Bayangan masa lalu itu memang tak selalu bahagia dan juga tak selalu menyakitkan tapi percayalah akan selalu ada kebahagian yang muncul suatu saat nanti. Ai saat ini masih sibuk dengan bayangan menyakitkan itu, pikirannya benar-benar ditarik ke masa lalu. Masa lalu yang menyakitkan, suram, penuh kecewa dan kesedihan yang menghiasi, membuat dadanya terasa sakit dan sesak. Pil pahit itu seakan terasa kembali di tenggorokan, rasa getirnya membuat ia tak sanggup untuk menelan.
"Amih?"
"Amih? Hei!"
"Amih, Sayang!" sentak Angga membuat Ai kembali lagi ke dunia nyata dan meninggalkan dunia suramnya.
"Sayang, kamu kenapa?" Seketika Ai langsung tersadar dan gelagapan karena pertanyaan dari suaminya itu.
"Amih, yang lalu biarkan berlalu. Kita saat ini hidup di masa depan untuk menjadi lebih baik dan jangan pernah lagi melihat ke belakang karena itu hanya akan menyakitkan hati," ucap Angga tenang.
"Maaf, Pih. Entah kenapa tiba-tiba saat mendengar ucapan Kakak, aku seperti terseret jauh ke masa lalu dan bayangan-bayangan menyakitkan itu kembali muncul menari-nari di pikiranku."
"Nyonya, jangan terlalu larut oleh masa lalu. Benar kata Tuan, saat ini Nyonya dan Tuan hidup untuk masa depan. Kebahagiaan yang nyata adanya itu ada di depan mata Nyonya, sekarang. Buang dan kalau perlu kubur dalam-dalam masa lalu menyakitkan itu dan hidup bahagia di masa sekarang juga masa depan."
"Berdamai dengan masa lalu, caranya tidak mengingat kembali hal-hal menyakitkan itu. Nyonya sudah cukup merasakan pahitnya pil kehidupan dan sekarang harus menggantinya dengan pil kebahagiaan. Punya keluarga yang sangat mencintai dan menyayangi, punya suami yang pengertian, mertua yang baiknya luar biasa. Nikmati dan syukuri semuanya, Nyonya."
Mbok yang tiba-tiba datang membawa cemilan dan minuman membuat mereka terkejut. Rupanya sejak tadi Mbok mendengar pembicaraan mereka dan sedikit tak suka jika Ai kembali terseret ke masa lalu. Mereka cukup terkejut dengan wejangan Mbok yang tiba-tiba itu. Si kembar menatap Mbok tajam tapi dasarnya Mbok tak peduli tetap dengan aktivitasnya meletakkan makanan dan minuman di atas nakas.
"Mbok!! Kebiasaan, deh! Selalu saja bikin kaget! Tiba-tiba datang tidak terdengar suara langkah kakinya! Menyebalkan!" tukas Mimi membuat Mbok nyengir saja mendengar ocehan Mimi.
"Kakak! Gak boleh galak-galak sama Mbok! Mbok 'kan sudah seperti orang tua kita sendiri selama merantau di Jawa Tengah, dulu. Jadi bicara baik-baik, ya! Dusun, sia!" sungut Ama.
"Ya memang benar! Tapi tetap saja! Menyebalkan pokoknya!"
"Ah sudahlah, Kak."
"Mbok, titip Ai ya kalau misalkan Angga, Ama atau Kak Mimi lagi gak ada disini. Pokoknya, apapun yang terjadi, Mbok harus segera hubungi kami ya. Mbok adalah pahlawan kami dan penolong Ai saat kami tak ada disampingnya. Tolong ya, Mbok," ucap Ama tulus. Mbok tersenyum dan mengangguk.
Padahal, tanpa diminta juga wanita paruh baya itu pasti akan menjaga Ai sebaik mungkin. Sebab, ia sudah menganggap Ai seperti anaknya sendiri.
"Kalian tenang saja, pokoknya Ai ini aman bersamaku dan aman bersama Mbok jika memang kita bertiga sedang tidak bisa menjaganya. Mbok pasti akan menjaganya seperti menjaga anak sendiri, ya 'kan, Mbok?"
"Iya, Tuan. Mbok pasti akan menjaga Nyonya Ai sebaik mungkin. Menjaganya seperti anak sendiri. Pokoknya, apapun yang terjadi pasti Mbok akan selalu menjaganya. Seperti dulu, Mbok selalu menjaganya ya walaupun usia tak bisa dibohongi, Mbok selalu kalah dengan mereka," ucapnya sendu.
"Mbok jangan khawatir, sekarang kita pasti bisa menjaganya dengan baik. Aku akan menjaga Ai juga seperti menjaga diri sendiri. Ai dan anak kami ini adalah hidup dan bahagiaku. Jika terjadi sesuatu dengan mereka, maka aku orang pertama yang akan sangat terpukul dan tidak akan pernah memaafkan pelakunya!!" ucapnya tegas.
Berkaca dari masa lalu, ah lagi-lagi masa lalu memang tak bisa secara keseluruhan untuk dilupakan, pasti masih ada saja potongan-potongan dari masa lalu itu yang tertinggal di pikiran dan di ingatan. Semakin kita berusaha untuk melupakannya maka semua masa lalu itu akan selalu menari-nari indah di pikiran.
Kita yang berusaha berdamai dan ikhlas untuk menerima masa lalu saja terkadang masih suka terlintas potongan masa lalu yang menyakitkan apalagi mereka yang berusaha mati-matian melupakan tanpa bisa berdamai. Hatinya masih akan selalu merasa tidak tenang dan mungkin juga dendam menyelimuti hatinya.
Jujur, Ai merasa sangat terharu mendengar ucapan sang suami. Ia merasa menjadi wanita yang paling berharga dan beruntung bisa menikah dengan Angga, tak lupa juga kehadiran orang-orang baik di sekitarnya yang membuat hidupnya semakin bahagia. Beruntung berada di sekitar orang-orang yang menyayanginya dengan tulus.
Cara mereka menjaga, menyayangi dan mencintai Ai selalu membuatnya terkesan. Ada saja sikap mereka yang membuat Ai memukau Memang Allah tak menghadirkan orang-orang baik di sekitarnya itu. Ia merasa menjadi orang yang paling sangat beruntung.
Apalagi sekarang ia mempunyai suami yang sangat luar biasa, beda sekali sikapnya dengan mantan suaminya, dulu. Ah, bukan maksud membandingkan tapi memang terlihat sekali perbandingannya. Angga adalah lelaki yang baik, penuh perhatian, penyayang, tulus mencintai, siaga dalam keadaan apapun. Sedangkan dulu bersama Vian, ia selalu menangis setiap malam, menderita hidup bersama selama lima tahu, ah sungguh menyakitkan.
Sebenarnya, ada sedikit rasa khawatir di dalam hatinya. Angga ini dokter muda idola para wanita yang mungkin kecantikannya sangat luar biasa dan tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Ai. Ada rasa takut kehilangan tapi kembali lagi Ai pasrahkan semuanya pada Allah dan percaya sepenuhnya pada suami kalau dia tak akan pernah macam-macam.
"Makasih ya, Pih. Makasih sudah mencintai dan menyayangiku dengan tulus. Makasih karena selalu berusaha menjadi yang terbaik untukku. Aku sungguh sangat mencintaimu," ucapnya secara spontan dan lupa bahwa di sini bukan hanya ada mereka berdua tetapi ada si kembar dan juga Mbok.
"Dan terjadi lagi, mereka memang tak punya akhlak. Selalu bermesraan di depan jomblo," ucap Ama dengan suara bernada.
"Iya, udah napa sih, mesra-mesraannya! Gak capek apa mesra-mesraan di depan kami yang masih jomblo dan di bawah umur ini?" sungut Mimi
"Nah, betul! Masih di bawah umur loh, kita. Sontoloyo memang mereka itu!" sahut Ama.
"Makanya, cepetan menikah!" ucap sepasang suami istri itu kompak lalu mereka tertawa terbahak-bahak. Ama langsung memasukkan makanan ke dalam mulutnya dan Mimi langsung meneguk minuman hingga tandas. Mbok hanya menggelengkan kepala saja setelah itu berlalu menuju dapur.
"Eh, tapi kok kalian gak kerja, sih, Mi, Ama?"
"Bagaimana lagi? Ini semua pekerjaan istrimu itu!"
"Loh kok bisa?"
"Ya bisa, Angga! Kami tadi sudah di jalan mau ke tempat klien, eh istrimu ini menelpon dengan santainya minta kita berdua kesini. Berkaca dari sebelumnya dan khawatir terjadi sesuatu, kita batalkan ketemu klien dan langsung kesini," jelas Mimi.
"Iya, padahal tadi sudah setengah perjalanan. Kesini malah nonton kemesraan yang membuat perut mual! Jahat banget, sih. Padahal gara-gara kalian nih kami free dan tak kerja," tukas Ama.
"Free? Freehatin, Kak?" jawab Ai polos. Angga tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan istrinya dan melihat si kembar melongo dengan jawaban, Ai.
"Iya, freehatin, Sayang! Puas!" sungut Mimi.
"Hehe, maaf, Kak."
"Bosan nih, masih pagi gak tahu mau ngapain, 'kan? Kita belanja saja yuk, Ai 'kan lagi hamil, nih. Kita belanja buah gitu dan makanan sehat untuk Ibu hamil. Gak usah jauh-jauh, yang deket-deket sini, saja!" usul Mimi.
"Wah ide bagus, tuh. Kebetulan juga kami belum sempat belanja. Pasti bahan makanan dan buah-buahan juga sudah pada habis. Ayo deh, biar sekalian capeknya. Setelah belanja baru aku istirahat tidur," jawab Angga.
"Gak, deh!" tolak Ai halus.
"Lah? Kenapa Ai? Diajak belanja kok gak mau? Barangkali kamu ngidam macam-macam, ih!" tutur Ama.
"Kasihan Apih baru pulang kerja, pasti capek."
"Ya Allah, gak pa-pa, Sayang. Apa sih yang gak untuk anak dan istriku ini!" jawab Angga.
"Memangnya Apih gak capek?"
"Ya kalau dibilang capek sih, pasti capek! Tapi, jika semua ini untuk anak dan istri, maka gak ada kata capek. Malah semangat dan senang! Sudah, ayo kita berangkat," ajaknya.
"Ya sudah kalau Apih maksa."
"Nah gitu dong, kita pergi dengan satu mobil saja ya," idenya. Si kembar langsung menoleh dan menatapnya tajam.
Si kembar tidak akan pernah mau jika diajak pergi dalam satu mobil. Mereka selalu saja harus menahan nafas apabila bersama Ai dan Angga, sebab sudah dipertontonkan kemesraan yang membuat kesal.
"Lah kenapa? Kok menatap aku begitu?"
"Kenapa harus satu mobil, sih!" sungut Mimi.
"Memangnya kenapa, sih? Bukannya malah enak kalau satu mobil? Kalian jadi gak repot-repot untuk nyetir dan meringankan juga, 'kan?" balas Angga tak mengerti kenapa mereka itu sangat tidak mau jika satu mobil bersama.
"Males! Kalau satu mobil sama kalian tuh selalu dipertontonkan kemesraan yang bikin kita kesal dan mual. Selalu saja bermesraan setiap waktu, membuat malas saja! Iya 'kan, Ama?"
"Iya, benar!"
"Ya Allah! Aku pikir kenapa!"
"Ha ha ha!" tawa Ai tiba-tiba lepas. Semua menoleh padanya dan bingung kenapa tiba-tiba ketawa.
"Kamu kenapa, Ai!"
"Aku sudah menebak, kalian gak mau satu mobil karena apa, eh ternyata aku benar. Hahaha!"
"Sontoloyo!" seloroh Ama.
"Sudah satu mobil saja, kalau aku capek juga 'kan bisa gantian nantinya. Janji gak 'kan bermesraan!"
"Baiklah kalau begitu. Kita satu mobil saja gak pa-pa, Kak," ucap Ama. Mimi mengangguk setuju.
"Mbok, kami pergi dulu, ya! Gak lama kok dan perginya deket-deket saja!" teriak Ai tanpa menoleh lagi.
Mereka berempat tak perlu bersiap lagi, Ai hanya menyambar hijab yang berada di gantungan baju lalu mereka masuk ke dalam mobil dan mobil melesat jauh meninggalkan pekarangan rumah. Mereka menuju pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari rumah. Cari yang dekat-dekat saja tapi komplit tempatnya. Kasihan juga Angga jika harus menyetir jauh, apalagi dia baru saja pulang kerja dan belum istirahat sama sekali.