***
Selamat membaca.
***
Benar kata orang-orang, menajaga lebih sulit daripada memiliki, tapi, memilikumu saja aku tak berani bermimpi, apalagi bermimpi macam-macam, bermimpi kita bisa bahagiah bersama misalnya.
***
“Kayaknya gue butuh reverensi tambahan deh Gwen, mau beli n****+ lagi gue kayaknya,” kata Aretha kepada Gwen, kini dua perempuan itu sama-sama berjalan menuju gerbang, di mana biasanya Aretha dan Gwen mnenunggu jemputan masing-masing.
Gwen hanya mengangguk saat mendengar, “Yaudah sana ke toko buku,” kata Gwen dengan gamblangnya.
“Kalau gue ngajak Marvel, dia mau nemenin enggak ya?” Aretha bertanya kepada Gwen, di kepalanya baru saja terlintas ide itu, bukannya Marvel juga mengatakan bahwa ia siap membantu perempuan itu? Sekalian, sekali dayung dua tiga pulau terlampui, buku refrensi untuk ceritanya dapat, dan bisa jalan-jalan bareng Marvel kan?
Aretha itu manusia yang tidak bisa diberi jantung terlebih yang menawarkan jantungnya adalah Marvel, maka dengan jelas Aretha akan dengan senang hati meminta hal lebih, seperti hati, ginjal, usus dua belas jari, bahkan juga otak Marvel kalau bisa.
Gwen mengangkat bahunya tak acuh, perempuan itu juga bingung bagaimana masalahnya Aretha dan juga Marvel, Gwen juga tidak bisa melarang atau menghalau untuk Aretha berdekatan dengan Marvel, untuk perempum itu meminta bantuan kepada Marvel.
“Gue ajak dulu deh dia, gue coba dulu,” kata Aretha lagi, tangan perempuan itu pun dengan lincah mengirimkan pesan kepada Marvel, tepat saat pesan itu terkirim, mobil jemputan Aretha datang, Aretha pun berpamitan dengan Gwen untuk pulang lebih dulu, di dalam mobil Aretha memadangi ponselnya dengan harap-harap cemas, menunggu pesan itu dibaca oleh Marvel, menunggu pesan itu dibalas oleh laki-laki itu, dan berharap cemas apa isi balasan pesan dari laki-laki itu, apakah Marvel mau menemaninya atau tidak.
Hingga mobil Aretha berhenti di depan rumah bercat putih ponsel yang sedari tadi ia genggam sama sekali tidak menimbulkan pesan balasan dari Marvel, bahkan isi pesan yang Aretha kirimkan hanya dibaca oleh laki-laki itu, rasanya harapan Aretha benar-benar pupus, Aretha rasanya berkali-kali ingin menyerah, tapi, tanpa sadar, semesta yang kembali memberi harapan kepada perempuan itu agar kembali memajukan harapannya, memperjuangkan kisah cintanya dengan laki-laki itu.
Aretha tersenyum pahit, tertawa kecut, ia rasanya ingin mentertawakan dirinya sendiri dengan nyaring, mentertawakan bagaimana harapan itu muncul hanya karena secuil perhatian yang diberikan oleh Marvel sebelumnya kepada dirinya, mungkin bagi Marvel ucapannya saat menawarkan roti kepada Aretha bukan hal yang penting, tidak menimbulkan efek apa-apa bagi perempuan itu, tapi berbeda bagi Aretha yang memang berharap besar pada laki-laki itu, Aretha berpikir seolah-olah Marvel membalas perasaannya selama ini, memberikan perhatiannya kepada Aretha, Aretha hanya berharap agar laki-laki itu bisa menyukainya, membalas perasaanya.
Aretha tidak marah dengan Marvel, ia bahkan berusaha untuk tidak menyalahkan laki-laki itu atas apa yang laki-laki itu perbuat di hidupnya, Aretha hanya bingung kenapa hanya karena ucapan itu dirinya semakin gila begini. Aretha masuk ke dalam kamar dengan tatapan yang tidak bisa dibaca, sedih dan senang menjadi satu di wajahnya, Aretha lagi-lagi melihat aplikasi pesan itu, menampilkan tulisan “Read” dipesannya yang ia kirimkan kepada Marvel, senyum itu pun kembali tercetak jelas, menyadari bahwa Marvel benar-benar jauh dari kehidupan Aretha, Marvel sungguh tidak bisa ditebak. Mungkin yang Aretha lakukan selama ini hanyalah sia-sia, tidak ada artinya sama sekali. Untuk pertama kalinya setelah kejadian Marvel berhasil menyelamatkan Aretha waktu itu, jujur saja Aretha semakin menaruh hati kepada laki-laki itu.
Aretha memilih beranjak dari duduknya, perempuan itu mengganti pakaian seragam dengan baju rumahannya setelah bebersih, melepaskan tas dan juga sepatu lalu ditarushnya di tempanya masing-masing, selanjutnya perempuan itu turun ke lantai dasar rumahnya, menuju tempat makan dan makan siang sendirian melakukan kegiatan yang setiap hari selalu ia ulangi tanpa ada perubahan sedikit pun, sambil meneguk kepahitan, bahwa ia dan Marvel tidak akan lebih dekat dari sebatas teman biasa, sebatas orang yang hanya tahu nama, dan hanya sebatas bahwa mereka teman satu kelas, hanya itu tidak lebih sama sekali, dan Aretha harus paham itu semua, ia harus paham pada posisinya, begitu pun dengan Marvel.
Aretha duduk di depan laptopnya, memandang layar putih denagn kursor yang bergerak tak tentu arah karena ia mainkan, ia lagi-lagi tersenyum kecut saat melihat ponselnya sama sekali tidak ada pesan dari laki-laki itu, jujur saja di dalam hatinya yang terdalam, Aretha masih berharap bahwa pesannya dibalas oleh laki-laki itu, setidaknya Marvel memberikan kejelasan bahwa ia menolak untuk menemani Aretha, tidak hanya membaca pesan itu saja.
Cinta pada pandangan pertama, tulisan itu diketik Aretha tanpa sadar di layar putih di benda elektronik yang ada di depannya, satu persatu kata kini tersusun menjadi sebuah kalimat rapi, dengan perasaan gundah dan juga gelisah, akhirnya semua yang ia rasakan ia tuliskan di sana, sebuah cerita pendek yang Aretha tulisakan hanya untuk Marvel, seorang yang berhasil membuat hatinya jungkir balik, patah dan hancur lebur, lalu bisa kembali dengan utuh hanya karena perhatian yang tanpa sadar laki-laki itu berikan kepada Aretha.
Tepat di tulisan Aretha yang ke tiga ribu kata, ponsel perempuan itu berbunyi, menandakan ada pesan masuk ke ponselnya.
Marvel; Oke, jam lima gue jemput. Sekalian gue mau cari komik, sama temenin cari charger laptop gue ya.
Prank ....
Suara ponsel yang beradu dengan meja belajar Aretha terdengar jelas di dalam kamar Aretha, perempuan itu melebarkan mulutnya, menatap girang ponselnya yang masih saja menampilkan pesan dari orang yang ia tunggu sejak tadi, yang baru saja masuk satu menit lalu ke ponselnya. Aretha sama sekali tidak merasa malu karena ia langsung membaca pesan dari laki-laki itu, bagi Aretha buat apa gengsi, kalau memang sedari tadi ia menunggu pesan dari laki-laki itu. Aretha mengangkat wajahnya, melihat jam dinding yang ada di atas pintu kamarnya, jam empat, satu jam lagi, ia akan bertemu dengan laki-laki itu, dan pergi keluar bersama dengan laki-laki yang berkali-kali membuat dirinya jatuh hati itu.
Aretha; Oke, lo tahu rumah gue kan?
Marvel; Iya
Cepat, sangat-sangat cepat balasan pesan bertulisan “iya” itu masuk ke dalam ponsel Aretha, membuat lagi-lagi perempuan itu terbang sendiri akan pikirannya, apakah Marvel masih stay di room chat-nya bersama dnegan Aretha? Atau apakah Marvel memang menunggu pesan balasan yang akan dikirimkan oleh Aretha, atau ... ayo Aretha siap-siap saja, sebentar lagi, sebentar lagi Marvel akan menjemputmu, dan pergi bersamamu. Aretha masih saja menutup wajahnya yang tiba-tiba berseri dan memerah itu, bahkan bibirnya menggembang begitu lebar karena tidak percaya dengan pesan yang ia baca barusan.
Marvel; Kalau sudah siap chat gue, gue juga mau siap-siap, see you.
Tangan Aretha tiba-tiba gemetar, semuanya, benar-benar membuat Aretha tak bisa berpikir apa-apa lagi, Aretha hanya bisa berharap, ini bukan menjadi pertama dan terakhir kalinya ia dan Marvel jalan bersama, tapi Aretha berhartap ini adalah permulaan dari perasaan yang ia sembunyikan selama ini, permulaan dari titik terang mau dibawa kemana perasaanya nantinya.
Tepat di jam lima sore, Aretha masih saja berada di depan kaca di kamarnya, menenteng dua pasang sepatu yang masing-masing berada di tangan kiri dan kananya. Saat ini Aretha tengah memakai blus berwarna hitam dengan lengan panjang transparan yang mampu menampakan lengan putih perempuan itu dengan samar, perempuan itu juga mengenakan celana jeans sebagai bawahannya. “Ish.” Aretha mendesis sambil melemparkan pelan sepatu ke lantai, dan detik itu juga ia mendengar suara Hermawan di depan kamarnya, memanggilnya untuk segera keluar.
“Tha, ada Marvel di bawah,” kata Ayahnya.
Kalimat itu otomatis membuat kepala Aretha mendongkakan kepalanya, melihat jam yang ada di atas pintu kamarnya. Tanpa tunggu lama ia mengambil flat shoes berwarna sama dengan kulit, mengambil cara aman yang akan ia gunakan saat di depan Marvel nantinya. Senyum Aretha hampir saja terangkat saat melihat Marvel yang mengenakan kemeja hitam berlengan panjang dan celana jeans berwarna senada dengan kemejanya, tak lupa sepatu kets yang laki-laki itu gunakan. Sama-sama berpakian berwarna hitam, perasaan Aretha dan Marvel sama sekali tidak janjian tentang oufit mereka yang akan mereka gunakan hari ini, tapi, tapi kenapa mereka sama menggunakan pakaian berwarna hitam, apakah ini ada kaitannya dengan insting mereka yang ternyata nyambung?
“Vel, gue sudah siap, sekarang aja kali ya, biar pulangnya nanti enggak kemaleman?” tanya Aretha saat manik mata laki-laki itu menatapnya.
Marvel mengangguk, setelahnya ia berpamitan dengan Pak Hermawan karena akan membawa anak gadisnya pergi.
“Naik motor, enggak apa-apa kan?” tanya Marvel saat ia dan Aretha melangkah keluar rumah.
Aretha mengangguk pelan bersamaan ia menampilkan senyum manis, naik apa pun, ia tidak masalah, bahkan kalau Marvel mengajak jalan kaki juga Aretha tidak akan keberatan akan hal itu.
“Kita makan dulu ya Tha, gue belum makan soalnya,” kata Marvel saat mereka sudah berada di tengah jalan, menuju tempat makan kesukaan laki-laki itu.
Mi ayam dengan satu telur di atasnya, makanan kesukaan Marvel yang Aretha hapal sekali. Karena empat dari enam hari di sekolahnya, Marvel selalu makan mie ayam di kantin. “Mau makan apa Vel?” tidak mau merasa terlalu percaya diri, Aretha mencoba bertanya kepada laki-laki itu.
“Mi ayam, mau?”
“Mau.”
Motor bebek Marvel pun melaju dengan kecepatan normal, menuju sebuah tempat makan, sebuah tempat di mana akan menjadi saksi bahwa hari ini, Aretha dan Marvel untuk pertama kalinya makan berdua, di luar.
“Lo enggak suka pedas?” setelah sampai di tempat makan itu, Aretha dan Marvel memesan masing-masing satu mangkok mi ayam, yang kini berada di depan mereka.
Marvel menganguk menjawab pertanyaan dari Aretha, ia benar-benar tidak tahu bahwa ayam yang ia ambil di dalam mi ayam milik perempuan itu sudah tercampuri oleh sambel yang membuat laki-laki itu kepedasan karenanya.
Aretha berdecak melihat kelakuan laki-laki itu, Marvel mengambil makannya tanpa bertanya lebih dahulu, ya oke itu memang sangat tidak sopan, tapi lebih dari itu, Marvel jadinya kepedesan, tiba-tiba saja keringat dingin keluar dari pelipis Marvel, perempuan itu juga ikut-ikutan tidak sabar saat pelayan yang ada di warung itu belum membawakan secangkir air putih yang Aretha pesan sebelumnya.
Aretha berdiri, mengambil sendiri air putih dekat si penjual dan menyerahkan dengan tatapan sendu ke arah Marvel yang masih menahan rasa terbakar di mulutnya. “Sorry, ayamnya sudah pedas tadi,” katanya kepada laki-laki itu.
Marvel mengangguk pelan sambil meminum air yang ada di gelas itu, tanpa sadar setelah melihat Marvel sudah baik-baik saja, Aretha mengambil ponselnya, ingin menceritakan kejadian yang baru saja terjadi dengannya dan Marvel kepada Gwen, tapi satu kalimat yang meluncur dari bibir manis Marvel membuat hidup Aretha semakin terasa getar-getir.
“Kalau lagi makan berdua sama gue, fokus ke makanan aja ya, jangan sambil main ponsel,” katanya laki-laki itupelan.
Jujur saja, suara pelan dari Marvel itu, membuat Aretha rasanya akan terbang ke langkit ke tujuh. Aretha meangguk pelan bahwa ia paham dengan apa yang dikatakan oleh Marvel, perempuan itu menutup ponselnya dan kembali memakan mi ayam yang ada di depannya dengan senyuman yang melebar dengan sempurna.
***