1. Arfi dan Embun

1210 Kata
Seorang gadis tampak merenung di sisi jendela berukuran besar. Di tangannya ada sebuah n****+ lusuh tebal yang terbuka. Matanya menerawang jauh, pikirannya entah di mana. Hari sedang hujan deras, hingga menimbulkan embun di kaca jendela. Gadis itu menuliskan sebuah nama seseorang. Sebuah nama yang membuat rindu di hatinya meraja namun di saat yang bersamaan juga membuatnya terluka.  Huuufft.....  Gadis itu mendesah pelan. Mengingat orang yang dia tulis namanya di kaca jendela itu, seketika membuat kaki kirinya terasa nyeri hingga merambat ke hati.  Dingin. Hujan ini tak hanya membawa berkah bagi bumi tapi nyatanya juga membuat hatiku terluka parah. Tuhan, kapankah badai ini akan pergi dari hidupku? Hadirnya mentari sangat kurindu Tuhan.  Gadis itu meniup sebuah nama yang perlahan menghilang karena tetesan embun. Ditulisnya lagi nama yang sama, sesaat, tersungging indah sebuah senyum. Tapi hanya sesaat, karena senyum itu juga segera menghilang seiring hilangnya nama di kaca jendela. "Nduk, kamu ngapain di situ? Ayo sini, itu ibu tukang urut sudah datang. Hari ini saatnya kamu urut lagi kan?" Sebuah suara penuh kesabaran dan kelembutan, menyadarkan si gadis. Dia menoleh ke arah sumber suara. Seorang perempuan paruh baya yang sangat dia cinta. "Nggih Eyang." Cintanya kepada sang eyang melebihi cintanya pada sang bapak yang tega membuangnya. Seorang lelaki yang membagi sebagian darah di tubuhnya, seorang lelaki yang telah membuatnya ada di dunia ini.  "Ndak baik melamun terus apalagi jelang magrib gini. Kamu sholat magrib dulu ya baru diurut kakimu." Ucap eyang sambil mengangsurkan sebuah kayu kepada cucu tercinta. Kruk atau tongkat bantu jalan yang selama beberapa bulan ini membantu tegaknya jalan si gadis.  "Nggih Eyang." Kembali dia menjawab penuh sopan dan senyum. Gadis itu beringsut, mencoba mencari posisi nyaman memakai kruk itu. Tampak eyang yang tersenyum melihat kemajuan cucu tercinta. Tidak ada niatan di dirinya untuk membantu Kinan, cucu satu-satunya, yang berjalan tertatih. Kaki kiri Kinan belum bisa digunakan untuk berjalan secara sempurna. Sesekali gadis itu meringis kesakitan, merasakan nyeri teramat sangat di kaki. Tapi dia pantang menyerah. Sudah hampir setahun sejak kejadian itu. Kejadian yang membuat kesedihan kembali hadir padanya. Stigma sebagai pembawa sial kembali melekat padanya. Setahun lalu, Ella, sang sahabat satu-satunya, menghembuskan nyawa karena kecelakaan. Bukan dia penyebab kecelakaan itu, sungguh, bukan dia. Dia bahkan sudah menolak ajakan Ella untuk menemani acara liburan ke Pulau Rinca. Rasanya aneh karena Ella berangkat bersama Arfi tapi Ella memaksanya untuk ikut. Katanya agar tidak ada gosip bahwa dia dan Arfi tidur sekamar di cottage yang Arfi sewa. Kinan tahu, saat itu bahwa Arfi melihatnya dengan mata penuh keanehan. Mungkin saja Arfi berpikir dia sebagai pengganggu acara romantisnya bersama Ella. Entah bagaimana caranya Ella berhasil merayu Arfi untuk mengijinkannya ikut ke Pulau Rinca. Nyatanya, bukanlah liburan menyenangkan yang mereka dapatkan. Tapi kematian! Helikopter yang disewa oleh Arfi mengalami stall (kehilangan daya angkat) secara tiba-tiba saat cuaca sangat buruk terjadi. Mendadak ada petir menyambar, kemudian terjadilah kecelakaan nahas itu. Arfi yang tidak terima harus kehilangan calon istri, menyalahkan Kinan, menuduhnya sebagai biang kesialan. Padahal semua orang berusaha menenangkannya, itu semua sudah takdir. Hidup Ella hanya sampai sebatas itu. Bahwa mereka tidak berjodoh di dunia ini. Tapi Arfi menolak semua pembelaan itu. Dia masih saja menuduh Kinan sebagai penghilang nyawa Ella. “Dasar kamu pembawa sial! Andai saja kamu tidak ikut, Ella masih hidup saat ini dan kami sudah menikah! Kenapa bukan kamu saja yang terbaring di dalam tanah itu hah?! Kenapa bukan kamu saja yang membusuk jasadnya di dalam situuu??!” Masih lekat di ingatan Kinan, semua hujatan dan tuduhan yang Arfi berikan padanya. Dia hanya bisa pasrah, tidak mau melakukan pembelaan diri. Untuk apa? Percuma saja. Toh, Arfi sudah menganggapnya sebagai gadis pembawa sial. Hanya saja walau sudah setahun berlalu, apa yang Arfi ucapkan, masih dia ingat sampai titik komanya sekalipun. Luka fisiknya mungkin sudah membaik. Kemajuannya lumayan pesat kata ibu tukang urut - ahli sangkal putung dari desa sebelah* - yang dibayar mahal oleh eyangnya untuk membantunya bisa berjalan normal.  Sayangnya luka di hati akibat lisan yang telah terucap, tidak bisa dipijat oleh ibu tukan urut, menyisakan kepedihan dan duka di hatinya. Luka tak berdarah, karena dicap nista oleh lelaki yang dicinta. *** Jelang Isya di hari yang sama Suara ketukan pintu dan ucapan salam terdengar. Simbok tergopoh membuka pintu. Saat pintu terbuka nampak wajah tampan seorang lelaki berusia jelang tiga puluh. Lelaki itu terlihat kedinginan, badannya menggigil, bajunya basah terkena air hujan. "Assalamualaikum bu, maaf apakah benar ini rumah Kinan?" Tanya lelaki tampan itu dengan suara bergetar karena kedinginan. "Iya benar. Mas ini siapa ya? Eeh silakan masuk Mas, monggo. " Simbok membuka pintu lebih lebar agar lelaki itu bisa masuk. "Sopo mbok? Jam yahene mertamu?"  (Siapa mbok? Jam segini kok bertamu.) Tanya eyang dengan nada heran. "Tamunya Mbak Kinan bu." Jawab simbok, "tapi ini Mas-nya menggigil kedinginan karena kehujanan." Lanjut simbok. "Oalah... silakan mandi nak, terus makan dan istirahat ya. Kinan sedang diurut, biasanya setelah urut dia akan tidur." Eyang mempersilakan lelaki muda yang dia kenal itu. "Iya eyang, terima kasih." Jawab sopan lelaki muda itu. Jelang tengah malam, Kinan terbangun karena perutnya terasa lapar. Biasanya setelah diurut dia akan langsung tertidur karena kelelahan hingga lupa makan malam. Ditariknya paksa kaki kiri untuk melangkah tanpa kruk. Dia harus membiasakan diri berjalan tanpa alat bantu. Butuh perjuangan baginya untuk bisa sampai di dapur. Bulir keringat membasahi kening dan wajahnya. Kinan coba beristirahat sebentar, berdiri di depan kitchen set untuk beristirahat dan mengambil nafas.  "Alhamdulilah..." Desisnya lega. Padahal jarak dari kamarnya ke dapur itu tidaklah terlalu jauh, tapi baginya seperti berkilometer. Ditariknya nafas, bibirnya tersungging senyum kecil. Lehernya mendunga, coklat sachet kesukaannya diletakkan eyang di rak kitchen set di bagian atas. Sengaja seperti itu agar dia mau berusaha mengambilnya. Tangan kanan dia gunakan untuk bertumpu di bibir wastafel.  Kedua kakinya berjinjit, tangan kirinya terulur ke atas, berusaha membuka laci kitchen set itu. Tapiii... entah kenapa masih juga tidak sampai. Kinan menggigit bibirnya, kaki kirinya terasa mati rasa. Nyatanya dia belum mampu bertumpu pada dua kaki. Tidak sanggup lagi menahan beban, tubuh Kinan meluruh lemah. Tapi, sebelum dia menyentuh lantai yang dingin, ada sebuah tangan kokoh yang mendekapnya, mencegahnya terjatuh menyentuh dinginnya ubin di malam itu. Mata Kinan membola saat melihat tangan siapa yang mendekapnya. "Mas Arfi...." Lidahnya kelu, tak mampu untuk lanjut berkata. Ya, lelaki itu Arfi. Nama yang sering dia tulis di jendela saat sedang berembun. Sebuah nama yang merintihkan rindu sekaligus sendu. *** Hai… akhirnya bertemu di Mas Arfi - Kinan. Cerita akan flasback yaa. Ini  dan part berikutnya terjadi di masa sekarang, tapi di part berikutnya - lagi - terjadi sekitar dua setengah tahun lalu. Kita nikmati saja yaa Mas Arfi dari gentleman jadi sangat tega pada Kinan. Enjoy the story!! *Untuk tukang urut sangkal putung masih menjadi perdebatan, tapi saya mengalami sendiri. Ibu saya pernah jatuh dan tulang mengalami dislokasi, setelah rontgen dan beberapa kali ke dokter ortopedi karena tidak mengalami kemajuan berarti, akhirnya ibu memutuskan untuk urut ke ahli sangkal putung yang ternyata adalah teman sepermainannya. Beda dengan sangkal putung lainnya yang bisa merasakan hasil sekejap, ibu butuh waktu delapan bulan hingga akhirnya bisa normal lagi - alhamdulilah. Demikian juga saya sendiri yang sempat diurut kaki saat gadis karena jatuh dari motor dan mbah putri alm. yang butuh waktu setahun untuk memulihkan dislokasi tulang tangannya. Jadi saya pakai ini untuk cerita Kinan karena berdasar pengalaman pribadi. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN