Menghilang Sebentar

1017 Kata
Pria dengan seragam anti peluru itu menyipit, fokus pada tujuan di depan sana. Bukan hanya membaca semilir angin, namun target yang berdenting di arah ratusan meter juga ikut jadi pertimbangannya. Ritme gerakan, suara, detik-detik sebelum ... Duar! Tembakan dilepaskan. "Yash!" pekik Arthur, puas. Mengepalkan tangan dengan perasaan lega sebab berhasil melumpuhkan target. Seseorang menepuk pundaknya dan tersenyum lebar, entah sejak kapan berada di sana. "Kemampuan menembak jarak jauh kau makin bagus, Arthur. Pertahankan!" tukas sosok itu, berkomentar bangga. Menyaksikan secara langsung anak asuh yang telah tumbuh menjadi pentolan di pasukan ini membuatnya tak bisa berhenti kagum. Yang dipuji melengkungkan senyuman tipis. "Kau terus berlatih walau libur?" "Saya masih harus terbiasa melakukannya diantara gelap, Komandan. Ini bukan apa-apa," balas pria itu, merasa sungkan menerima penghargaan dengan satu bakat saja. Komandan mengangguk. "Sebagai seorang prajurit, cepat puas adalah kebiasaan yang harus dihindari. Bagus kau mengerti itu." Jika mampu menembak target jarak jauh, maka tidak hanya punya keahlian itu, anggota pasukan khusus seperti Arthur dididik punya kemampuan mumpuni lainnya. Menembak dalam gelap, misalnya. Baru dikatakan luar biasa. "Bagaimana tugasmu di gedung biru? Kau ada dapat kesulitan selama di sana?" tanya Komandan, berceletuk tiba-tiba. Arthur yang dapat pertanyaan spontan merubah raut wajahnya, senjata yang ia gunakan menembak disimpan kembali. "Ya begitulah, Dan." "Kau tak suka di sana?" selidik sang senior. "Siap, suka Komandan!" Arthur menjawab tegas, sedetik kemudian lesu kembali. "Lalu?" Pria yang bergelar komandan itu penasaran, meletakkan kedua tangannya di pinggang seraya memerhatikan lamat-lamat prajurit andalnya satu ini. Kenapa Arthur punya keraguan saat ditanya suka atau tidak bertugas di sana? "Kau ditugaskan jaga VIP, 'kan? Ada masalah? Ada tindakan yang kau curigai?" Sang Komandan memberi kesempatan juniornya ini mengajukan keluhan, Komandan itu berharap Arthur jujur padanya. Sayangnya, dia enggan memperpanjang topik, Arthur justru menggeleng, usai menghela napas pria itu bertekad, menjawab tanpa ragu. "Tidak ada, Dan! Semuanya aman, terkendali." Arthur Rivaldo Gibson. Seorang prajurit yang kali ini ditugaskan menjaga orang-orang penting berdarah biru sebagai pimpinan pasukan khusus untuk senantiasa mengawal aktivitas para VIP itu membantin. Bukan soal musuh, hal lain membuatnya berat dalam menjalankan tugas. "Arthur!" Komandan berteriak sebelum pria itu kembali ke tempatnya bertugas. Dengan raut wajah tegas, memerintah, "Ingat! Kau tak boleh melibatkan hatimu dalam misi kali ini. Kau paham?!" Soal hati. Arthur tak bisa berkata banyak. Hanya berusaha membentengi dirinya, tetap jadi si kaku dan dingin pada siapa saja. Tugasnya kali ini, akan sangat berbeda dengan tugas militer mana pun. *** Melihat Lintang berpakaian bak seorang putri usai menghadiri acara pertemuan kenegaraan saja membuat Arthur mempertanyakan debaran di jantungnya. Apa ini normal? Apa ini hal yang wajar? "Apa akan ada iring-iringan?" bisik Lintang, mengajukan pertanyaan pada pengawal pribadi yang memiliki tubuh tegap nan tinggi itu. Arthur membalas sesingkat mungkin. "Presiden memberi pasukan tambahan agar Nona sampai dengan selamat, sebagai ucapan terima kasih." Lintang cemberut, menekuk wajahnya sebal. Ia tak suka keramaian yang diciptakan hanya untuk mengantarnya sampai ke rumah. Seperti orang penting saja. "Untuk apa? Kan sudah ada kamu di sini," selorohnya, menolak perlakuan istimewa yang tidak didapat sembarang orang. "Huftt, perjalanan ini akan terasa melelahkan." "Perlu menepi dari