Allah itu baik, tak akan pernah menguji hambanya di luar batas kemampuannya. Selalu menggantikan kesakitan dengan kebahagiaan yang luar biasa. Mereka sudah selesai curhat bersama, si kembar melanjutkan makan yang sempat tertunda, segera menghabiskannya agar bisa ngobrol lagi. Obrolan mereka ternyata menyambung satu sama lainnya, selesai makan pun masih saja membahas yang lainnya.
Ada saja yang dibahas, segala macam menjadi bahasan. Rasa lega menyelimuti hati mereka dan tak ada lagi keraguan dalam hati. Mereka yakin, Angga yang lelaki terbaik. Obrolan berlanjut pada kandungan Ai, mereka bertiga membahas dan merencanakan semua yang terbaik untuk kandungan Ai. Banyak sekali yang direncanakan oleh mereka, padahal belum juga memeriksakan kandungannya tapi mereka sudah repot sendiri.
"Mbok, capek nih ngobrol terus, Ama juga ngantuk banget. Duluan ya ke kamar, Mbok di temani Kak Mimi."
"Gak ah, Mbok di temani sama sayuran saja. Mimi juga lelah, mau istirahat agar nanti bangun dan gak ditinggal saat kontrol kandungan."
"Ya sudah, Non Mimi dan Non Ama istirahat saja di kamar. Mbok sendirian gak pa-pa, gak usah ditemenin."
"Benar nih, Mbok? Jangan sampai ngobrol sama sayuran, ya?" kelakar Ama.
"Gak, Non. Ada-ada saja, Non Ama. Sudah pada istirahat gih, Mbok mau lanjut masak."
"Siap, Mbok. Kami ke kamar ya, dah," pamit Mimi dan Ama.
Mimi dan Ama melangkah menuju kamar, Mbok kembali melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai. Setelah selesai, Mbok membersihkan pekerjaan yang lainnya. Si kembar merebahkan tubuhnya di atas ranjang, menyiapkan tenaga dan mata agar tidak ngantuk nanti. Mereka punya kamar sendiri ketika berkunjung.
Sengaja, memang Angga menyediakan kamar sendiri agar jika sewaktu-waktu dirinya dinas malam, si kembar bisa di minta tolong ketika hatinya merasa tak tenang. Apalagi, mereka memang sering sekali menginap di rumah, jadi aman.
Si kembar menatap atap kamar mereka, mencoba memejamkan matanya namun belum juga bisa terpejam. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, memikirkan sesuatu yang entah itu apa. Pokoknya ada saja yang terlintas di dalam pikiran mereka itu.
"Dik, apa harapan sederhanamu?" tanya Mimi.
"Bahagia. Ama ingin kita semua bahagia, Kak. Meraih bahagia bersama-sama. Merasakan kebahagiaan yang luar biasa tanpa merasakan sakit, ya walaupun itu tak mungkin terjadi. Sebab, pasti akan selalu ada rasa sakit, baik itu secara sengaja atau tidak sengaja bersemayam di dalam diri dan hati kita."
"Tetapi, setidaknya kita semua bisa bahagia dengan cara kita sendiri. Bahagia itu, diri sendiri yang menciptakan, bukan? Orang lain hanya pendukung dari rasa bahagia itu. Seperti sekarang yang kita lihat, Ai bahagia dengan caranya dan kehidupannya. Kita juga ikut merasakan bahagianya, bukan?"
"Dan, Ama sangat berharap sekali kebahagiaan Ai tak akan pernah sirna. Sebab, kesakitan di masa lalu sudah cukup membuatnya menderita. Ama juga ingin sekali, kita bahagia dengan cara kita sendiri. Suatu saat nanti, kita juga pasti bisa memetik kebahagiaan sama seperti Ai rasakan sekarang."
"Sangat sederhana ya, Dik? Tapi semua itu mampu menenangkan hati, jiwa dan pikiran. Memang jika hati kita tenang dan bahagia maka pikiran pun akan positif, juga jiwa tak akan mudah terguncang oleh badai," ucap Mimi.
"Mbok benar, selalu ada pelangi setiap badai datang menghadang."
"Kak, kalau harapanmu, apa?"
"Harapan Kakak sebenarnya tak beda jauh dari kamu, Ama."
"Apa itu?"
"Aku ingin kalian bahagia, karena bahagiaku adalah melihat kalian semua bahagia. Bahagia tanpa syarat dan tanpa merasakan sakit, apapun itu. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat kalian bahagia. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga kalian agar selalu bahagia dan menghalau segala rasa sakit itu hadir. Apapun caranya, tak peduli sebesar apapun badainya, aku pasti akan melakukannya, untuk kalian."
"Kakak tahu? Aku sungguh bahagia bahkan sungguh sangat bahagia mempunyai kakak yang sangat luar biasa. Aku tahu, mungkin kakak berpikir ucapan Ama ini lebay. Tapi, ini adalah kejujuran Ama, Kak."
"Kakak adalah kakak yang hebat. Selalu menjadi tameng untuk Ama dan Ai. Walaupun Ai bukan siapa-siapa kita, bukan saudara kita, namun kebetulan kita dan Ai bertemu karena takdir, kakak jadi menganggapnya saudara bahkan Adik tapi kakak tak pernah membedakannya."
"Makasih, Kak. Makasih sudah menjadi kakak yang baik dan sangat luar biasa. Ama berdoa agar Kakak bisa menemukan kebahagiaan sesuai dengan apa yang Kakak harapkan."
"Aamiin."
"Semoga kita semua bisa melewati semua rasa yang hadir di dalam hidup kita ya, Kak."
"Aamiin."
"Kak, aku sangat berharap semoga Vian atau pun benalu yang lain tak pernah lagi hadir di dalam kehidupan Ai. Aku adalah orang pertama yang akan membalaskan dendam jika dirinya berani menyakiti Ai lagi seperti dulu."
"Tenang, Ama. Ai tak akan mungkin tersakiti lagi seperti dulu. Sebab, akan ada Angga-suaminya- yang pasti menghajar Vian habis-habisan jika berani menunjukkan batang hidungnya."
"Andai saja, kesalahannya tak besar mungkin Ama tak akan sebenci ini padanya, Kak. Tapi kesalahannya benar-benar sangat tidak bisa dimaafkan."
"Iya, Ama. Kamu benar. Kakak juga gak akan benci sama dia kalau memang kelakuannya baik. Tapi memang dasarnya durjana ya seperti itulah sikapnya. Durjana akan selalu menjadi durjana, karena ia tak pernah bisa berubah. Pengalaman hidup menyakitkan yang hadir di dalam hidupnya pun tak bisa dijadikan pelajaran baginya."
"Kapan dia sadar ya, Kak?"
"Entahlah. Mungkin nanti saat ia sekarat dan ajal siap menjemputnya."
"Hus, kakak! Jangan ngaco! Itu sama saja kita mendoakan yang jelek untuk Vian."
"Loh? Bukan mendoakan, Ama. Tadikan, kamu tanya kapan dia sadar? Ya kakak jawab, mungkin nanti jika sudah sekarat."
"Manusia macam dia itu tak akan pernah bisa sadar sebelum mendapatkan ganjaran yang lebih kejam dari apa yang diperbuatnya, Ama."
"Memang iya, Kak?"
"Ya mungkin! Buktinya, ia dulu sudah pisah dengan istrinya saja tanpa malu datang lagi dan mencoba merayu Ai dalam keadaan Angga yang sedang sakit. Gila, 'kan?"
"Iya juga ya, Kak. Ah, memang dasarnya aja dia itu lelaki sampah, Kak! Gak ada kuapoknya! Semoga kita berdua dijauhkan dari lelaki yang seperti itu ya, Kak."
"Aamiin. Semoga benar-benar dijauhkan ya, Ama. Kakak gak tahu deh kalau sampai nanti ketemu yang modelnya kayak Vian itu, mungkin kakak akan hajar dia terus-terusan setiap hari."
"Ya pasti! Beda sama Ai yang selalu sabar dan yakin kalau suaminya itu bisa berubah."
"Mantan suami, Ama!"
"Iya, maksudnya mantan suami."
"Tapi, kayaknya kalau semua itu terjadi juga pada Ama, pasti sama kayak Ai. Cuman bisa nangis tiap harinya."
"Ya Allah, Kak! Ini mulut!" ucap Ama meremas mulut Mimi.
"Jangan lancang ngapa, Kak! Ya Allah, jangan dengarkan ucapan Kak Mimi! Ama gak mau ketemu yang modelnya kayak Vian!"
"Hahaha! Maaf, kelepasan!"
"Sekali lagi, Ama cabein mulut kakak!"
"Hahaha, ampun, Ama!"
"Sudahlah, ayo kita istirahat! Nanti sore biar ikut Angga dan Ai."
"Hooh, kakak juga capek, nih."
Mereka memejamkan matanya dan terlelap dalam mimpi yang indah.