Persahabatan Bagai Kepompong

1143 Kata
Persahabatan bagaikan kepompong itu memang nyata adanya. Diantara mereka tak ada satupun yang saling membenci, justru ketiganya saling menyayangi dan mencintai satu sama lainnya. Sebab, persahabatan mereka sudah sangat kuat hingga membuat ketiganya seperti saudara kandung. Kesakitan, kekecewaan, air mata adalah penguat mereka bertiga untuk saling menyayangi dan mencintai dengan ketulusan hati tanpa pamrih. Terdengar suara deru mobil yang masuk ke dalam halaman rumah. Sepasang suami istri itu saling menatap satu sama lainnya, tersenyum dan berhitung bersama. Itu adalah kegiatan rutin mereka jika kedatangan si kembar yang super duper bawel. "Kita hitung bareng, Pi." "Ayo, Mi." "Satu … dua … tiga!" "Ainaaa, kamu dimana, Sayang? Ini kakak datang!!" teriakan si kembar yang terdengar merdu walaupun sumbang selalu mereka dengar setiap kali kedatangannya. "Gotcha!!" seru keduanya sambil bertos ria. Ai dan Angga tak mampu menahan tawanya, apalagi saat ini sedang merasakan bahagia. Mereka tertawa bersama, beringsut turun dari ranjang dan menemui si kembar di luar. Terkejut bukan main saat Angga membuka pintu dan si kembar sudah berada di depan kamar mereka. Sepertinya kedua gadis menyebalkan itu mendengar tawa dari pasangan istimewa itu. "Nah, benar 'kan, Pi? Seperti biasa rumah ini akan terasa gonjang-ganjing saat kedatangan mereka." "Yuhu … benar sekali. Si kembar gitu loh," sindir Angga. Si kembar memutar bola matanya malas, memandang pasangan itu dari atas hingga bawah. Mencari apakah ada keanehan di antara keduanya atau tidak. Sebab, tetumbenan sikapnya macam begitu. "Kalian kenapa, sih? Bahagia banget roman-romannya? Sampai bertos ria begitu. Ada apaan? Cepat kasih tahu!" sergah Kak Mimi. Mimi adalah panggilan sayang dari Ai untuk Rahmi. "Iya ada apaan, sih? Kok kalian terlihat bahagia gitu? Cepat kasih tahu, dong! Eh sumpah ya, kami itu khawatir sama kamu, Ai! Ish, tapi apa coba ini? Pemandangan macam apa? Kamu minta kami datang hanya untuk melihat kemesraan kalian, Ai? Keterlaluan!" sungut Kak Ama. Ama adalah panggilan sayang dari Ai untuk Rahma. "Iya, malesin banget ya, Kak. Sudah kita buru-buru kesini, menerobos banyak lampu merah, eh sampai sini suruh nonton kemesraan ini janganlah cepat berlalu, kesaaallll!" sentak Kak Mimi. "Dih? Merajuk, haha," ejek Ai. "Sayang, kedua kakakmu itu merajuk, loh! Gimana dong? Apa lebih baik kita tunjukkan kemesraan kita? Heum?" "Kemesraan yang gimana, Pi?" "Nih, begini! Lihat dong, kembar!" Angga mengecup sekilas pipi Ai dan membuat kedua gadis itu berteriak sambil menutup kedua matanya karena tak terima matanya ternodai. "Aina!! Angga!!" geram keduanya. Pasangan itu justru tertawa terbahak-bahak karena berhasil menggoda Mimi dan Ama. "Hei, kalian kenapa sih, Kak? Lebay deh ah, sampai tutup mata begitu!" ledek Ai semakin membuat si kembar geram. "Iya nih! Padahal cuman kecup doang, bukan ciuman atau melumat, kok. Ya 'kan, Mih?" kelakar Angga membuat si kembar jengah. "Dasar suami istri, sama-sama konyol dan gila!" sungut Mimi. "Iya benar! Kebiasaan banget mata kita pasti saja terkontaminasi pemandangan tak baik jika bersama mereka. Selalu dan selalu saja ada adegan tak senonoh, padahal kita berdua masih kecil!" ucap Ama penuh penekanan. "Sudah cepat! Katakan ada apa meminta kami kesini? Jangan buang-buang waktu kami! Kami sibuk tahu, gak!" ucap Mimi. "Kalian memang gak kangen sama adiknya?" "Gak, sih! Biasa saja," jawab mereka serempak. "Huuh! Menyebalkan!" sungut Ai. "Kalian itu akan jadi Tante!" "Hah? Maksudnya gimana, Angga?" "Aku hamil!!" seru Ai dengan penuh gembira. "Hami? Oh ternyata cuman hamil, toh. Aku pikir kenapa, kalau cuman ha--" ucapan Ama terpotong. "Ha-hamil?" tanya Mimi dengan suara bergetar. Ai dan Angga mengangguk bersamaan. "Hamil? Alhamdulillah!" ucap syukur Mimi langsung mengusap wajahnya. "Ama! Ai hamil! Pea! Adik kita hamil! Ya Allah … Alhamdulillah …. Kenapa responmu seperti itu sih, lemot!" Mimi berlari dan menabrak diri ke tubuh Aina, Angga refleks menyingkir. Mimi langsung memeluk erat Ai. "Hah? Ai hamil! Hore! Eh, Alhamdulillah! Akhirnya punya ponakan lagi!" serunya langsung mendekat dan ikut berpelukan dengan Ai dan Mimi. Ruang keluarga mendadak jadi ramai, penuh dengan sukacita dan kebahagiaan mereka semua. Angga hanya mampu menggelengkan kepala saja saat mendengar ocehan ketiga wanita keras kepala itu. Suaranya benar-benar membuat telinga sakit, tapi ada kebahagiaan sebagai penggantinya. Angga merasa sangat bahagia sekali melihat istrinya selalu dikelilingi oleh orang-orang baik, orang-orang yang selalu menyayanginya dengan sangat tulus. Itu semua membuatnya tak khawatir jika sampai ada panggilan darurat, sebab si kembar akan selalu datang menemani jika Ia meminta tolong menjaga istrinya. "Sungguh, ini adalah kabar yang sangat bahagia! Aku tak menyangka, kamu secepat ini dikasih kepercayaan lagi, Ai! Alhamdulillah," ucap Mimi parau. Ia menahan tangis bahagianya. Mereka bertiga kembali berpelukan lagi. "Jaga diri, Sayang. Kakak janji tak akan pernah membuatmu sakit lagi seperti yang sudah-suda," bisik Mimi menyakinkan Ai. Mimi melepas pelukannya dan menatap Angga. "Angga, ini kabar luar biasa. Tolong jaga adik kami saat kami tak bersama dengannya. Jangan sampai lecet loh. Kalian harus bisa menjaga diri dan sama-sama saling menjaga satu sama lainnya," wejangan dari Mimi mulai terdengar. Angga tersenyum lalu mengangguk. Ia paham betul masa lalu istrinya yang menyakitkan sekali. Maka, saat ia akan meminang Ai, dalam hatinya berjanji bahwa akan selalu menyayangi, mencintai Ai sepenuh hati. Menjaganya seperti ia menjaga diri sendiri. Membahagiakan Ai setulus hati dan tidak akan sedikit pun memberikan air mata kekecewaan. Ketika dokter muda itu sudah berjanji, maka tak akan ada yang bisa menggoyahkan janjinya itu. "Siap! Insya Allah aku akan menjaganya baik-baik. Kalian tak perlu khawatir, kupastikan Ai tak akan pernah terluka. Karena aku, akan menjaganya dengan baik sama seperti menjaga diriku sendiri. Jadi, kalian tenang saja ya." "Angga, jangan pernah biarkan Ai pergi kemana-mana sendirian ya. Dulu, saat pergi bersama kami saja, dia bisa celaka apalagi pergi sendirian," ucap Ama tiba-tiba. Ia seakan tertarik jauh ke masa lalu, bayangan-bayangan kesakitan Ai di masa lalu mulai muncul berputar-putar di dalam pikirannya bagaikan kaset kusut. Kejadian di masa lalu membuat Mimi dan Ama merasa gagal menjaga Ai. "Aku tak akan pernah membuat Ai bepergian keluar rumah sendirian, Ama. Jika ada waktu, pasti aku akan selalu menyempatkan diri dan pastinya ada kalian dan Mbok juga yang akan membantuku menjaga Ai, bukan?" "Iya, memang. Kami pasti akan menjaganya dengan baik. Kami … hanya berjaga-jaga saja. Kamu paham, bukan? Kekhawatiran kami luar biasa dalamnya?" "Iya, Mimi. Kita jaga Ai bersama-sama ya! Yakin dan percaya bahwa Ai ditangan kita berempat akan baik-baik saja dan selalu bahagia," ucap Angga memberikan pikiran positif agar menjadikan keyakinan yang positif juga. "Alhamdulillah, sekarang semua kebahagiaan hadir di dalam hidup, Ai. Allah itu memang adil, ya. Memberikan kebahagiaan yang datang berturut-turut di waktu yang tepat sesuai dengan janji-Nya," jawab Ama memeluk erat kembali adiknya itu. "Makasih kalian sudah selalu ada untuk aku dalam keadaan apapun. Sungguh, aku tak bisa berkata-kata lagi, aku sayang menyayangi dan mencintai kalian, Kakak kembar," jawab Ai penuh haru. Mereka kembali berpelukan, Angga menatap haru mereka bertiga. Mbok pun tak lepas memandang ketiga wanita hebat itu, salut akan persahabatan mereka bertiga. Tak terasa air mata jatuh membasahi pipinya, buru-buru ia mengusapnya dan berjalan mendekati ketiga wanita hebat itu. "Apakah Mbok boleh ikut berpelukan?" tanya Mbok merasa ingin ikut bahagia dengan mereka semua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN