Bab 4 Berkeliling

1169 Kata
Mandi pasti akan terasa menyegarkan setelah seharian terkena debu. Memikirkan ide itu, aku segera bangkit dari sofa ruang tengah yang nyaman. Membiarkan air shower jatuh membasuh tubuh, pikiranku melayang pada Majeed. Caranya berbicara sama sekali tidak seperti yang kubayangkan—yang kutahu orang-orang India selalu berbicara dengan kepala yang terus bergerak: seperti film-film Bollywood yang pernah kutonton—sama sekali berbeda. Dia pendiam, tapi hangat. Ah, pria itu kini benar-benar memenuhi pikiranku. Aroma mawar dan buah dari sabun mandiku mengendurkan syaraf, membuatku merasa santai. Mematikan shower, aku meraih handuk putih dan melilit tubuhku dengannya; meraih handuk yang lebih kecil untuk menggosok rambut. Melakukan semua aktifitas itu, sama sekali tidak mengalihkan pikiranku dari Majeed. Hingga saat aku keluar kamar dengan piyama katun, aku tidak terkejut ketika melihat pria itu sudah duduk di sofa. Tak acuh, aku melewatinya dan menuju lemari es, membuka pintunya untuk mengambil air mineral dingin. Chennai sangat panas dan berdebu. Aku membuka tutup botol, menenggak air mineral itu langsung dari botolnya. “Mau jalan-jalan denganku?” Aku tersedak hingga air tumpah membasahi wajah dan sebagian dadaku. Melihat Majeed—aku yakin mataku terlihat seperti hampir melompat keluar saat itu. “Kamu?” pekikku, lalu meletakkan botol dan mengibas-ngibaskan piyama pada bagian d**a yang basah. “Sejak kapan kamu di sini?” tanyaku menatap menyelidik. Majeed malah menatapku heran, dia berdiri dan menghampiriku. “Bukannya kamu sudah melihatku tadi? Aku lihat kamu menatapku saat menuju lemari es.” Majeed mengerutkan kening. “Tidak, aku pikir tadi itu hanya imajinasiku saja,” kataku cepat lalu terdiam menyadari sesuatu. Kerutan dahi Majeed mengendur; bibirnya membentuk garis lengkung secara perlahan, matanya berbinar menatapku jenaka. “Apa maksudmu, tadi kamu sedang memikirkanku?” Oh, Sial! “Aku harus mengganti baju,” kataku segera melarikan diri. Di dalam kamar, aku merutuki diri sendiri. Bagaimana bisa aku tidak bisa membedakan mana nyata dan mana imajinasi, memalukan! Aku diam sesaat setelah mengganti piyamaku, memikirkan bagaimana aku harus menghadapi pria yang kini ada di ruang tengah apartemenku. “Sapna....” Aku terlonjak. “Kamu baik-baik saja?” “Ehm, ya ... baik,” jawabku gugup. “Aku ingin mengajakmu keluar, kalau kamu tidak keberatan.” “Oh, okay. Tunggu sebentar.” Aku melepas piyama yang baru saja kukenakan dengan cepat, menuju lemari dan menggantinya dengan celana jeans dan t-shirt longgar putih bergambar barong dengan tulisan “Exotic Barong” yang kubeli di Bali. Berdiri di depan cermin untuk sedikit memoles wajah dan menguncir rambut menjadi ekor kuda. Aku siap sekarang. Sebelum keluar, aku menggantung lagi piyamaku di deretan piyama-piyama yang lain, yang terjajar rapi sesuai dengan warnanya. Aku terbiasa mengelompokkan semua perlengkapan. Untuk pakaian, pertama aku akan memisahkan fungsi dari pakaian itu seperti piyama, blus, rok, celana kain dan dress. Lalu, aku akan mengelompokkan lagi sesuai dengan warnanya. Sekali lagi aku menatap berkeliling kamar meyakinkan diri tidak ada sedikit pun kekacaun yang kutinggalkan di sini. Aku merasa puas jika tempat tinggalku terlihat rapi. Di ruang tengah, Majeed tersenyum saat melihatku keluar kamar. Dia mengeluarkan tangan yang semula berada di sakunya dan berjalan menghampiriku. “Malam ini, aku akan mengajakmu berkeliling Chennai,” katanya mengulurkan tangan. Aku menyambutnya, kemudian seperti anak kecil, dia menggandengku keluar unit. **** Majeed tidak mengendarai mobilnya, dia mengajakku berjalan kaki menyusuri tepian jalan raya dan dia tidak melepas gandengan tangannya. Malam hari disibukkan dengan lautan manusia, lalu lintas yang ramai dan suara bising klakson yang saling bersahutan. Inilah Chennai. Di sebuah kedai, Majeed mengajakku masuk. Aku menatap kedai itu ragu, terlihat tidak meyakinkan. Di jakarta saja aku tidak pernah makan di warung kaki lima. “Aku yakin kamu pasti akan suka,” kata Majeed meyakinkan, maniknya menatapku dalam. Menghela napas, aku mengangguk. Menurut saat Majeed membimbingku ke dalam kedai itu. Majeed memesan roti cane lengkap dengan kuah karinya. Aroma yang menggugah selera membuatku lupa kalau sedang makan di warung pinggir jalan. Aku makan dengan lahap. Sesekali bercanda dengan pria di depanku, yang terkadang menatapku dengan sorot mata penuh tawa. Entah apa yang dipikirkannya tentangku. “Chennai dulu bernama Madras.” Majeed sudah selesai dengan santapannya, melipat tangannya di atas meja dan menatapku. Aku sedikit tersedak karenanya. Meraih gelas berisi teh tarik, aku meneguk minumanku. “Ya,” sahutku. “Kamu tahu?” Dia terlihat antusias. “Tentu, pemilik perusahaan kita orang India, bukan?” “Oh, aku lupa,” sahutnya terlihat kecewa. “Aku pikir kamu tahu karena kamu suka India.” Tanpa sadar aku tergelak. “Tidak, maksudku biasa saja. Diva, sahabatku, dia yang sangat menyukai India, sampai hampir cinta. Mungkin kalau India seorang pria dia akan menjadikannya sebagai suami,” gurauku. Majeed tertawa, masih menatapku. Aku berhenti makan dan meraih tisu di meja. Membersihkan mulutku. “Ehm ... kamu membuatku gugup,” kataku menghindari matanya. “Kenapa?” tanyanya, tidak mengalihkan pandangan dariku. “Kamu terus melihatku seperti itu,” protesku. Majeed kembali tertawa, tidak merasa sungkan dengan ucapanku yang mungkin bisa membuatnya berhenti dan mengalihkan pandangannya. Tidak. Manik gelapnya masih saja menatapku. “Aku hanya suka melihatmu, Sapna,” katanya pelan. Mungkin karena melihat aku yang salah tingkah, akhirnya pria itu mengalihkan pandangannya. “Kamu sangat lucu,” katanya tertawa. Kalimat itu bukan pujian yang diinginkan wanita, tapi entah kenapa aku suka mendengarnya keluar dari bibir Majeed. **** Tanganku masih berada di genggaman Majeed saat kami berdiri di salah satu sudut Chennai City Central. Aku terperangah melihat banyaknya manusia yang baru turun dari bus. “Apa selalu seperti ini?” tanyaku penasaran. Majeed tertawa. “Ya, itulah uniknya India,” jawabnya. “Ayo,” ajaknya menuntun aku ke tempat lain. Aku mengikuti dia, rasanya kami sudah berjalan terlalu jauh. “Hari minggu aku akan mengajakmu ke Marina Beach, lalu akhir pekan depan aku ingin mengajakmu ke Kolkata (Calcutta) dan kapan-kapan kita ke Varansi. Kamu harus melihat sungai Gangga.” Bahkan dia sudah memiliki rencana sebanyak itu. “Apa kamu mau?” tanyanya melihatku diam saja. “Tentu.” “Bagus.” Dia tersenyum. “Kamu ingin pulang sekarang?” Aku merngangguk. “Aku rasa cukup untuk hari ini.” “Kamu senang?” “Yaa....” kataku tertawa. “Okaay ... ayo pulang.” “Apa kita akan jalan kaki lagi?” tanyaku memelas, kakiku sudah cukup pegal. “Aku bisa menggendongmu,” jawabnya menatapku jenaka. “Oh, tidak. Aku tidak akan suka.” Aku menggeleng. “Haha....” Entah bagian mana yang lucu, hingga membuat pria itu tergelak sedemikian rupa, kemudian Majeed menghentikan rickshaw[1] yang lewat. Membantuku naik dan menyebutkan alamat pada pengemudi rickshaw. Kami berbincang selama perjalanan pulang. Sesekali aku mengusap rambut yang agak berantakan terkena angin malam. “O ya. Maaf, aku tadi masuk begitu saja ke unitmu. Pintunya tidak terkunci.” Biasanya aku tidak pernah lupa mengunci pintu. “Tidak apa,” jawabku tersenyum. Kami sama-sama terdiam. Entah kenapa, aku merasa akan merindukan ini saat kembali ke Jakarta bahkan hanya dalam hitungan jam berada di sini. Kebisingan Chennai, angin panasnya yang menghantarkan debu, mungkin juga derit roda rickshaw yang sekarang membawaku dan Majeed. [1] Kendaraan seperti becak, tapi pengemudinya di depan. Bersambung

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN