chapter 1

1024 Kata
Adara menatap pada benda dengan dua garis yang membuat ia takut. Dia berulang kali meyakini kalau itu adalah salah, mungkin beberapa detik lagi garis itu akan menghilang. Tapi sudah hampir dua puluh menit ia berada di kamar mandi dan semuanya masih tetap sama. Adara tidak tahu apa yang harus aku lakukan, apa ia harus menangis, marah atau memberikan selamat pada dirinya atas kebodohan yang sudah ia lakukan.   Dan kebodohan yang paling ia tidak bisa dia terima adalah, dia tidak tahu siapa pria yang tidur dengannya. Dan sekarang dia harus menghadapi kebodohannya ini sendirian. Bagaimana cara ia memberitahukan ini semua kepada orangtuanya.   Sudah hampir tiga puluh menit Adara berada di dalam kamar mandi, tapi belum ada tanda-tanda garis itu akan hilang. Dan keringat dingin pun sudah keluar dari keningnya. Hingga akhirnya satu ketukan pintu membuat Adara bangun dari closet. Dengan panik dia memasukan benda itu ke dalam kotak pensil dan melemparnya ke tas. Dia berdiri di depan pintu kamar mandi, menarik napas dan menghelanya.   Adara membuka pintu kamar mandi dan berpapasan dengan Debby, adik yang berbeda tiga tahun darinya, tapi terkadang dia terlihat lebih tua dari Adara dan sangat menyebalkan. Adiknya itu berdiri di depan pintu, lalu merutuk karena kesal,” lama banget sih lo! Buang air apa tidur?!” Biasanya Adara akan membalas setiap ocehan adiknya itu. Tapi untuk saat ini aku hanya diam dan meninggalkannya. Dia masih terlalu shock dengan dua garis yang ia lihat tadi. Adara melihat papa dan mama yang sedang duduk di meja makan untuk sarapan bersama.   Dia merasa tidak pernah menjadi anak yang membanggakan untuk mereka. Sejak SD ia tidak pernah memiliki prestasi yang bagus di sekolah. Sampai-sampai mama selalu membandingkannya dengan Debby, karena sejak adiknya itu masuk SD nilainya sangat sempurna. Bahkan ia sering mendapatkan piala dari sekolah. Namun, walaupun Adara tidak pernah menjadi anak yang membuat bahagia orang tua, tapi dia tidak pernah berniat untuk menghancurkan hati mereka. Walau ada rasa marah di hatinya, tapi tidak pernah terbersit hal ini terjadi dengannya.   Mereka duduk bersama di meja makan. Sarapan bersama dan berbagi cerita. Seperti papa yang bercerita tentang pekerjaannya di kantor dan beberapa masalah yang terjadi. Mama pun menceritakan tentang tetangga yang sering membuat masalah dengan warga. Mereka terlihat biasa dan normal. Apa semua itu akan terlihat sama jika Adara mengatakan kalau dia sedang hamil?   Adara berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya, tapi rasanya tidak mungkin. Dia tidak akan bisa mengacuhkan satu benih yang sudah ada di rahimnya. Dan mungkin ia sudah berkembang. Rasanya memang aneh, tapi dia harus mempercayainya. Karena itu bukanlah testpack pertama yang ia jajal. Ada tiga testpack lainnya dan semuanya sama saja. Semua hasil menunjukkan positive.   Adara merasakan aneh pada tubuhnya beberapa minggu terakhir ini. Dia merasa mual dan kepalanya yang selalu sakit di pagi hari. Belum lagi dia tidak napsu makan apa pun. Adara sudah memeriksakan semuanya ke dokter, tapi tidak ada masalah. Dokter hanya mengatakan itu masalah dari pikiran Adara. Dia memang memiliki masalah dengan keluarganya, tapi ini rasanya sangat aneh. Hingga akhirnya hal itu terbesit di kepala Adara dan dia membeli testpack untuk meyakinkan pikirannya. Dan sekarang pikirannya benar-benar kacau.   Debby keluar dari kamar mandi dan bergabung dengan emreka. Adiknya itu duduk di samping Adara dan mengambil satu tangkup roti di meja. Dia juga memperhatikan buku-bukunya agar tidak ada yang tertinggal. Mungkin karena dia tidak ingin kehilangan predikatnya sebagai kebanggaan orang tua dan sekolah. Jadi dia harus terlihat sempurna dan tidak boleh terlihat cacat. “Lo tuh ngapain sih, Dar?! Di kamar mandi lama banget!” tanya Debby, Adara hanya menoleh pada adiknya yang selalu ingin tahu urusannya. Dia pernah mengetuk pintu kamar Adara dengan keras hanya karena ia tidak keluar kamar hampir seharian. Saat itu Adara sedang menonton movie yang mengandung adegan tujuh belas tahun ke atas. Agar tidak ketahuan mama, papa. Adara pun menguncinya, tapi adiknya itu malah menggedor pintunya dengan keras, membuat Adara kesal setengah mati. “Ngapain lo kepoin gue di kamar mandi?” saut Adara dengan nada ketus, sambil memakan roti selai coklat miliknya. Ada pesan dari Daniela, Adara pun membalasnya dan menolak untuk dijemput olehnya. Karena pikirannya yang sedang kacau. “Gue gak ngepoin urusan lo di kamar mandi, tapi lo tuh di kamar mandi udah kayak orang tidur. Hampir tiga puluh menit gue nunggu lo. Kalo gak gue ketok, lo bablas sampe siang kali!” rasanya Adara ingin menyumpal mulut Debby dengan empat tangkup roti sekaligus. Sikap Debby sangat kurang ajar padanya. Seakan dia tidak pernah menganggap Adara yang lebih tua darinya. “Kenapa? Lo mau ikut tidur sama gue di kamar mandi?!” balas Adara.   Debby sudah bersiap untuk kembali mengoceh lagi, tapi mama sudah lebih dulu memotong pertengkaran mereka “Ogah banget! Makanya gue ketuk pintu keras biar lo bangun,” balas Debby. “Rese banget sih lo!” rasanya Adara ingin memukul kepala Debby dengan keras.   Dan itu adalah satu alasan lagi untuk Adara tidak menyukainya. Bahkan dia sudah tidak menyukai adiknya dari saat dia datang ke rumah. Saat mama memeluknya sepanjang hari dan mengacuhkannya. Sementara papa terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan setiap kali dia pulang, dia akan lupa untuk menyapa Adara dan langsung menyapa bayi berisik yang menangis seharian penuh.   Debby masih terus memperpanjang masalah kamar mandi. Seakan dia harus mengetahui semua urusan Adara. Memangnya dia pikir dia siapa? Polisi yang bisa mengatur seluruh kehidupan Adara? Mama dan papa saja tidak bisa mengaturnya. Apalagi dia? Namun, belum sempat mereka kembali debat. Mama sudah lebih dulu menyela mereka.             ”Adara, Debby, kalian gak bisa ya kalau pagi-pagi gak ribut?” ucap mama, lalu dia melanjutkan ucapannya,” kamu juga Dar, ngapain sih di kamar mandi? Kasian kan adik kamu mau buru-buru.” Adara hanya menatap maam dengan tidak suka. Kenapa dia hanya membela adiknya saja? Seakan-akan Adara hanyalah anak pungut di keluarga ini. Adara benar-benar kesal dengan mama yang tidak pernah bisa adil. Dia mendengus pelan, apa seorang anak harus memiliki kecerdasan tingkat tinggi, agar orang tua bisa memandangnya dan memperhatikannya? Adara meninggalkan roti selai coklatnya yang masih separuh di piring. Dia benar-benar muak dengan rumah ini. Dia harus pergi dari rumah untuk mengembalikan kewarasannya. Mungkin tanpa mereka Adara bisa lebih baik. Adara berjalan keluar tanpa mempedulikan panggilan mama. *****  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN