Bab 2 Tetangga

1169 Kata
Pukul delapan kurang, aku sudah berada di Bandara International Chennai, menyeret koperku menuruni eskalator. Mataku berkeliling mencari seseorang—yang mungkin membawa papan nama bertuliskan namaku—tapi, aku tidak menemukannya. Sesampai di ruang tunggu aku menyandarkan koper dan duduk di atas sofa, mulai merasa resah. Untungnya aku sudah tidur selama transit di Kuala Lumpur, menikmati berendam di air panas hotel yang terdekat dengan bandara. Lima menit pertama, seorang pria lokal duduk di sampingku. Kopi di gelas kertas yang berada di tangannya mengepul, mengeluarkan aroma yang membuatku mengerutkan hidung, bukan karena tidak suka, tapi menahan untuk menginginkan kopi itu. Aku bisa membelinya. Tapi, di mana? Lelaki itu melirikku. “App ko chahihea?” katanya menyodorkan gelas kertas kopinya. Aku terbelalak hingga alisku terangkat tinggi, apa aku terlihat seperti orang India? “No ... no ... I mean, I can’t speak Hindi.” Aku tidak mengerti maksud perkataannya. Pria itu menelengkan kepala dengan gaya yang khas, mengangkat sebelah alis, tersenyum, kemudian menyeruput kopinya. Aku menelan air ludah. Sekarang laki-laki itu meletakkan kopinya di sofa, dekat sekali denganku—apa dia tidak berpikir, kalau sedikit gerakan saja akan mampu membuat gelas kertas itu teguling? Apa dia tidak berpikir, dengan meletakkan kopi itu di sebelahku, aku semakin menginginkan kopi tersebut—aku menghela napas. Melirik si pria yang kini asyik membaca koran. Bibirnya tebal dengan cambang tipis di sekitar dagu, tanpa sadar aku mengelus dagu. Tulang hidungnya tinggi, berada tepat di antara kedua matanya yang tajam, dengan alis yang ... well ... lumayan tebal. Rambutnya hitam, sedikit ikal dan terpangkas rapi. Seperti umumnya pria-pria India, dia berkulit kecoklatan. Tunggu! Kenapa aku memperhatikannya sedetail ini? Aku segera memalingkan wajah karena malu pada diri sendiri, masih sempat menangkap senyum di sudut bibirnya. Jantungku berdebar. Pipiku menghangat, aku yakin itu karena rona merah yang menjalar di sana. Segera kuraih majalah di meja kecil samping sofa dan membukanya, pura-pura membaca untuk menutupi wajah malu. Tiga puluh menit kemudian, aku melirik gelas kopi di sampingku yang mungkin sudah mulai dingin. Aku meneguk air liurku kecewa. Aku menatap jam di tangan. Oke, ini sudah terlalu lama. Ke mana penjemputku? Dan parahnya aku tidak bisa menghubungi siapapun di sini. Mengeluarkan ponsel dari tas, aku membuka salah satu aplikasi chat setelah mengaktifkan data internet. Aku harus membeli simcard lokal agar tidak terlalu boros memakai data roaming dari kartu yang sekarang kupakai. Mungkin aku bisa menanyakan tentang penjemputku pada Diva.   Binar Bianglala: Tidak ada yang menjemputku di sini! Diva Rarely Valecya: Bagaimana bisa? Binar Bianglala: Aku tidak tahu.                                         Sekarang mintakan aku nomor telepon orang yang katanya                                         mau menjemputku! Diva Rarely Valecya: Masih jam 7 di sini, aku masih di apartemen. Binar Bianglala: Apa yang harus kulakukan? Diva Rarely Valecya: Menunggu.   Mendengus, aku memasukkan kembali ponsel, meletakkan majalah ke tempat semula dengan enggan. Sekarang sudah satu jam. Pria itu masih asik dengan korannya. Tiba-tiba dia melipat koran tersebut, kemudian berdiri dan menoleh padaku. Tanpa sadar aku mendongak, mengikuti tatap matanya. “Ikut saya,” katanya dengan bahasa inggris yang fasih. “Apa?” tanyaku terbengong. “Binar Bianglala, ikut saya atau anda ingin tetap di sini?” Otakku berjalan lambat, tapi begitu menyadari sepenuhnya, aku berdiri dengan marah. Cekatan meraih gelas kopi dan menyiramkan isinya ke arah pria itu. Dia sedikit terlonjak mundur, melihat ke arah kemeja putihnya yang kini ternoda seraya merentangkan kedua tangannya ke samping, menatap tajam manik mataku. Itu membuatku sedikit takut, bagaimanapun aku tidak mengenal pria di depanku ini, tapi mengingat dia membiarkanku menunggu selama satu jam membuatku menyingkirkan rasa takut itu. “Kamu membiarkan aku menunggu!” desisku marah. Tiba-tiba pria itu tergelak. “Perkenalan yang sangat menarik. Sorry...”—dia mengulurkan tangan—“aku Majeed. Majeed Somesh. Rekan selama kamu di Chennai.” Ragu aku menyambut uluran tangannya, namun dia menjabat dengan hangat. Hatiku berdesir. “Saya—” “Binar Bianglala,” potongnya, “aku tahu. Aku mengenalmu dari file yang diberikan atasanku.” Dia meraih koperku yang tersandar dan menyeretnya, berjalan terlebih dulu hingga membuatku mengikutinya. Aku mempercepat langkah hingga separuh wajah menawannya terlihat dari posisiku berjalan. “Jadi kamu sudah mengenaliku sejak awal dan membiarkanku menunggu?” “Maaf,” seringainya. Aku berhenti melangkah. “Hanya itu?!” Dia ikut berhenti, menatapku dengan senyum. “Okay, aku akan mengganti ini.” Aku menatap mata pria di depanku, meski pembawaannya yang tenang mampu meluluhkanku, tapi perbuatannya membuatku menunggu lama benar-benar menyebalkan. Okay, mungkin kali ini aku bisa menoleransi keisengannya, tapi lihat saja, jika dia melakukan sesuatu yang membuatku kesal lagi, aku tidak akan memaafkan semudah ini. Aku mengangguk. Menyambut tangannya yang terulur dan kembali melangkah. Kami bergandengan tangan dan beajalan bersisihan. Ini aneh....   ****   Aku duduk di samping Majeed, di dalam mobil klasik berwarna merah gelap, menatap ke luar jendela kaca. Chennai mengingatkanku akan kota Makasar, yang membedakan hanya banyaknya kuil di kota ini. Hampir setiap sudut jalan terdapat kuil. “Selama kamu di Chennai, kamu akan tinggal di apartemen yang sudah disewa perusahaan.” Majeed membuka pembicaraan. Aku menoleh dan mengangguk. Pandanganku menangkap radio mobil, melirik Majeed sekilas. Majeed mengangkat dagunya ke arah radio, mendapat isyarat persetujuan, aku mengulurkan tangan, memutar tombol bulat untuk mencari saluran radio. Suara penyiar dengan bahasa Hindi bergantian terdengar sampai aku menemukan saluran yang memutar Your Call milik Secondhand Serenade. Aku sempat melihat Majeed yang mengerling ke arahku, aku tak peduli. Bersandar pada kaca jendela mobil, aku kembali menatap ke luar. Membiarkan alunan musik membuai perasaanku. Entah berapa lama sampai aku merasakan ketukan di keningku. Aku membuka mata—melihat wajah Majeed yang berada tepat di depanku dan langsung terlonjak kaget hingga dahi kami saling terbentur. Menjauh secara bersamaan, kami sama-sama mengelus dahi. “Kepalamu keras,” ejeknya menyeringai. Aku cemberut. Membuka pintu mobil dan segera keluar. Majeed menyusul dari pintu satunya. Membuka bagasi mobil dan mengeluarkan koperku. Kami sama-sama terdiam saat berada di dalam lift. Aku masih mengelus dahi yang kuyakin memerah. Pintu lift terbuka, aku dan Majeed melangkah bersamaan. Pria itu mengarahkanku ke sebuah pintu di sebelah kiri lorong dengan nomor 158. Dia mengeluarkan kartu dari dompet dan membuka pintu apartemen. Tanpa melepas tangannya dari handle, dia merapatkan tubuh ke pintu, memberiku jalan masuk. Aku memasuki ruangan yang akan jadi tempat tinggal selama tiga bulan, mengamati desain dan perabotannya. Kombinasi warna vanila white dengan kuning teduh menutup dinding ruangan menghadirkan kesejukan di mata. Dengan perabot minimalis yang terlihat nyaman, aku sudah merasa inilah rumahku. “Kamu suka?” Aku tahu Majeed berdiri di belakangku. “Ya, suka.” “Okay,” katanya lagi, mengalihkan perhatianku yang segera menatapnya, “kalau kamu membutuhkan sesuatu, aku di sebelah. Ini nomor teleponku,”—dia mengeluarkan kartu nama dan menyerahkan padaku, berbarengan dengan access card apartemen—“dan ini kuncimu.” “Thanks.” “It’s okay.” Dia keluar dari apartemenku. Beberapa saat setelah dia tak terlihat, aku mendengar suara pintu dari apartemen sebelah dibuka. Jadi, sekarang Majeed adalah rekan sekaligus tetanggaku. Mungkin ini akan menjadi menarik ... atau tidak sama sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN