Banyak sekali orang yang ragu untuk bicara jujur. Sebab, menurut mereka bicara jujur itu menyakitkan. Padahal, bicara jujur walaupun menyakitkan itu tak butuh waktu lama untuk sembuh, tapi jika sudah dibohongi maka akan membutuhkan waktu lama untuk menyembuhkannya. Angga memang sudah berusaha untuk melupakan semuanya walaupun sulit. Lalu, wanita yang sudah merusak kepercayaannya itu kembali datang dan membuat kekacauan.
Angga tersadar dari lamunan masa lalunya yang suram itu. Ia kembali menoleh pada Ai, bumil itu memejamkan matanya seakan sangat lelah, padahal yang lelah itu hatinya bukan tubuhnya. Angga membiarkannya dan tak ingin mengganggu. Mobil masuk ke dalam pekarangan rumah dan akhirnya sampai di rumah cukup memakan waktu lama karena jalanan macet. Si kembar melirik ke depan dan memastikan apakah Ai tidur atau tidak.
Ternyata sudah tertidur, perlahan si kembar membuka pintu mobil dan menutupnya pelan-pelan. Angga pun melakukan hal yang sama, tak ingin membangunkan istrinya, ia beranjak dan membuka pintu tempat Ai berada. Lalu, menggendongnya dan membiarkan Ai tetap terlelap. Si kembar mengambil alih mobil, memarkirkannya dengan benar lalu masuk ke dalam rumah.
Malam ini, Angga bebas dinas jadi lebih banyak waktu untuk Ai. Tak ingin tidur sang istri terganggu, Angga langsung menggendongnya masuk ke dalam kamar. Saat direbahkan di atas ranjang, Ai menggeliat dan mengerjapkan matanya beberapa kali. Angga terpesona melihat wajah lucu istrinya itu.
"Eng, udah sampai kamar ya, Pih?"
"Iya, Sayang. Sudah lanjutkan lagi tidurnya ya."
"Mandi dulu ah, Pih. Gerah banget."
"Yakin?"
"Iya, Pih. Tadi nunggu Apih ambil obat 'kan lama banget, jadi keringetan. Ini lengket badannya."
"Hm … ya sudah. Pakai air hangat ya."
"Iya, Sayang."
Ai beringsut turun dan masuk ke dalam kamar mandi. Di dalam kamar mandi, untuk sesaat ia kembali mengingat kejadian tadi dan memikirkan cara bagaimana agar mengetahui semuanya. Walaupun ia yakin, cepat atau lambat suaminya itu akan menceritakan semuanya. Tapi entah mengapa, ia merasa tidak sabar.
Mungkin, rasa penasarannya semakin tinggi itu karena efek hamil. Jiwa detektif di dalam dirinya meronta-ronta untuk bekerja namun lagi-lagi dia justru bingung harus bagaimana. Memikirkan hal itu tidak akan pernah ada habisnya, justru semakin pusing. Ai bergegas melanjutkan mandinya dan segera menyelesaikan membersihkan diri.
Keluar dari kamar mandi melihat suaminya juga seakan siap untuk mandi.
"Loh, Apih mandi juga?"
"Iya, Sayang. Gerah."
"Baguslah, yang bersih ya, Pih!"
"Iya, Amih."
"Oh iya, Pih."
"Kenapa?" Angga menghentikan langkahnya.
"Jangan lupa, buang jauh-jauh sisa-sisa pelukan tadi. Jangan sampai dibiarkan! Bahaya! Nanti membusuk!" sindirnya.
Ai naik ke atas ranjang dan mencoba memejamkan mata, sedangkan Angga terpaku karena ucapan istrinya yang secara tidak langsung membuatnya tak berkutik. Ia menghembuskan nafas lalu melangkah masuk ke dalam kamar mandi.
Mau sampai kapan kamu menyembunyikan sesuatu dariku, Pih? Padahal, dulu aku sudah menceritakan semua yang terjadi pada hidupku, tapi kamu sama sekali tak menceritakan apapun seakan-akan tak punya masa lalu yang buruk, gumamnya.
Pih, aku memang bukan wanita yang sempurna karena masa lalu itu sangat suram tapi apa salah jika aku ingin kau berbagi juga tentang rasa sakit di masa lalu? Aku tahu, kalian pernah terjadi sesuatu di masa lalu.
Wanita itu menatapmu dengan penuh kerinduan, tapi dirimu membalas tatapannya dengan tajam dan begitu mengerikan. Sedalam apa rasa sakitmu itu, Pih? Semoga, setelah ini kamu berniat menceritakan semuanya, lanjutnya.
Di dalam kamar mandi, Angga mondar-mandir tak kunjung membersihkan diri. Ia bingung bagaimana harus bersikap di hadapan istrinya. Benar-benar tak punya nyali untuk berbohong. Menyerah mungkin adalah jalan satu-satunya agar sikap Ai kembali baik. Angga bergegas menyelesaikan ritual mandinya lalu keluar dari kamar mandi dan melihat istrinya itu sudah memejamkan mata.
Perlahan, Angga naik ke atas ranjang, Ai yang akan terlelap tiba-tiba terjaga kembali namun tetap dalam keadaan memejamkan mata. Pergerakan di atas ranjangnya semakin intens, itu tandanya Angga sudah berada di sampingnya. Angga memeluk Ai dengan sangat erat dan mengecup puncak kepalanya.
"Sayang, sudah tidur ya?"
Hening. Tak ada jawaban dari Ai, ia sengaja tak bersuara karena ingin tahu setelah ini apa yang akan terjadi.
"Sayang."
Hm … Ai pasti belum tidur, istriku ini pasti masih ngambek dengan kejadian tadi. Biarkan saja aku ajak bicara sampai ia menyahut deh.
"Sayang, maafkan aku."
"Sayang, aku gak tahu kamu sudah tidur atau belum tapi setidaknya walaupun sudah tidur pasti alam bawah sadarmu akan mendengar."
"Maaf, bukan maksud ingin menyembunyikan. Tapi, aku berusaha semaksimal mungkin untuk membuangnya dan tak ingin kau tahu rapuhnya aku dulu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku ini kuat agar kau yakin dan merasa aman bersamaku."
"Dia adalah Sabrina. Seorang model pada zamannya, cantik, jelita dan banyak di gandrungi para lelaki tampan dan juga kayak. Aku tak pernah sedikit pun bermimpi bisa dekat dengannya, tapi ternyata nasib baik datang padaku. Ia menyukai aku dan mengejar-ngejarku, awalnya aku menolak karena tak ingin menyakiti para lelaki itu tapi ternyata usahanya itu berhasil meluluhkan hati ini."
Sabrina? Nama yang cantik seperti orangnya, tapi sayang sikapnya tak secantik nama dan orangnya. Wanita itu terlalu angkuh menurut penglihatanku, jawab Ai dalam hati.
"Singkat cerita, akhirnya kami berpacaran dan tujuan kami adalah menikah. Aku selalu berusaha menjadi yang terbaik untuknya bahkan selalu menjaganya dengan baik. Kedua orang tuanya sangat percaya padaku hingga mempertanyakan kapan aku akan datang bersama orang tua untuk mengajaknya tunangan."
Jadi, dulu Apih sempat bertunangan dengan seorang wanita? Dan wanita itu adalah Sabrina? Wanita yang hari ini sudah menabrakku dalam beberapa kali? Apa ini ya Allah … jangan sampai semuanya terulang kembali. Aku tak ingin ada sesuatu yang menyakitkan terulang kembali. Lindungilah keluarga kecilku ini Ya Allah, doanya dalam hati.
"Tidak lama setelah itu, kami bertunangan. Hubungan kami baik-baik saja, bahkan sangat baik. Tak pernah ada masalah atau pertengkaran yang besar. Walaupun masalah-masalah kecil pasti datang menghampiri."
"Hingga satu malam, ia menghubungiku untuk menemuinya. Kala itu, aku masih ada praktek, dia merajuk dan menonaktifkan ponselnya. Setelah praktek selesai, aku mencoba menghubunginya tapi masih tak bisa juga. Akhirnya, aku pergi menemuinya."
"Aku datang ke rumah kontrakannya dan ternyata aku mendapatkan kejutan yang sangat luar biasa. Dia tengah memadu kasih di atas ranjang bersama lelaki lain. Dengan suara erangan yang menyakitkan telinga, duniaku terasa hancur. Rasa sesak menyeruak hingga relung hati terdalam. Aku hancur hingga berkeping-keping."
Astaghfirullah … rasa sakitmu ternyata sama seperti aku, Pih. Kamu sakit karena dikhianati dan aku pun sakit dikhianati. Kenapa masa lalu kita bisa sama seperti ini, Pih? Semoga setelah ini banyak kebahagiaan yang tercurah di dalam langkah kita, ucapnya dalam hati lagi.
"Selama ini, aku menyayangi dan mencintainya dengan tulus. Aku menjaganya dengan baik bahkan memberikan kepercayaan penuh. Tapi apa balasan nya? Semua rasaku padanya dipatahkan dalam satu waktu saja."
"Dipatahkan oleh tingkahnya yang menjijikan. Seakan tanpa rasa malu ia duduk di atas lelaki itu dan memainkan tubuhnya dengan sangat lihay. Ah, sungguh aku mengingatnya saja malu."
"Aku tak menyangka, setelah beberapa tahun tidak pernah bertemu, kami kembali bertemu lagi. Rasa sesak itu muncul kembali saat melihatnya, benci di dalam hatiku yang sudah terkubur bertahun-tahun seakan tergali lagi, luka yang selama bertahun-tahun ini berhasil aku sembuhkan seakan terbuka kembali dan rasanya sungguh perih."
"Aku sungguh sangat membencinya. Rasanya, kata maaf saja tak cukup untuk menebus semua kesalahannya. Aku terluka, bahkan sangat terluka pada masa itu."
Aina membuka matanya, ia melihat bahunya suaminya terguncang.
Menangis? Apih menangis? Ini adalah pertama kalinya aku melihat dirinya menangis seperti ini.
Kalian tahu? Jika seorang lelaki menangis karena sesuatu hal, itu artinya ia benar-benar sangat terluka akan hal itu sehingga tak mampu lagi menahan dirinya untuk tidak menangis.
Ai tak menyangka, rasa sakit yang diderita suaminya itu sungguh menyedihkan. Ai yakin, suaminya itu sudah sangat berjuang untuk berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu. Wajar jika semua rasa sakit itu muncul kembali saat melihat seseorang yang sudah menanamkan rasa sakit itu.
Mungkin, Ai pun akan berlaku sama jika bertemu dengan Vian. Sebab, lelaki itu berhasil merobek dan menyebabkan luka di hatinya. Bahkan luka-luka itu terlihat masih sangat basah karena terlalu sering disiram oleh kekecewaan dan rasa sakit yang mendalam.
Ai mengusap lembut kepala suaminya itu, Angga terpaku. Tubuhnya tiba-tiba menegang, ia tak menyadari bahwa dirinya tengah menangis di hadapan sang istri. Pertahanannya benar-benar bobol sekarang, padahal ia sudah berusaha menahan diri untuk tidak menangis. Tapi semua ini mengalir saja tanpa diminta.
"Mih," ucapnya parau.
"Menangislah, Sayang. Menangislah jika dengan menangis akan membuat hatimu tenang. Aku tahu apa yang kamu rasakan, aku pun bisa merasakannya. Aku tahu rasa sakitnya seperti apa sebab aku juga pernah merasakannya."
"Berdamai dengan masa lalu tak semudah membalikkan telapak tangan. Orang-orang sekitar memang dengan mudahnya bicara berdamailah dengan diri sendiri dan masa lalu, karena itu akan membuat hati kita tenang. Tapi, percayalah melakukannya itu tak semudah berbicara."
"Kita harus jatuh berkali-kali, menahan dan menekan rasa sakit yang sangat luar biasa. Membuang semua mimpi-mimpi buruk yang sering kali membuat diri kacau. Dan tetap berdiri tegak di kaki sendiri, menguatkan beban di kaki agar tak mudah lagi digoyahkan oleh sebuah rasa sakit dan luka."
"Pih, kamu hebat! Hebat karena sudah berhasil untuk berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu. Teringat kembali akan rasa sakit itu, wajar. Tapi, menyimpan dendam di dalam hati itu tidak baik. Berusahalah menjadi baik walaupun orang itu tidak baik."
"Mih, maafkan aku."
"Jangan minta maaf, Sayang. Semuanya terjadi begitu saja, tak ada yang perlu disalahkan. Kita berdua sama-sama memiliki masa lalu yang menyakitkan."
"Tapi, Mih … aku tak akan pernah bisa berdamai dengannya. Mungkin jika untuk berdamai dengan masa lalu aku bisa. Tapi, berdamai dengannya? Aku memilih untuk tidak berdamai. Dia adalah ular berbisa, Mih. Pintar sekali memutar balikkan fakta, ia yang salah namun merubah keadaan dan membuat orang lain yang menjadi salah."
"Dulu, ia beberapa kali memfitnahku, Mih. Pertama, Mami dan Papi yang masuk ke dalam perangainya. Mereka berdua percaya dengan ucapannya, apalagi Mami tapi aku mencoba menjelaskan semuanya dan kamu tahu? Sebelum aku memergokinya, aku sempat merekam semuanya."
"Aku tahu bagaimana sifatnya, maka dari itu aku merekam kejadian dengan tujuan agar dirinya tidak playing victim. Dan benar dugaanku, ia memainkan drama di hadapan Mami dan Papi. Lalu sahabat-sahabatku dan beberapa rekan di rumah sakit. Ada yang percaya dan ada yang tidak."
"Aku tak bisa juga memukul rata agar mereka mempercayaiku, tapi lambat laun saat mereka semua melihat dengan kepala mata sendiri kelakuan wanita ular itu, langsung merasa bersalah dan meminta maaf padaku."
"Memang separah itu?"
"Banget, Mih! Dia itu ratu drama! Ular berbisa! Ah pokoknya gak ada bagus-bagusnya, deh!"
"Hm … tapi tatapannya itu …."
"Tatapannya kenapa? Menjijikan? Iya, memang!"
"Bukan."
"Lalu?"
"Tatapan matanya penuh dengan kebingungan."
"Ya mungkin, dia terkejut karena mengetahui Apih sudah menikah. Baginya, itu adalah kenyataan yang sangat menyakitkan, sebab beberapa bulan sebelum kita menikah pun ia sempat mencari tahu tentang, Apih."
"Oh begitu."
"Tapi, tenang saja, Mih. Amih harus percaya pada Apih. Sebab, tak pernah ada sedikitpun niat untuk tidak setia. Di dalam hati, pikiran dan jiwaku, hanya ada Amih dan anak-anak kita saja. Bahagiaku bersama kalian, bukan bersama orang lain."
"Hm … gombal!"
"Tidak. Aku berkata jujur, sumpah, Mih!"
"Tapi tetap saja, Pih. Kerinduan tak bisa dibohongi."
"Maksudnya?"
"Di dalam sorot matanya itu ada sebuah kerinduan dan mungkin cinta yang membekas di hati. Ada binar-binar kebahagiaan saat melihat dan bertemu, Apih. Tak masalah sih, Amih juga tidak mempermasalahkannya. Mungkin, Apih adalah mantan terindah baginya."
"Tapi …."
"Tapi apa, Sayang?"
"Tolong tepati janji Apih, ya. Apih tak akan pernah pergi dan meninggalkan Amih apapun yang terjadi. Baik itu dalam keadaan senang, suka maupun duka, selalu bersama di sampingku ya, Pih. Jangan pernah tinggalkan aku dan anak-anak. Jaga kami seperti Apih menjaga diri sendiri."
"Hei, kamu itu bicara apa? Jangan membuatku sedih! Aku tak akan meninggalkanmu! Tak akan pernah sampai kapanpun! Kamu adalah jiwaku dan kehidupanku. Aku mati jika jiwa dan kehidupanku pergi. Dan perlu kamu pahami, Mih. Tanpa diminta pun aku tak akan meninggalkan kalian dan akan menjaga kalian sepenuh hati juga jiwa ragaku."
"Kalian adalah segala ya. Sekali lagi, aku tak akan pernah bisa hidup tanpa kalian. Jadi, jangan bicara seperti itu lagi ya."
"Aku hanya merasa khawatir, Pih."
"Tak perlu khawatir, Mih. Tenang saja, semua akan baik-baik saja. Dan, tidak akan pernah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Kita akan selalu bersama, berpegangan tangan melewati segala macam ujian dalam hidup. Jangan pernah ragu dan melepaskan genggaman tanganku ya, Mih. Kita berdua akan menciptakan kebahagiaan yang luar biasa bersama-sama."
"Amih percaya, Pih. Makasih ya selalu berusaha menyakinkan hati Amih. Semoga kebahagiaan selalu mengiringi langkah kaki kita dan anak kita membawa kebahagiaan luar biasa."
"Aamiin."
Ya Allah, aku hanya ingin meminta agar kebahagiaan yang aku rasakan ini tak akan pernah sirna. Masa lalu sudah cukup membuat derita berkepanjangan, tolong berikan kebahagiaan di setiap langkah kakiku. Bukankah aku pun punya hak untuk meraih bahagia? Aku ingin bahagia, apa salah dan tak pantas jika aku ingin merasa bahagia? ucap Aina dalam hati.
Mereka saling menatap satu sama lain dan mulai memejamkan mata dengan berpelukan. Keduanya mencoba melupakan kejadian tadi dan menumbuhkan pikiran positif dalam diri masing-masing. Saling menguatkan pondasi dan juga dinding rumah tangga agar semakin tinggi. Agar, jika nanti ada terpaan atau badai yang datang seperti apapun tak akan mampu meruntuhkan pondasi tersebut.
Badai rumah tangga sudah pasti ada, namun semuanya balik lagi pada masing-masing pasangan, mereka bisa atau tidak melewatinya dengan sabar dan ikhlas. Melewati segala macam bentuk badai dengan tenang dan menyelesaikan dengan cinta tanpa harus menjadikan masalah yang bisa dibuat selesai justru malah sebaliknya.
Jika pasangan suami istri itu merasa ikhlas akan segala sesuatu yang terjadi dan mereka menikmati setiap prosesnya. Maka, jalannya akan semakin mulus walaupun kerikil-kerikil tajam tersebar di jalanan yang luas. Tetapi, jika pasangan suami istri itu tidak bisa belajar ikhlas dan menerima satu sama lainnya maka kehancuran sudah terlihat di depan mata.
Dalam rumah tangga, bukan hanya melulu persoalan itu tentang seksualitas. Namun, ada fase demi fase yang akan dilewati seiring berjalannya waktu. Dengan sabar dan ikhlas maka akan terasa sangat tenang juga damai. Menikmati setiap proses dalam hidup walaupun harus hidup dengan merangkak dari nol. Bertahan karena tidak hanya sehari dua hari hidup bersama tetapi akan selalu merajut asa hingga maut memisahkan mereka.
Percayalah, badai pasti akan berlalu selama pasangan tersebut mampu menguatkan diri satu sama lainnya, mengerti satu sama lainnya, mendukung satu sama lainnya dan mengalah satu sama lainnya. Mengalah bukan berarti kalah tetapi mengalah untuk ketenangan bersama.
Buang jauh-jauh sebuah ego dan amarah satu sama lain. Sebab, jika tak mampu dan tak bisa mengesampingkan ego juga amarah yang ada di dalam hati, keduanya akan menghancurkan keadaan di saat ada masalah. Bukan ego dan amarah yang harus didahulukan atau diutamakan, melainkan cinta, kasih sayang dan juga perhatian. Indah sekali hidup rumah tangga apabila bisa saling menyayangi satu sama lain tanpa mengedepankan ego dan amarah.
Setiap permasalah itu, pasti ada jalan keluarnya. Dan, mungkin yang terjadi pada Aina saat ini hanya seujung masalah yang nantinya akan ada masalah di kemudian hari yang lebih besar. Kita tidak akan pernah tahu bukan? Kapan dan dimana akan datangnya masalah tersebut. Jadi, menyiapkan diri juga metal lebih dulu tidak ada salahnya.
Lagi pula, kehidupan Ai di masa lalu lebih dari ini. Kehidupan yang lalu saja bisa dihadapi selama beberapa tahun, masa iya kehidupan baru beberapa bulan sudah membuatnya gentar seperti ini. Apa kata dunia? Tidakkah merasa ditertawakan oleh keadaan jika menghadapi masalah mudah seperti ini saja harus dengan otot, bukan otak? Menyedihkan.