al-Qur’an. Biasanya untuk mengisi atau membuka pengajian, dia akan dihadiahi makanan atau uang jajan ala kadarnya sebagai ucapan terima kasih.
“Bunda, Habib mau mengaji dulu, ya?” pamit Habib.
Aku mengiyakannya dengan mengangguk. Dia pergi mengaji dengan memakai baju koko pemberian Mas Anan kemarin lengkap dengan pecinya.
“Hati-hati di jalan, Nak!” ucapku.
“Iya, Bunda. Assalamualaikum,” ucapnya sebelum melangkah keluar rumah.
Tak lupa mencium tanganku sebelum berpamitan.
“Waalaikumsalam,” jawabku melepas kepergiannya.
Habib melambaikan tangan padaku dan juga Nara saat berada di jalan.
***
“Assalamualaikum,” ucap Habib memberi salam ketika masuk ke dalam rumah Ustaz Rahman.
“Waalaikumsalam,” jawab Ustaz Rahman.
Anak-anak sudah berkumpul di dalam rumah Ustaz Rahman, dalam ruangan khusus yang disediakan untuk anak mengaji. Mereka berkumpul dan berbaris rapi dan tertib menghadap ke arah papan tulis. Sebelum mengaji Ustaz Rahman akan terlebih dahulu memberikan materi tentang huruf-huruf hijaiyah. Setelah selesai menjelaskan huruf hijaiyah maka akan dimulai pengajian.
Habib mengajar anak-anak yang masih tahap iqro satu dan dua. Sementara Ustaz Rahman akan mengajari anak yang lain, dari tahap selanjutnya hingga sampai Al-Qur’an. Hingga menjelang isya baru akan selesai mengaji, dan salat isya bareng di rumah Ustaz Rahman.
Acara mengaji dan salat Isya sudah selesai dilaksanakan. Anak-anak sudah pulang ke rumah masing-masing dengan dijemput para orang tua. Kalau Habib sendiri tidak pernah aku jemput, pulang dari rumah Ustaz Rahman karena dia selalu mengantarkan Habib pulang tepat waktu sehabis salat Isya.
Deru suara mesin motor berhenti tepat di depan rumah. Ustaz Rahman datang dengan mengantar Habib pulang. Biasa dia akan pulang langsung setelah mengantar sampai depan rumah. Berbeda dengan malam ini, sengaja singgah karena akan memberi kabar baik. Dari wilayah provinsi akan mengadakan lomba MTQ. Ustaz Rahman ingin mengajukan Habib, agar mengikuti perlombaan tersebut dengan hadiah besar.
“Assalamualaikum,” ucapnya sopan.
“Waalaikumsalam,” jawabku sembari menyambutnya di depan pintu.
Aku tidak pernah mengizinkan Ustaz Rahman untuk masuk setiap kali berkunjung ke rumah, takut menimbulkan fitnah.
“Ayi, aku punya kabar baik untuk Habib,” ucapnya.
“Kabar baik apa, Ustaz?” tanyaku penasaran.
“Wilayah provinsi dari seluruh Indonesia, akan mengadakan lomba MTQ yang dilaksanakan pada bulan depan nanti di kota DKI Jakarta. Aku berniat mendaftarkan Habib ikut lomba, agar dia bisa mengembangkan ilmunya,” jelas Ustaz Rahman.
“Maaf, aku tidak punya biaya untuk pergi ke sana, Ustaz,” sahutku jujur.
Ustaz Rahman tersenyum. “Kamu tidak usah khawatir masalah biaya. Jika Habib lulus seleksi maka semua biaya akan ditanggung oleh pihak penyelenggara,” lanjutnya.
Aku hanya mengangguk mengiyakan ucapan Ustaz Rahman, memilih Habib untuk mengikuti lomba MTQ tingkat provinsi.
***
Bersambung.