3. Saat semuanya dimulai

1273 Kata
                                                                    Selamat membaca.                                                                                 ___                                     Kadang semesta benar-benar membuatku terluka dan bahagia secara bersamaan, seperti sekarang, bahagiaku adalah bersama kamu, tapi aku juga terluka saat aku tahu, semuanya tak baik-bailk saja disaat kita bersama.                                                                                  ___                 Wajah perempuan dengan rambut sepunggung berwarna hitam pekat itu terlihat pucat, walau ia masih tersenyum dan matanya tertutupi kacamata anti radiasi yang ia beli saat ia sedang gila-gilanya dalam bermain salah satu permainan di ponselnya, Aretha beralibi agar matanya tetap sehat, padahal tetap saja radiasi dari ponselnya membuat jumlah minus di matanya bertambah banyak.                 Tapi, melihat dari wajahnya jujur saja siapa pun yang melihat Aretha, pasti selalu menegur bahwa wajahnya sangat terlihat pucat, sambil bertanya apakah dia baik-baik saja.                 “Gue enggak kenapa-napa,” kata Aretha, Gwen hanya mengangguk lemas, Aretha, berteman dua tahun denan perempuan itu membuat Gwen tahu, Aretha memiliki sifat yang kuat, dalam artian teguh, apa pun yang ia katakan pasti ia laksanakan, walau kadang sifat itu memberikan efek yang buruk bagi dirinya sendiri.                 “Kalau ada apa-apa bilang ya Ta,” kata Gwen lagi, kini dua perempuan yang beranjak remaja itu tangah berdiri di depan gerbang sekolahnya, dua remaja yang berasal dari golongan menengah ke atas, dua remaja yang selalu diantar jempuh dengan mobil mewah itu saling menunggu jemputannya masing-masing.                 Mobil berwarna putih dengan tahun pembuatan 2012 berada di seberang gerbang SMA Benua, memberikan tanda perempuan dengan rambut panjang yang sudah dicapol ke atas itu untuk segera masuk ke dalam mobil. Aretha menepuk pundak Gwen sambil berpamitan, karena mobil dengan unjung plat TAD, warna putih mutiara itu adalah mobil Sella- Ibunya Aretha. “Gue duluan Wen,” katanya berpamitan kepada teman satu bangkunya itu.                 Gwen mengangguk, saat itu Aretha sudah melangkah menuju seberang jalan, tiba-tiba kepala perempuan itu mendadak pusing, pusing, yang sudah ia rasakan sejak satu jam yang lalu, di mana tengah berlangsungnya pelajaran bahasa inggris tapi Aretha mencoba untuk menahannya, ya karena Aretha terlalu males untuk meminta izin ke UKS.                 Suara kelapson motor yang menggema bising itu membuat Aretha tak bisa meggerakan kakinya akibat keterkejutan sekaligus rasa sakit yang tidak hanya terasa di kepala saja yang, yang saat ini Aretha lakukan hanyalah berdo’a, berdo’a agar ia tetap bisa melihat Ibunya, Ayahnya, dan juga, si Tampan kesukaanya, di sana, Aretha berdiri kaku, ia merasakan bahwa berpijak saja rasanya ia tidak sanggup lagi.                “Aretha!”                 “Awas!                 “b**o! Kenapa lo diam aja?!” Bentakan itu diterima dengan lantang saat tubuh Aretha ambruk di pinggir jalan, sakit akibat luka yang kini berada di sikunya membuat Aretha lagi-lagi mengaduh, mengalihakn perhatiannya dari bentakan laki-laki yang menolongnya tadi.                 Sedangkan Marvel sudah berkacak pinggang sambil menatap Aretha tidak percaya, adegan Aretha barusan benar-benar seperti yang ada di senetron televisi yang Ibunya Marvel lihat, diam saat ingin tertabrak, bodoh sekali rasanya.                 Belum sempat Marvel kembali memberikan u*****n kepada perempuan satu kelasnya itu, seorang ibu-ibu dnegan tatapan cemas menghampiri mereka, dan sialnya lagi, Marvel tengah mencaci maki anak dari Ibu-ibu itu.                 “Kamu enggak apa-apa Tha? Kita ke dokter aja ya?” walau diucapkan dengan lembut, Marvel tahu sang Ibu itu tidak dalam keadaan baik-baik saja, dalam arrtian ibu-ibu itu tengah cemas, karena pasti Ibu Aretha melihat dengan jelas bagaimana adegan saat anaknya ingin tertabrak itu.                 Marvel akhirnya memilih membantu Aretha  untuk berdiri, walau sesungguhnya ia benar-benar murka dengan apa yang dilakukan oleh perempuan itu.                 “Terima ka ... Aretha!” Suara Ibu Sella terdengar meninggi bersamaan dengan tubuh Aretha yang ambruk di depan mata Marvel, Ibu Sella, dan Gwen yang akhirnya bisa melangkahkan kaki menuju temannya berada itu.                         Marvel ingin tak peduli, tetapi tubuh perempuan itu tidak bisa ia hindari, hingga tak sengaja ia melihat begitu pucat wajah perempuan itu dari dekat, dengan matanya sendiri. Semua yang ada di sana begitu cemas saat melihat bagaimana keadaan Aretha yang tidak sadarkan diri, tak terkecuali Gwen yang kebetulan belum pulang, Marvel yang merasa mobil berwarna putih mutiaara itu adalah mobil Aretha pun langsung mengotong perempuan itu masuk ke dalam mobilnya, tanpa pikir lama pun Aretha segera dilarikan ke Rumah sakit terdekat.                 Setelah membiarkan mobil itu melaju meninggalkannya, Marvel yang tengah bernapas ngos-ngosan karena telah mengotong Aretha itu pun menatap mobil itu dengan perasaan yang sedikit khuwatir, apalagi disaat ini jam-jam jalanan begitu macet dan sesak, tapi jujur saja dibalik ia yang memarahi Aretha karena kecerobohan perempuan itu merasakan jantungnya yang berdegup begitu menggila saat ia melihat temat sekelasnya itu hampir tertabrak, untung saja saat itu Marvel sedang berbincang dengan Jevan dan Jenan, saudara kembar yang wajahnya begitu mirip, dan hampir tidak bisa membedakan kalau belum berteman akrab dengan mereka.             Marvel yang melihat Aretha masih saja berdiri di tengah jalan dan tak bergerak sama sekali pun berlari sekuat apa yang ia bisa, dan menyelamatkan perempuan itu dari sana. Marvel tiba-tiba menautkan alisnya, aneh, kenapa ia masih memikrikan keadaan perempuan itu, toh Aretha juga sudah selamat, bahkan sudah dibawa oleh orangtuanya ke rumah sakit. Suara dering ponselnya yang saat dilihat nama dari salah satu orang di masa lalunya pun semakin membuat Marvel merasa gerah.             Tepat setengah tahun yang lalu, di mana orang itu memilih pergi untuk meninggalkan Marvel, di situ juga hati Marvel ikut pergi, hilang tak tahu arah, semua, berawal dari sana bagi Marvel, awal dari ia memilih untuk tidak memperdulikan perempuan itu lagi, dan membangun kehidupan baru tanpa orang itu.             Sedangkan bagi Aretha yang kini terkapar dengan pakaian berwana hijau, semuanya berawal dari sini, dari satu kejadian yang membaut hatinya semakin tak karuan, ia ... benar-benar menyukai si tampan, terlebih disaat orang itu membentaknya tadi, tidak mengapa kalau kalian mengatakan bahwa Aretha aneh karena semakin suka dengan orang seperti itu, tapi jujur saja, Aretha menyukai Marvel bukan karena Marvel termasuk dalam golongan orang-orang ramah, tidak, sama sekali tidak, mana ada Marvel pernah beramah tamah dengan orang lain, Marvel itu kaku, dingin dan tidak peduli kepada orang lain, tapi, itu yang membuat Aretha suka dengan laki-laki itu, entah teori dari mana, memang, jatuh cinta kadang membingungkan seperti ini.             “Tha,” panggil Sella, yang kini berada di samping bangkar rumah sakit, di mana Aretha tengah terbaring lemah, ia semakin takut saat Aretha  terbangun dan anaknya itu malah tersenyum sendiri.                 Apakah habis jatuh tadi kepala Aretha terbentur sesuatu yang membuat Aretha mendadak bisa tersenyum sendiri begini? Ah Sella benar-benar dibuat khuwatir kalau begini caranya. “Are you okay Aretha?” tegur Sella lagi, sebelum panggilannya yang ke dua, Sella menautkan alisnya saat tiba-tiba pipi Sylena berwarna merah.                 Sella yang hampir stres karena melihat anaknya yang kelewatan itu pun memilih menelpon suaminya, Putra, agar segera ke rumah sakit, ia bingun Aretha harus dibawa ke rumah sakit biasa, atau ke rumah sakit jiwa kalau begini caranya. Hanya persekian detik Sella menaruh ponsel ke kupingnya, perempuan itu kembali dikagetkan karena kamar rawat Aretha kedatangan tamu.                 “Pah!” panggil Aretha dengan girang, walau tak bisa berlari seperti biasa saat Ayahnya pulang ke rumah sehabais kerja, Aretha masih memgeluarkan suara nyaringnya untuk menyambut kepulangan Ayahnya itu.             Putra benar-benar memasang tatapan yang tidak percaya, kata istrinya, anak sematawayangnya ini kembali diserang darah rendah penyakit Aretha yang memang kadang kambuh, terlebih rata-rata darah Aretha kini tensinya hanya di bawah 100, perempuan itu tidak bisa terlalu memikirkan suatu masalah, bisa berakibat ke kesehatan tubuhnya, atau juga tidak bisa begadang dan stress, maka anaknya itu akan langsung sakit kepala dan bisa saja pingsan.             “Kamu enggak kenapa-kenapa, Nak?” Tanya Putra setelah duduk di samping bangkar anaknya itu. Aretha menggeleng sambil tersenyum, dia tidak kenapa-kenapa hanya merasakan rasa perih di sikunya karena kena gesekan aspal saat ia terjatuh dengan Marvel tadi. Putra memilih tersneyum sambil memeluk putri kesayangannya itu, lalu menatap aneh saat Sella memberikan tatapan tidak suka kepadanya, dan di sinilah semua rencana itu dimulai.                                                                             ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN