1
BRAAKKK! Suara dobrakan pintu cukup membuat empunya kamar menoleh. Tidak ada raut panik diwajah tersebut. Namun guratan kemarahan jelas terlihat pada orang yang sedang berjalan kedalam kamar, orang yang sebelumnya mendobrak kamar tersebut.
“Lo gak bisa ngetok pintu dulu apa? Main asal dobrak aja.” tanya Dylan si empunya kamar.
Tatapan dingin nan taman tertuju jelas untuk Dylan. Dylan hanya mampu menghela nafas panjang. Dylan tau tatapan tajam itu tidak akan melunak.
“Kenapa lagi kali ini? Gua bikin salah apa?” tanya Dylan.
“Maksud lo apa?!” bentak si pemilik tatapan tajam. Dia adalah Rezvan, Rezvan Resgiantana Abang kandung Dylan.
Dylan mengernyit heran. “Maksud gua? Maksud yang mana?” tanya Dylan bingung.
“Ehh tapi bentar-bentar. Bukannya gua ya yang harusnya nanya gitu? Apa maksud lo dobrak pintu kamar gua? Gimana kal---“
Belum sampai Dylan menyelesaikan kalimatnya, Rezvan sudah melempar iPad yang sedari tadi berada digenggaman tangannya ke arah Dylan. Dengan gesit Dylan menangkap iPad tersebut.
“Waah CEO beda emang, segala iPad dilempar.”
“Baca!!”
“Baca? Baca apaan?”
“Berita lo!!”
“Hmm?”
“Baca Dylan!”
Dylan membuka iPad yang berada di tangannya. Terlihat jelas apa yang menjadi kemarahannya seorang Rezvan Resgiantana. Di layar tertera artikel yang menyebutkan bahwa Dylan Resgiantana mempunyai hubungan spesial dengan Bianca Sharisse.
Dylan menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. “ Hm, gini—.”
“Lo tau dia siapa?!”
“Hmm Van..”
“Lo tau Bianca itu siapa?!”
“Tau. Tapi gua bisa jelasin..”
“Apa?!”
“Tapi lo tenang dulu, slow down baby.”
Dylan masih menatap abang nya itu dengan damai dan tenang. Namun tidak dengan Rezvan, Rezvan menatap Dylan dengan tatapan tajam, bahkan jauh lebih tajam dari sebelumnya.
“Oke, oke gua jelasin sekarang. Lo tau sendiri kan gimana manis pahitnya dunia entertainment. Dunia entertainment butuh asupan kayak gini buat pemanis.”
“Lo tau Bianca itu siapa Dylan?!”
“Tau, sangat tau. Tapi semua diatur sama pihak manajemen, gua bahkan gak tau beritanya kalau lo gak datang dengan lempar iPad ini ke gua.”
Rezvan menghela nafas berat, amarahnya belum padam. Bahkan kini amarah itu semakin bertambah besar. Mengingat nama Dylan dan Bianca menjadi pencarian teratas. Terlebih berita tersebut menyebutkan jika keduanya memiliki hubungan special.
“Lo tenang aja, gua tau jaga batasan. Lo gak per---.”
Belum sempat Dylan menyelesaikan kalimatnya, Rezvan menarik iPad yang berada di tangan Dylan dan beranjak pergi. Dalam duduknya, Dylan hanya mampu menatap kepergian Rezvan dengan helaan nafas panjang
“Dasar manusia galak, padahal gua kan belum selesai ngomongnya.”
Dylan mengambil iPad miliknya dan membuka salah satu berita tentang dirinya dan Bianca Sharrise, seorang diva bersuara merdu.
“Lagian si Tomi sialan banget, kenapa harus Bianca coba? Udah jadi bulan-bulanan netizen gua bakal jadi bulan-bulanan keluarga juga.”
***
Di sisi lain, Bianca masih tertidur dengan damai. Semuanya masih aman dan tentram sampai suara ketukan pintu yang intens membuatnya terbangun.
“Bian, Bianca. Buka pintunya dek.”
Bianca menggeliat singkat dari tidurnya.
“Bian.”
“Masuk kak.” ucap Bianca dengan mata tertutup.
Clarissa membuka pintu dan beranjak masuk begitu mendapat izin dari empunya kamar. Clarissa langsung mendudukkan dirinya di tepi tempat tidur Bianca dan menggoyangkan pundak Bianca.
“Bian, bangun bentar dek.”
“Kenapa kak? Bian ngantuk banget masih, baru tidur jam 3 pagi,” ucap Bianca dengan mata tertutup.
“Tapi bangun dulu, ini penting. Urgent!”
Dengan malas Bianca membuka matanya dan menoleh pada Clarissa kakak iparnya. “Kenapa kak?” bertanya sekali lagi pada kakak iparnya itu.
Clarissa menyodorkan iPad pada Bianca. Bianca menatap Clarissa dengan tatapan tenang yang terselip rasa kantuk.
“Ini apa kak?” tanya Bianca polos.
“Baca Bian.”
Bianca mengambil alih iPad yang berada di tangan Clarissa lalu membaca berita yang ada di layar tersebut dengan seksama. Lalu kembali menatap Clarissa dengan tatapan yang tidak berubah.
“Terus kenapa kak?” tanya Bianca.
“Terus kenapa kamu bilang?” tanya Clarissa balik.
Bianca bergumam pelan sembari menganggukkan kepalanya pelan.
“Ini berita kamu jadi pencarian teratas Bianca.”
“Iya terus kenapa kak?” tanya Bianca tanpa rasa berdosa sama sekali.
“Kamu gak penasaran reaksi mama gimana kalau liat ini?!”
“Senang?”
Clarissa menatap wajah adik iparnya dengan tatapan tidak percaya. Sepertinya nyawa wanita yang ada di hadapannya ini belum terkumpul dengan sempurna.
“Hmm, salah ya kak? Bukannya harusnya senang ya?" tanya Bianca membuat Clarissa geram.
“Astaga Bianca."
“Kenapa kak Rissa?”
“Mama udah ngomel-ngomel dari tadi dan kamu tau lebih parahnya lagi apa?”
Bianca menatap Clarissa dengan tatapan tidak tertarik. “Apa kak?” tanya-nya sebagai formalitas.
“Sekarang, saat ini Mama lagi perjalanan ke sini. Mending kamu buruan bangun dan pergi ngungsi kemana gitu," ujar Clarissa memberi saran sekaligus mengusir adik iparnya itu.
“Bian ngantuk kak, sumpah deh beneran, gak bohong.”
“Tau, tapi mama—.”
“Biarin ajaa deh, Bian pusing kalau mikirin itu," ujar Bianca hendak kembali membaringkan tubuhnya.
“Bianca," panggil Clarissa menarik kembali tubuh Bianca untuk duduk dan menatapnya.
“Kak Rissa, balas Bianca kembali membaringkan tubuhnya.
“Kakak sama Abang gak mau dengar mama ngomel soal ini. Kamu tau sendiri kan gimana kalau mama udah ngomel kayak gimana."
Bianca menatap jengah kakak iparnya sembari menghela nafas panjang. “Oke-oke, Bian bangun.”
Bianca mendudukkan dirinya dan menyandar pada headboard tempat tidur sambil mencepol rambutnya ke atas tak karuan. Setelahnya Bianca berdiri dan beranjak ke kamar mandi. Sedangkan Clarissa hanya melihat adiknya itu sembari menggelengkan kepalanya sebelum akhirnya dia memilih untuk keluar dari kamar didominasi warna putih tersebut.
***
Setelah tiga puluh menit berlalu, Bianca turun dari kamarnya dengan memegang iPadnya. Setelah mencuci muka dan membersihkan badannya secepat kilat, jiwa kekepoan Bianca menyeruak. Kini Bianca sangat penasaran ada bumbu apa saja di dalam berita tentang dirinya.
“Kak Rissa, Bian pergi ya.” teriak bianca dengan mata yang fokus menatap iPad nya.
“Mau ke mana Bianca Sharisse?” tanya seorang wanita.
Bianca menutup matanya singkat. Bianca tau betul jika yang memanggilnya adalah mamanya. Dan lagi Bianca sangat tau dengan jelas jika nyonya Sheila Ayunindya sudah memanggilnya dengan nama lengkap maka itu artinya akan berakhir buruk untuk Bianca.
“Bianca Sharisse.”
Bianca membuka matanya dan menoleh pada mamanya dengan senyum tipis. Terlihat mamanya sedang bersidekap sambil menyandarkan badannya di sofa.
“Hai mama," sapa Bianca sambil tersenyum dan melambai pada mamanya.
“Mau ke mana?”
“Ker—ja?”
“Jadwal kamu masih jam 11. Dan bukannya kamu gak bisa kemana-mana kalau berita kamu udah heboh kayak gini?” sarkas mamanya membuat Bianca hanya diam.
Bianca menutup iPad-nya dan memeluknya dengan muka polos seakan tak berbuat salah.
“Duduk.” perintah Sheila.
“Tapi ma--.”
“Duduk Bianca.” potong Sheila tegas.
Dengan malas Bianca berjalan ke arah mamanya dan duduk tepat di seberang mamanya dengan otak yang berpikir bagaimana cara memenangkan perdebatan dengan Mamanya.
“Mam--.”
“Kamu tau apa yang kamu lakukan ini?” tanya Sheila memotong ucapan Bianca.
“Bukan Bia—.”
“Itu semua seizin kamu Bian!” sela Sheila keras.
Sheila menatap Bianca sembari menarik nafas dalam lalu menghembuskan kasar. Sedangkan Bianca hanya bisa diam tak berani melawan ucapan Mamanya itu.
“Kamu tau Dylan Resgiantana itu siapa?”
Bianca masih diam.
“Dijawab Bian!”
“Tau mama.”
“Siapa?!”
“Model terkenal? Actor papan atas?" jawab Bianca sengaja.
“Bianca!” tegur Sheila.
Bianca memanyunkan bibirnya beberapa senti.
"Adiknya Rezvan Resgiantana.” ujar Bianca mengalah.
“Dan Rezvan Resgiantana adalah?!” tanya Sheila menatap Bianca dengan mata yang melotot lebar.
“CEO galak.”
“Bianca!”
“Mama..”
“Siapa Rezvan?!”
Bianca diam tak menjawab, dirinya sangat enggan untuk menyebutkan siapa Rezvan Resgiantana untuk dirinya.
“Bianca!"
“Temannya bang Zayn.” jawab Bianca masih enggan menjawab.
“Bianca, jangan main-main.”
“Mama please.” ujar Bianca dengan wajah memelas berharap diberi keringanan.
“Siapa Rezvan Resgiantana?” tanya Sheila tak gentar dengan wajah memelas Bianca.
Bianca menghela nafas panjang, kali ini Bianca sadar jika dirinya tidak akan menang melawan mamanya. Apalagi jika mamanya kini sudah dikuasai amarah akan berita tentang dirinya dan Dylan.
“Dijawab pertanyaan Mama Bianca!"
“Tunangan Bian ma.”
Bersambung...