Angga mencoba untuk menenangkan hati dan pikiran yang sedang berkobar seperti api itu walaupun tak mudah. Ia harus benar-benar menekan hati dan pikirannya agar kembali tenang. Kelakuan Sabrina membuatnya murka, kesal dan emosi. Namun, ia tetap berusaha tenang walaupun d**a terasa sangat sesak. Angga bergegas untuk pulang dan menemui Aina, sebab wanita itu adalah air baginya.
Pulang ke rumah masih dengan keadaan yang dongkol, tapi di perjalanan ia menenangkan hati dan pikirannya dengan mampir ke salah satu pondokan yang menjual bubur ayam kesukaan istrinya dan kedua sahabatnya itu. Berbincang sebentar dengan si penjual sambil menunggu buburnya disiapkan.
Setelah itu, kembali menyetir mobilnya menuju rumah. Sampai di pekarangan rumah, ia melihat si kembar tengah mondar-mandir di ruang tamu. Bolak-balik ke dalam lalu ke ruang tamu lagi, segala apa dibawa olehnya. Angga bergegas turun dan mendekati mereka.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab mereka.
"Akhirnya kamu pulang juga, Ngga," ucap Mimi.
"Loh? Ini ada apaan? Kok pecah, Mi?"
"Ya ini yang jadi permasalahan kita semalam."
"Ada apa memangnya? Aina mana? Dia baik-baik saja, 'kan?"
"Aman! Dia lagi istirahat. Tadi muntah parah lagi," jelas Mimi.
"Ya Allah … keluar lagi dong makanannya?"
"Ya iya, Ngga! Masa masuk!" seloroh Ama.
"Sudah! Kamu mau dengar penjelasan aku gak?"
"Iya, ada apa?"
"Sini!" Mimi dan Ama mengajak Angga keluar rumah dan berdiri di bawah pohon rindang dekat taman.
"Ada apa? Kenapa gak di rumah saja, sih!" protes Angga.
"Takut Ai nguping!"
"Lah, katanya tidur?"
"Ya 'kan barangkali, Angga!!" ucap Mimi penuh tekanan.
"Iya … iya … maaf. Jadi ada apa?"
"Semalam ada yang lempar batu makanya itu jendela pecah begitu," ucap Mimi.
"Kok bisa? Siapa? Kalian lihat gak?"
"Kita datang saat sudah terjadi, Ngga. Ai dan Mbok malah bingung melihat ada pecahan. Tapi, Kak Mimi nemu batu!"
"Benar, Mi?"
"Iya, dan ada pesannya, Ngga!"
"Mana? Sini aku lihat!"
Mimi mengeluarkan kertas semalam dari dalam sakunya dan memberikan pada Angga. Lelaki itu menerimanya lalu membaca, sedetik kemudian langsung meremasnya.
"Kurang ajar!! Siapa yang melakukan ini!! Aku tidak akan pernah tinggal diam!! Siapapun yang mengusik maka akan berhadapan denganku!!"
"Ngga, tenang! Kita belum tahu juga siapa pelakunya! Tapi, tadi malam aku melihat ada seseorang di balik pohon besar itu! Sayangnya, gak kelihatan wajahnya."
"Perempuan atau lelaki?"
"Aku gak tahu, Ngga! Hanya terlihat bayangannya saja."
"Apa Sabrina?" ucap Angga pada diri sendiri.
"Sabrina siapa, Ngga?" tanya Ama kepo.
"Wanita ular yang ketemu sama kita di rumah sakit tempo hari lalu."
"Memang dia siapa?" tanya Mimi penuh curiga.
"Mantan tunanganku!"
"Brengsekkk! Pantas saja kelakuannya itu menjijikan kemarin, rupanya kalian ada hubungan di masa lalu! Dan, kejadian malam tadi mungkin bisa jadi dia, tapi bisa juga bukan dia, Ngga," ucap Mimi menerka-nerka.
"Apa kalian punya musuh, Ngga?" tanya Ama.
"Mana ada, Ama. Buat apa juga punya musuh? Ngada-ngada aja kamu!"
"Dih, ya kali aja, Ngga!"
"Ya udah deh, nanti kita cari tahu. Sekarang ayo masuk dulu, aku capek banget mau istirahat."
Mereka mengangguk dan kembali masuk ke dalam rumah. Si kembar mempersilahkan Angga untuk beristirahat sedangkan mereka berdua sedang berjaga menunggu tukang untuk membetulkan kaca jendela.
***
Sore pun tiba, ketiga wanita itu sedang duduk santai di saung taman depan. Ai melihat tanaman jadi menggugah hati untuk menyiramnya, sedangkan kedua kakaknya itu sibuk memainkan ponsel. Ada seorang anak muda yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya di daerah rumah, berjalan ke arah mereka dengan membawa kotak besar.
"Paket," ucap pemuda itu.
"Tukang paket, Mas?" tanya Ama.
"Iya, Kak. Ini ada paket untuk Kak Aina."
Aina mendekat dan memperhatikan kotak besar tersebut. Di atasnya ada bunga yang sangat cantik sekali.
"Dari siapa, Mas?" tanya Ai penasaran.
"Gak ada nama pengirimnya, Kak. Saya hanya di minta antar ke alamat ini saja."
"Oh gitu. Ya sudah, makasih ya."
"Sama-sama, mari, Kak."
Mereka bertiga mengangguk dan memperhatikan kotak besar itu. Ai sempat menggoyangkannya, penasaran sekali dengan isinya. Ingin membuka tapi dicegah oleh Mimi.
"Jangan, Ai!"
"Kenapa, Kak?"
"Kita buka di ruang tamu saja, perasaanku gak enak. Kayak ada yang memperhatikan kita," jawab Mimi namun matanya mencari sesuatu.
"Hm … ya sudah, ayo."
Meninggalkan kegiatan siram tanamannya dan mereka bertiga masuk ke dalam rumah. Duduk bertiga di ruang tamu, sedangkan Angga kembali tidur setelah shalat ashar bersama tadi.
"Bunganya cantik, tapi dari siapa ya? Terus ini isinya apa?" tanya Ama memperhatikan kembali kotaknya.
"Kita buka saja ya, aku juga penasaran," ucap Ai. Si kembar mengangguk, tangan Ai mulai membuka pita indah itu terlebih dahulu lalu lakban tersebut.
Brakkk.
Ai refleks melempar kotak tersebut membuat Mimi dan Ama terkejut.
"Astaghfirullah … Astaghfirullah … Astaghfirullah …."
"Ai, tenang!" ucap Ama.
"Apih! Apih! Bangun, Pih!" teriak Ai histeris.
"Apih!! Bangun!!" teriaknya lagi semakin histeris.
Ai sudah memegang kepalanya, ia merasakan takut yang sangat luar biasa. Hijabnya sudah ia tarik dan tak beraturan lagi. Mbok berlari dari dapur dan terkejut melihat Ai bertingkah seperti itu.
"Ya Allah, Nyonya. Ada apa ini?"
"Apiiihhh!! Bangun!!" teriaknya semakin histeris membuat si kembar semakin panik.
Angga yang sedang tertidur pulas terkejut mendengar teriakan sang istri yang menggelegar. Teriakan Ai yang terakhir terdengar sangat lantang dan berhasil membuatnya terbangun langsung terduduk. Kepala mendadak pusing karena bangun tidur tak perlahan duduk.
"Apih!!" teriaknya lagi.
"Nyonya!! Nyonya!! Tenang!!"
"Ai, hu hu hu. Tenang, jangan histeris seperti ini," tangis Ama pecah melihat Aina bertingkah layaknya orang ketakutan.
Tubuhnya bergetar hebat, air mata terus mengalir deras. Matanya mendelik ke kanan dan ke kiri seakan-akan waspada dengan sesuatu. Ia menggigit bibir bawahnya kuat sampai membuat bibirnya terluka.
"Ai, tenang! Ai, hei! Semua baik-baik saja."
Setelah mengumpulkan nyawa dan rasa pusing hilang, Angga bergegas keluar kamar dan melangkah menuju suara teriakan tadi berasal. Angga terkejut melihat ada sebuah kotak yang terlempar, terlihat ada dua boneka di dalamnya dalam keadaan berlumur darah.
Matanya beralih pada Ai, terlihat istrinya sangat kacau. Ia bergegas mendekati, si kembar menyingkir dan membiarkan Angga memeluk erat istrinya. Angga memberikan ketenangan dan mengecup beberapa kali puncak kepalanya, sementara waktu membiarkan istrinya itu menangis hingga merasa tenang. Jika sudah tenang, maka ia akan mengajaknya bicara pelan-pelan.
"Sayang," panggil Angga.
Ia memastikan apakah istrinya sudah tenang atau belum, sebab getaran tubuhnya mulai mereda.
"Sayang. Hei, semua baik-baik saja, tenang," ucapnya penuh kelembutan.
"A-apih," panggil Ai dengan suara bergetar.
"Iya, Sayang. Ini aku, ada disini memeluk dan akan memberikan ketenangan. Tenang ya, ada Apih."
"Ko-kotak itu."
"Gak pa-pa. Gak ada apa-apa, nanti kita lihat bersama setelah Amih tenang ya. Amih harus tenang, gak boleh stress seperti ini ya."
"Ta-takut, Pih," lirihnya.
"Gak pa-pa. Jangan takut ya, kalau kita takut orang yang mengirim barang-barang itu akan semakin senang karena sudah membuat kita takut. Gak pa-pa, ya. Semuanya baik-baik saja, kok."
"Ta-tapi, Pih--"
"Ssttt … tenang," potongnya memeluk kembali istrinya dengan erat.
Angga tak sanggup melihat istrinya yang sangat kacau dan ketakutan itu. Diam-diam hatinya menangis sampai mengeluarkan air mata. Mbok dan si kembar menyadarinya, membuat mereka semakin sedih melihat pasangan suami istri itu.
Ama menangis di pelukan Mimi, sedangkan Mbok hanya mampu menatap nanar majikannya itu. Tatapannya beralih pada kotak durjana yang sudah membuat sore mereka berantakan, Mbok mendekati kotak tersebut dan berjongkok untuk memastikan ada apa gerangan di dalam kotak tersebut.
Mbok menutup mulutnya dan matanya melebar saat melihat ada sepasang boneka yang berlumuran darah, bahkan banyak sekali binatang yang mengelilinginya. Aroma amis menguar masuk ke dalam cuping hidungnya. Angga menoleh pada Mbok, tatapan mereka bertemu. Angga memberikan isyarat untuk menyingkirkan kotak tersebut sampai Ai benar-benar merasa tenang.
Mbok mengangguk dan memasukkan kembali boneka tersebut, menjadikan satu di dalam kotak dan membawanya pergi dari hadapan mereka semua. Setelah semuanya aman, Angga melepaskan pelukannya dan membingkai wajah sang istri.
"Tenang ya, ada aku. Semua akan baik-baik saja. Kamu harus kuat dan tenang, kau keadaanmu begini terus kasihan adik bayi, Mih."
"Amih jangan egois ya, harus tenang pokoknya. Pikirkan keadaan adik bayi juga, sekarang ada kehidupan di perutmu, Mih. Jadi, harus bisa lebih tenang. Jangan terus-menerus diinjak-injak oleh keadaan, Mih."
"Kamu itu kuat! Jangan dikalahkan oleh rasa takut."
"Apih … Apih tidak akan pernah ninggalin Amih, 'kan?"
"Gak, Sayang. Kamu itu segalanya."
"Apih sayang dan cinta Amih, 'kan?"
"Selalu dan setiap waktu, Sayang."
"Janji ya, Pih."
"Iya, Mih."
***
Ada yang tersenyum sinis saat mendengar teriakan-teriakan lantang tadi. Rupanya ada seseorang yang kembali bersembunyi tidak jauh dari rumah Ai dan Angga. Seseorang itu awalnya melihat Ai di luar dan merasa bahagia karena sebentar lagi aksinya akan membuat satu rumah itu kacau. Dan benar saja, paket yang dikirim olehnya berhasil memporak-porandakan pikiran dan hati keluarga kecil itu.
Setelah puas melihat sebuah kekacauan itu, ia berlalu meninggalkan rumah tersebut. Kembali melajukan mobilnya dan mulai memikirkan langkah lain untuk membuat pasangan suami istri itu merasa tak nyaman dan rusak keadaan rumah tangganya. Tanpa dirinya ketahui, ternyata Angga lebih pintar dalam menenangkan istri dan keadaan rumah tangganya.
Secara tidak langsung, pasangan suami istri itu sudah menjadi pemenang dalam keadaan ini, sebab mereka mampu saling mengisi dan menenangkan dikala keadaan sedang tidak baik-baik saja. Justru, semakin diberi guncangan itu semakin membuat mereka berdua kuat akan sebuah prinsip kehidupan berumah tangga.
Pasangan suami istri tersebut seakan tak memberikan celah pada orang lain untuk merusaknya. Jangankan merusak, untuk muncul di hadapan keduanya saja sudah ditolak oleh keadaan dan situasi.
Aina sudah kembali tenang lagi seperti biasa, tersenyum dan tertawa bersama. Angga lebih senang melihat senyum itu daripada ketakutan yang dialami istrinya. Selepas maghrib, Angga memberi pengertian pada istrinya itu untuk bersama-sama membuka kotak yang tadi sore.
Awalnya, Ai menolak namun Angga menyakinkan istrinya bahwa semua akan baik-baik saja. Tak akan ada hal buruk yang akan datang menghampiri mereka, setelah dibujuk rayu oleh Angga dan si kembar akhirnya Ai setuju untuk membuka kembali kotak itu bersama-sama.
Mereka berkumpul di ruang keluarga, kotak sudah berada di atas meja keluarga. Ai saling berpelukan dengan kedua kakaknya sedangkan Mbok dan Angga sedang merasa cemas. Sebab, mereka berdua yang akan membuka kotak tersebut.
"Siap, Mbok?"
"Iya, Tuan."
"Bismillah," ucap mereka bersamaan.
"Astaghfirullah … Allahu Akbar!" pekik Mbok dan Angga bersamaan saat melihat isinya.
Dalam kotak tersebut ada sepasang boneka dengan lumuran darah segar. Aromanya sungguh amis dan membuat mual, ada beberapa binatang melata juga di dalamnya. Boneka tersebut dalam keadaan yang tidak baik-baik saja, sebab boneka tersebut seakan habis di siksa, itu terlihat dari bagian-bagian tubuhnya yang hampir terlepas dari badan.
Sungguh, keji sekali seseorang yang mengirimkan paket tersebut. Isi paket itu seakan menunjukkan kejadian yang akan terjadi, tapi Angga tetap berpikir positif dan menganggap semua ini hanya ancaman semata. Angga melihat sebuah kertas di dalamnya dan langsung mengambil lalu membacanya.
"AKU DATANG SETELAH SEKIAN LAMA KITA TAK BERTEMU. AKU TAK AKAN PERNAH BISA TERIMA MELIHAT KEBAHAGIAAN KALIAN!! BAHAGIANYA KAMU HANYA BERSAMAKU DAN BUKAN BERSAMA ORANG LAIN!! INGAT, AKU AKAN MERUSAK KEBAHAGIAAN KALIAN DAN MENGAMBIL YANG SEHARUSNYA MENJADI MILIKKU!!"
"TUNGGU AKU DALAM HIDUPMU. SEBENTAR LAGI, AKAN SEMAKIN BANYAK KEJUTAN-KEJUTAN YANG KALIAN TERIMA!! MARI KITA BERMAIN!!"