pengawalan, Nona?" Arthur mengajukan ide, wajahnya sangat datar saat mengatakan itu. Merasa ada seseorang di pihaknya, Lintang tersenyum bahagia. Arthur memang yang terbaik dari yang paling baik! "Kamu yakin bisa pergi dari iring-iringan itu?" Lintang yang duduk dengan menggemaskan di dalam mobil mengamati pengawal tampannya ini, terpesona. Hanya berselang sedetik, Lintang mendengar kabar baik. "Beristirahatlah. Kita pergi satu menit lagi," ucap Arthur, menjawab keraguan Lintang tanpa keberatan. Arthur tahu tindakannya akan menimbulkan kericuhan besar untuk beberapa saat hilangnya Nona muda dari radar jelas menimbulkan kepanikan bagi semua orang yang bertugas mengawalnya tetapi, ia tetap tidak akan menyesal melakukannya. Demi Lintang. Wanita yang selalu merasa tak nyaman bila jadi pusat perhatian. Yang tidak pernah punya waktu istirahat sebab dituntut mengerjakan banyak hal, sebagai orang penting. "Kapten," bisik Lintang, kedua matanya tertutup sempurna, suara lirihnya menegaskan ia begitu letih. "Aku ingin tidur sebentar saja." "Kenapa di dekatmu aku selalu ingin tidur?" Wanita dengan gaun putih itu terus berceloteh, menandakan ia hampir terlelap. Meringkuk, tubuh mungilnya bisa nyaman di mana pun asal dekat dengan pria ini. "Apa karena aku nyaman di dekatmu?" Katanya, lagi.  Menimpali kalimat sebelumnya dengan meracau. "Atau karena aku mencintaimu?" Arthur terbatuk saat kalimat wanita ini menyentuh indranya. Kata-kata asing yang seharusnya tidak dilontarkan dengan mudah. Apa Lintang tidak sadar dengan yang baru saja ia katakan? Mengapa begitu mudah baginya mengutarakan perasaan di hadapan Arthur, orang yang tidak sepatutnya menerima pernyataan cinta itu. Selain pandai dalam bertarung dan menggunakan senjata, Arthur juga pandai mengemudi. Ini yang membuatnya jadi kepercayaan Komandan untuk mengemban tugas mengawal keturunan Adiwilaga, Lintang Candraningtyas Adiwilaga. Lintang bergumam, sulit baginya membedakan yang nyata dan mimpi. "Sudah berapa lama aku tidur?" tanya wanita itu, penasaran. Arthur melirik sekilas, menebak bahwa Lintang pasti akan terkejut saat ia mengatakan hampir dua jam lebih sang Nona tertidur di dalam mobil. Candra Adiwilaga adalah mantan Komisaris angkatan bersenjata yang begitu dihormati, putrinya menjadi VIP dimana penjagaan yang melibatkan Lintang senantiasa diprioritaskan. "Dua jam, Nona." "Kau bercanda?!" Selama dua jam itu Arthur bisa menebak semua orang pasti kelimpungan mencari VIP yang hilang dari radar. "Aku mau mampir makan es krim," cicit wanita yang menatap takut pada Arthur. Dari matanya berharap keinginan itu dikabulkan. "Boleh berhenti dulu? Lagi pula, kita sudah terlanjur pulang telat, 'kan?" imbuh Lintang, masih merayu. Karena lokasi mereka yang tidak jauh dari taman, Lintang mengajukan permintaan untuk berhenti sebentar makan es krim. Arthur hendak menolak, ia tidak bisa menerima pelanggaran lagi. Tetapi melihat wajah sedih Nonanya ini, pria itu jadi tidak tega. Di taman, seperti tujuan utama, tidak ada yang keduanya lakukan kecuali makan es krim. Sibuk dalam pikiran masing-masing. Lintang berceletuk diantara kegiatan makan es krimnya. "Terima kasih, Kapten. Sudah mau membantuku melarikan diri, memberiku waktu tidur. Juga untuk es krimnya." Bersama dengan Arthur memang tidak pernah mengecewakannya. "Tidak perlu berterima kasih. Saya hanya menjalankan tugas," jawab Arthur dingin, citra prajurit kaku melekat begitu kental padanya. Sosok yang duduk di sebelah Arthur cemberut, gemas. "Tetap saja, aku akan berterima kasih." "Oh, ya, Kapten." Lintang mendadak punya pertanyaan serius. "Boleh aku tahu wanita seperti apa yang jadi idamanmu?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN