Kinan tahu bahwa akhirnya Arfi dan Ella berkencan. Ella terlihat sangat bahagia. Semakin cantik dan riang. Sepertinya semua orang di sekitarnya akan tersenyum karena melihat kecantikan dan keriangan Ella. Ella yang tidak tahu bahwa sahabatnya memendam rasa kagum pada Arfi, bercerita dengan penuh kebahagiaan. Ella tidak tahu tiap kali dia tersenyum bahagia saat bercerita tentang Arfi, tiap kali itu pula luka di hati Kinan semakin berdarah.
“Apakah kalian serius La? Maksudku, kamu dan Pak Arfi.” Tanya Kinan, memasang senyum palsu.
“Iya dong, serius. Eeh tapi kamu jangan panggil Pak ke Arfi. Mas aja sih Kinan, umur kita gak beda jauh kok.”
“Tapi gak sopan Ella, aku kan bukan siapa-siapanya Pak Arfi.” Kinan menolak halus.
“Nanti aku yang akan bilang ke Arfi. Euum tahu gak Kinan, Arfi tuh ternyata orangnya perhatian banget. Gak menyangka deh dia bisa seperhatian itu. Kemarin ya pas aku flu, dia tiba-tiba saja datang membawa sup ayam Pak Min Klaten kesukaanku. Gak cuma itu, dia juga……”
Entah apa yang diucapkan Ella, Kinan tidak mau dengar lagi. Seperti biasa, dia hanya perlu memasang senyum bahagia, senyum palsu untuk sahabat satu-satunya.
Hanya Ella, satu-satunya orang yang mau berteman dengannya saat mereka kuliah di kampus yang sama. Saat mahasiswa lain melihat ke arahnya dengan pandangan aneh dan jijik, tidak demikian dengan Ella. Ella memang berhati baik, secantik wajahnya, demikian pula hatinya. Jadi, dia tidak akan menghancurkan kebahagiaan Ella. Toh yang dia perlu lakukan seperti biasa adalah, berpura bahagia.
***
Ella dan Arfi semakin dekat, sesekali Ella memaksa Kinan untuk ikut jalan-jalan bertiga, tapi Kinan tahu diri. Dia tahu, Arfi sering melihatnya dengan tatapan aneh. Lagipula mana ada sih kencan tapi diganggu oleh seorang gadis aneh sepertinya. Seperti saat ini. Arfi melihat ke arahnya penuh pandangan mata tidak suka.
“Kenapa tidak double date saja? Kita berdua, dan Kinan dengan pacarnya. Jadi masing-masing tidak terganggu.” Kata Arfi tajam.
“Aaaww… Ella, kenapa aku dicubit sih?” Arfi menoleh ke arah Ella yang mencubit perutnya, “lagian memangnya kamu bisa mencubit di situ hmm…?” Arfi membawa tangan Ella ke bibirnya untuk dia cium. Kinan membuang muka, luka itu semakin berdarah.
“Arfi! Gak boleh gitu sama Kinan. Pertama, aku yang ajak Kinan untuk ikut, biar dia sesekali keluar kost. Kedua, Kinan gak punya pacar loh. Eeh mungkin kamu ada teman yang bisa kita kenalkan ke Kinan? Jadi kita beneran bisa double date.” Tanya Ella dengan antusias.
“Eeh saya terima telepon dulu, maaf.” Saved by the bell, Kinan segera menjawab panggilan telepon itu. Dari eyang tercinta yang menanyakan kabarnya. Kinan sengaja meminta eyangnya untuk berhenti sebentar agar dia bisa pamit pulang dulu kepada Arfi dan Ella.
“Ella, aku pulang dulu ya. Maaf, tapi telepon ini cukup penting jadi tidak bisa ditolak. Maaf Mas Arfi, saya duluan. Permisi.” Kinan berpamitan pada sahabat dan lelaki yang diam-diam dia suka.
Sesampainya di kamar kos, dia langsung mandi, menumpahkan segala isi hatinya ke sebuah buku diary kecil. Buku itu berisi curahan hatinya jika dia merasa rindu pada ibu, ayah, eyang dan tentu saja Arfi. Mungkin hanya beberapa orang saja yang masih menulis diary. Tapi dia kan memang old style. Dia merasa lebih nyaman jika bisa menuangkan apa yang dia rasakan di selembar kertas. Tidak hanya berisi curahan hati, tapi terkadang dia juga memberi gambar dan emoticon yang dirasa pas.
Kali ini, lembaran itu terkena tetesan air matanya. Entah kenapa dia menjadi sungguh sensitif sejak Ella menjalin hubungan serius dengan Arfi. Bukan salah Ella atau Arfi, tapi ini salahnya. Memangnya dia siapa, berharap agar Arfi mau dengannya?
Tadi Ella melakukan panggilan video dengannya, dengan nada gembira sahabatnya yang cantik dan baik hati itu berkata bahwa Arfi melamarnya! Beruntung lampu kamarnya temaram, hingga Ella tidak menyadari perubahan air mukanya. Tapi, kembali Kinan harus berpura gembira demi Ella. Orang tua Ella berdomisili di Riau, tak butuh waktu lama bagi keluarga Sindhu untuk datang ke Pekanbaru untuk meminang Ella secara resmi. Ella memintanya untuk ikut datang ke Pekanbaru dan menjadi salah satu anggota keluarganya. Kinan tidak mampu menolaknya. Ella terlalu baik padanya, dan dia sungguh memohon agar Kinan mau menjadi salah satu saksi dari kebahagiaannya.
Haaah….. hujan. Sepertinya hujan malam ini tahu apa yang aku rasakan.
Kinan mendesah pelan. Dibukanya tirai agar dia bisa leluasa melihat rintik air hujan yang turun dari langit. Pendar lampu halaman membuat suasana semakin syahdu. Percik air hujan terkena kaca jendela, bulir-bulir itu seperti berlomba menuruni kaca. Bibir Kinan tersenyum perih. Jemari tangannya menulis sebuah nama di kaca yang mengembun. Sebuah nama yang hanya akan hadir di mimpinya saja.
Bunyi pesan masuk terdengar di ponselnya, membuyarkan lamunannya. Ella menanyakan kesediaannya untuk hadir pada saat acara lamaran Arfi, jadi dia bisa memesan tiket pesawat dari sekarang. Tidak mampu lagi untuk menolak, akhirnya Kinan menjawab iya.
Ibu, apakah ibu dulu pernah merasakan sakit seperti yang aku rasakan? Apakah ibu pernah patah hati? Apakah rasanya seperti ini? Tapi, kupikir ini mungkin bukan patah hati ya bu? Bagaimana mungkin ini bisa menjadi patah hati, sedangkan hati kami tidak pernah bertaut. Aku bukanlah apa-apa atau siapa. Aku hanyalah Kinan, si gadis pembawa sial seperti kata ayah.
Kinan bermonolog pada sebuah bingkai foto kecil. Foto lama, seorang perempuan berwajah cantik, mirip dengannya, tapi dengan senyum lebar. Hanya itu kenangan yang dia punya pada sang ibu yang melahirkannya. Foto yang selalu menjadi tempatnya berkeluh kesah. Terkadang, dia bahkan mendekap foto itu hingga ia tertidur.
***
“Kinan ini tiketmu ke Pekanbaru. Aku harus berangkat dulu beberapa hari sebelumnya untuk persiapan. Nanti biar dijemput sama abang yaa.” Ella mengingatkan Kinan. Acara lamaran tinggal seminggu lagi. Dia akan berangkat terlebih dulu untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Dia mewanti-wanti Kinan agar hadir di acara bahagia itu. Bagaimanapun juga Kinan sudah dianggap sebagai anggota keluarga.
“Iya. Insya Allah aku datang.” Desah Kinan, coba kembali menampilkan senyum palsunya. Kebaya yang berwarna sama dengan keluarga Ella sudah dia coba kemarin, sungguh pas di tubuhnya. Tidak ada alasan untuknya menolak hadir. Ella satu-satunya sahabat yang tulus mau berteman dengannya.
Yang perlu dia lakukan hanyalah memasang senyum bahagia, walau palsu. Memasang tembok penyangga hati, agar dia mampu bertahan. Sekali lagi, ini hanyalah sebuah hujan yang akan berhenti.
***