“Nona Kinan Btari Pembayun, mohon ke meja pendaftaran.” Kinan segera menuju ke meja pendaftaran. Dia sudah sampai di Magelang, kota asri nan indah dan berhawa cukup sejuk. Di kota ini ada sebuah ikon yang melegenda hingga ke seluruh dunia.
Candi Borobudur.
Sebuah candi Budha terbesar di dunia yang ditemukan lagi oleh Gubernur Hinda Belanda yang bernama Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1814. Karena keindahannya ini pula pada tahun 1991, Candi Borobudur ditetapkan sebagai salah satu benda budaya peninggalan masa lampau atau situs warisan dunia oleh UNESCO.
Usai melakukan registrasi ulang, Kinan kembali ke grup sepedanya. Total ada tujuh orang, empat orang lelaki dari kampung dan dia kenal semua, dua orang lagi adalah kenalan dari teman-temannya itu.
“Sudah beres semua Kinan?” Sapa suara ramah lelaki yang menjadi ketua tim grup itu, Iko, pada Kinan. Mereka tetangga desa, bersahabat dari kecil. Iko termasuk salah satu orang yang tidak pernah merundungnya, bahkan dia lebih sering melindungi gadis manis itu.
“Alhamdulilah sudah beres dong. Tinggal gowes kita. Aku jadi gak sabar lagi nih.” Jawab Kinan sambil tersenyum. Sebuah senyum bahagia, pada saat seperti ini, dia merasa kebahagiaan tanpa harus berpura di depan orang lain.
“Syukurlah kalau begitu. Ini semua serba baru ya? Sepeda baru, helm baru, sarung tangan juga baru.” Iko menelisik sepeda dan perlengkapan yang dibawa Kinan. Senyum Kinan semakin lebar, dia bahkan mengangguk tanda mengiyakan.
“Aah sebenarnya lu mau bilang gini kan : Kinan, semua udah serba baru loh, kapan kita berdua menempuh hidup baru? Hahaha… gitu kan?” Sambar salah seorang anggota grup itu. Wajah Iko yang berkulit kecoklatan mendadak berubah tersipu malu. Tapi dia tidak menampik. Kinan melihat ke arah Iko dan kembali memberikan senyum terbaiknya.
“Sudah, sudah, lu mah kebangetan deh En, ketua tim lu isengin gini. Ntar lu kagak dikasih makan ama eyangnya Kinan baru tahu rasa deh. Yuk kita segera beberes barang-barang kita, cuss ke hotel untuk istirahat.” Bagas, salah satu anggota tim, berusaha menyelamatkan Iko, si ketua tim yang tampak malu-malu. Sudah bukan rahasia lagi kalau Iko memendam rasa pada Kinan, tapi sepertinya perasaan itu bertepuk sebelah tangan, karena hingga kini di usia mereka yang menginjak dua puluh enam tahun, Iko masih setia sendiri dan Kinan juga tidak menanggapi perasaan Iko padanya.
“Thank’s bro! Si Enda emang kebangetan deh dari dulu kalau gangguin aku ama Kinan.” Bisik Iko pada Bagas.
“Beres! Tapi kesempatan bagus tuh, lihat, Kinan bawa backpack segede itu sama tas printilannya. Bantuin gih, gue mah udah punya feeling lu bakalan nikah ama Kinan kok.” Bagas menyuruh Iko agar segera membantu gadis idaman hatinya itu. Iko berlari kecil dan segera mengambil backpack yang hendak Kinan angkat. Tentu saja Iko mengaminkan pernyataan Bagas, sambil berharap malaikat juga mengaminkan hal itu.
“Aku aja yang bawa, Kinan. Kamu bawa tasku aja ya, tasku kecil dan lebih enteng dari punyamu nih.” Iko segera mengambil backpack Kinan tanpa sungkan. Mereka berdua berjalan bersisian, suasana sedang ramai karena para peserta lomba Tour de Borobudur sedang melakukan pendaftaran ulang.
“Aduuh maaf…, maaf…” Kinan mendunga, dan matanya membola saat melihat siapa yang tadi tanpa sengaja dia tabrak.
“Eeh maaf ya Mas, teman saya tidak sengaja tadi nyenggol. Sekali lagi maaf, permisi.” Iko mewakili Kinan meminta maaf pada orang yang dia senggol.
“Kinan, kalau jalan sambil lihat depan dong, jangan menunduk terus, nanti kaya tadi, menyenggol orang lain. Ikut aku aja yuk.” Iko mengambil tangan Kinan, digenggamnya tangan itu agar mengikuti langkahnya. Kinan menurut, tapi dia menoleh ke belakang dan melihat Arfi yang melihat ke arahnya dengan tatapan aneh.
***
Tour de Borobudur sudah selesai. Setiap tahun, Kinan selalu menghabiskan jatah cuti tahunan untuk tur ini dan Idul Fitri tentu saja. Beruntung bosnya pengertian, jadi tidak menjadi masalah yang dibesarkan. Seperti biasa, usai acara, mereka akan bertandang ke rumah Eyang. Bahkan eyang sudah menyediakan kendaraan khusus bagi mereka. Keluarga Kinan adalah pengusaha yang sukses di daerah itu. Mempunyai kebun kopi dan teh sendiri yang sudah turun temurun. Tapi eyang meminta Kinan untuk bekerja di perusahaan orang lain, menjadi seorang staf atau bawahan pada orang lain. Agar nantinya saat Kinan menjadi bos, dia sudah tahu rasanya menjadi bawahan. Jadi bisa lebih menghargai anak buah.
Saat Kinan hendak naik mobil yang tersedia, terdengar ada suara yang memanggilnya.
“Kinan heii Kinan… tunggu.”
Kinan tidak jadi masuk ke mobil. Dilihatnya seorang lelaki yang tergopoh berlari mendekatinya, Alif. Iko juga tidak jadi masuk ke mobil, dia sengaja berdiri di belakang Kinan. Postur tubuhnya yang atletis dan tinggi menjulang, tampak sangat melindungi Kinan. Alif mengernyitkan kening saat melihat Iko dengan tatapan wajah tidak suka melihat ke arahnya. Tapi dia kan tidak ada urusan dengan Alif.
“Hai Kinan, susah banget sih ya mau ngobrol denganmu. Ini kan tur sudah selesai, kami mau keliling dulu sebelum kembali ke Jakarta. Mungkin kamu bisa ikut kami?” Tanya Alif dengan nafas masih ngos-ngosan.
“Uhuuk…” Iko terbatuk, kaget mendengar permintaan absurd dari lelaki yang hampir sebaya dengannya.
“Maaf Pak Alif, saya tidak bisa. Saya mau kembali ke Wonosobo, Eyang saya sudah menunggu saya dan teman-teman.” Jawab Kinan dengan tersenyum.
Alif melihat Kinan dengan intens. Kulit wajah kekuningan Kinan nampak kemerahan karena terbakar sinar matahari, efek bersepeda selama beberapa hari ini. Beberapa hari ini, selama tur berlangsung, Kinan menjadi topik hangat pembicaraan grup mereka. Tidak menyangka ternyata stamina Kinan mumpuni untuk menyelesaikan tur. Jujur, Alif semakin jatuh hati pada Kinan. Dia banyak mengorek info pada Arfi, karena dia tahu bahwa Kinan dan tunangan Arfi bersahabat.
“Iya, Ella ama Kinan emang sohib, tapi gak berarti gue juga deket sama tuh gadis kan? Lagian gue ngerasa ada sesuatu yang aneh ama tuh gadis deh.” Sayangnya info yang berhasil dia dapat dari Arfi sangat minim. Hingga mau tak mau dia harus berusaha sendiri.
“Ayo Kinan, kita segera berangkat.” Iko berbisik di belakang telinga Kinan, menimbulkan sensasi geli pada gadis itu. Iko tahu ada pandangan berbeda dari lelaki di depannya pada gadis yang dia suka. Dia harus melindungi Kinan untuknya.
“Maaf Pak Alif, saya per…” Baru saja Kinan hendak pamitan, tiba-tiba saja Alif berteriak gembira.
“Boleh kami ikut ke kampungmu Kinan? Boleh ya? Arfi juga belum pernah ke situ kan?”
Arfi? Apa hubungannya dengan Arfi? Ada dua orang yang berpikir hal yang sama, Kinan dan Iko.
“Apa hubungannya ama gue?” Arfi bertanya kesal pada Alif yang menyeret namanya demi diijinkan datang ke rumah Kinan.
“Kinan gak mungkin nolak karena elu kan tunangan sahabatnya Fi. Buru yuk.” Sekarang Alif mode merayu Arfi yang ogah-ogahan menerima idenya.
“Lif, lu liat gak sih, tuh cowok yang dibelakang Kinan ngeliatin kita gak suka gitu.” Dagu Arfi menunjuk ke arah Iko yang mengobrol dengan Kinan sebelum akhirnya mereka berdua masuk ke mobil.
“Biarin, gue gak kenal dia. Kan malah tambah semangat gue kalau ada saingan buat dapetin Kinan. Tuh cewek tambah unyu-unyu banget dengan wajah kemerahan gitu Fi.”
“Ya udah, kita ikut, tapi gue gak mau nyetir. Gue mau tiduran aja di mobil. Lu yang suka ama Kinan kenapa kita jadi disuruh ikutan repot sih Lif?”
“Fi, yang ikhlas napa sih bantuin gue. Kapan lagi coba bisa ke rumah Kinan dan kenal keluarganya?”
“Lu yakin mau tahu tentang keluarganya?” Tanya Arfi di mobil yang mengikuti mobil Kinan.
“Emang ada apa dengan Kinan dan keluarganya Fi? Lu niat banget ampe selidiki gitu deh.” Bagas, salah satu temannya bertanya dengan heran.
“Dia kan sohib Ella, mau gak mau gue harus cari info siapa aja orang-orang yang akan masuk ke lingkaran kehidupan gue dan Ella.” Jawab Arfi mengemukakan alasannya.
“Terus hasilnya apa?” Alif menjadi tertarik.
“Kalau bisa mah, saran gue niiih, jauh-jauh deh dari Kinan ini.” Kata Arfi berteka-teki.
“Whaaatt?? Emang kenapa? Kenapa Kinan harus dijauhi? Kaya bawa penyakit menular aja deh. Fi, lu kalau kasih info yang bener dong. Jangan hancurin hati gue.” Alif menolak ide Arfi.
“Dengerin dulu dong. Kinan itu dicap sebagai gadis pembawa sial, bahkan oleh bapaknya sendiri dia dibuang, tidak diakui sebagai anak. Dia gak punya banyak teman. Setahuku cuma Ella dan teman-temannya tadi yang ikutan Tour de Borobudur tadi.” Jawab Arfi.
“Ya ampuuun Fi, heran gue, hari gini lu masih percaya ama hal-hal kaya gitu?” Tanya Alif dan Bagas. Yang ada di mobil itu tertawa bersamaan, membuat Arfi kesal.
“Serah kalian deh, yang penting gue udah kasih warning ya. Jauhi aja, atau seenggaknya jangan dekat-dekat gadis itu. Kabar yang gue denger di mana ada gadis itu ada hujan dan masalah. Bad luck akan ada di dekat kalian.” Pungkas Arfi
“Itu yang bikin lu jadi gak suka kalau Kinan deket-deket ke elu ama Ella ya?” Tanya Bagas penuh selidik.
“Salah satunya itu.” Jawab Arfi pendek.
“Salah duanya apa dooong?” Tanya Enda yang sedari tadi diam.
“Salah dua dapat delapan puluh hahaha…” Semua tertawa, kecuali Arfi yang hanya tersenyum simpul.
Salah duanya, gue ngerasa dia punya perasaan ke gue. Cara dia melihat gue, sama seperti Ella melihat ke gue. Itu yang bikin gue gak respek ama dia. Mana ada sahabat suka sama pacar sahabatnya?
***
Waduuh Mas Arfi - di kehidupan nyata, banyak banget hal seperti ini loh. Teman nikung teman.