Janji

1035 Kata
Part 2 Mata bulat Lista mengerjap beberapa kali. Mulutnya membuka, menutup, membuka lagi, dan kali ini lupa untuk ditutup. "Beneran, Kay?" tanya Mbak Meli yang ternyata sudah berdiri di belakangku. Mati! Ucapan asal sekarang jadi bikin masalah. "Ehh, nggak, Mbak. Bercanda aja kok," jawabku sambil menggaruk belakang kepala. Mbak Meli berpindah posisi dan duduk di sebelah kiriku. Menatap wajah yang kurasa saat ini mulai memerah karena malu. "Kalau beneran juga nggak apa-apa, Kay. Hitung-hitung kamu memenuhi janji pada almarhum," ucapnya seraya tersenyum. Ingatanku melayang pada obrolan aneh antara aku, Mas Didi dan Mbak Meli pada suatu malam, beberapa minggu sebelum beliau berpulang. Saat itu, kami sedang bermain catur di teras rumah. Mas Didi yang beberapa kali kalah dariku, tampak sangat penasaran. Beliau meminta untuk bertanding sekali lagi, dengan perjanjian bahwa ini adalah pertandingan terakhir. "Bener, ya, Mas? Terakhir ini. Aku udah ngantuk," ujarku sambil menguap. "Iya, nanti siapa pun yang menang, boleh meminta suatu janji pada yang kalah," sahutnya dengan tersenyum lebar. Aku yang sedang malas berdebat, akhirnya menyanggupi ajakannya. Benar-benar tidak menyangka bila saat itu aku akan kalah, dan terpaksa menuruti permintaan beliau. "Permintaanku nggak berat, Kay. Cuma mau menitipkan Lista padamu," ucapnya sembari menaik turunkan alis. "Maksudnya, gimana, Mas? Aku kurang paham," jawabku dengan hati berdebar. "Lista itu kan sangat manja. Mungkin tidak akan ada pria yang akan sabar menghadapinya," jelas Mas Didi. "Selama ini, kamu juga tidak pernah memiliki calon istri. Jadi, kami pikir, kamu bakal mau menikahi Lista." "Karena, cuma kamu satu-satunya orang di luar keluarga yang omongannya didengar oleh Lista." "Jadi, aku minta kamu berjanji akan menjaganya dengan menjadikan Lista sebagai istrimu," sambung beliau. "Sekaligus, menjadi menantu kami," sela Mbak Meli dengan seulas senyuman menawan. Aku memandangi wajah keduanya untuk memastikan bahwa semua ini adalah benar. Mas Didi mengulurkan tangan dan aku menjabatnya dengan ragu-ragu. Diiringi tepuk tangan riang gembira Mbak Meli. Selanjutnya kedua orang itu saling berangkulan dengan wajah yang memancarkan kebahagiaan. Sejenak melupakan diriku yang masih termangu dengan pikiran penuh. *** Semenjak hari itu, Lista tampak menjauhiku. Aku tahu pasti hal ini karena aku juga berlaku demikian. Sepulang bekerja aku akan menghabiskan waktu di dalam rumah. Melakukan apa pun yang aku bisa untuk membuat diri bertambah lelah, hingga bisa tidur dengan nyenyak. Dari mulai membersihkan rumah, mengelap setiap benda hingga mengilat, mencuci pakaian tanpa menggunakan mesin cuci, hingga menonton film di ruang tengah hingga larut malam. Namun, semua upaya untuk bisa tidur nyenyak itu hanya tinggal angan semata. Tetap saja aku insomnia. Ucapan janji yang asal diucapkan itu seakan menjadi bumerang bagiku. Bagaimana tidak? Mungkin bagi Lista, aku ini terlalu tua. Sedangkan bagiku, dia juga masih terlampau muda. Cita-citaku sejak dulu untuk memiliki istri yang bersikap dewasa, seakan semakin jauh dari harapan. Walaupun Lista sudah sedikit berubah semenjak ayahnya wafat, tapi di depanku dia tetap bertingkah laku layaknya gadis remaja. "Om," teriak Afgan. Pria remaja berusia lima belas tahun itu langsung membuka pintu depan dan berlari masuk. Aku yang sedang mengerjakan laporan di meja kerja, akhirnya berhenti saat Afgan masuk dan menarik tanganku. "Apaan?" tanyaku sambil mengusap wajah dengan tangan kiri. "Om dipanggil bunda," jawabnya seraya tersenyum, yang membuatnya semakin mirip dengan sang Ayah. "Mau masang gas lagi?" tanyaku. "Nggak tahu. Ayo, atuh! Nanti bunda mengomel lagi kalau kita telat datangnya." Aku manggut-manggut. Berdiri dan jalan mengikuti Afgan yang sedang bersenandung lagu cinta. Ya Tuhan. Waktu seumur dia, aku belum mengenal lagu cinta. Bocah-bocah zaman sekarang memang canggih. Tak jarang mereka bersikap lebih dewasa dari usia sebenarnya. Sesampainya di rumah Mbak Meli, aku tertegun saat melihat ruang tamu yang didekoraai dengan balon beraneka bentuk dan warna. Di tengah ruangan ada sebuah meja, dengan kue ulang tahun besar dan beberapa hadiah ditumpuk rapi. Lista berdiri di belakang meja dengan wajah sumringah. Secarik senyuman terukir di wajahnya yang rupawan. Beberapa orang gadis muda juga tampak hadir dengan dandanan cetar. "Sini, Kay. Kamu pimpin doa, ya," pinta Mbak Meli yang berdiri di sebelah kiri Lista. Aku melangkah mendekat dengan diiringi tatapan penuh tanda tanya dari beberapa teman Lista. Setelah selesai pembacaan doa, acara dilanjutkan dengan peniupan lilin dan pemotongan kue. Mbak Meli dan remaja kembar itu mendapat potongan kue pertama hingga ketiga dari Lista. Aku terharu saat potongan kue keempat diberikannya padaku dengan wajah merona. "Selamat ulang tahun, Lista. Maaf, om nggak bawa kado," ucapku pelan. "Nggak apa-apa, Om. Makasih udah mau datang," sahutnya dengan tersenyum kecil. Desir aneh seakan menggelenyar di dasar hati. Aku tertegun, sejenak berusaha menetralisir perasaan. Apa ini? Apakah aku mulai menyukai gadis muda itu? Setelah acara selesai, aku masih tidak diizinkan pulang oleh Mbak Meli. Beliau menarik lengan dan mengajakku duduk di sofa ruang tengah. Wajah bulat telur yang sedikit menggemuk itu menatapku dengan lekat. Senyuman tak lepas dari bibirnya yang agak lebar. "Kapan nih, Kay, keluargamu akan datang melamar Lista? Ini sudah hampir lewat satu bulan," tanyanya. Aku terdiam sesaat. Bingung hendak menjawab apa. Karena aku belum mengatakan apa pun mengenai hal ini pada kakak semata wayang, yaitu Kak Jenny. "Ehm, nanti aku coba hubungi kak Jenny dulu, ya, Mbak," balasku dengan suara pelan. Beliau manggut-manggut sambil membentuk kata oke dengan jari. Lista jalan mendekat, menatapku dan bundanya secara bergantian. "Om, aku mau bicara sesuatu," ucapnya dengan malu-malu. "Oke, bunda ke dapur dulu. Kalian ngobrol aja," sela Mbak Meli sambil mengedipkan sebelah matanya ke arahku. Kemudian beliau berdiri dan jalan ke dapur. Lista bergerak duduk di ujung sofa. Memainkan jemari yang lentik dengan wajah yang sedikit merona. "Mau ngomong apa, Lis? Om mau cepat pulang. Masih banyak kerjaan," ujarku sembari memajukan tubuh dan meletakkan tangan di lutut. "Ehm, Om, beneran mau nikah sama aku?" tanyanya dengan nada suara sangat pelan. Aku mengangguk. "Itu sesuai janjiku pada ayahmu." Lista melirik sekilas. Secepatnya membuang pandangan ke arah gunung Gede Pangrango. "Nggak bisa dibatalin?" cicitnya. "Entahlah. Menurutmu gimana?" "Aku belum siap, Om." "Sama." "Tapi nanti bunda ngambek." "Nah, bener itu." Hening kembali. Yang terdengar hanyalah suara volume televisi yang sedang menonton kami. "Ya udah deh, aku mau. Tapi ada syaratnya," tukas Lista sembari memiringkan kepala. "Apa tuh syaratnya?" tanyaku dengan radar penasaran yang mencuat. "Tidak boleh memaksa berhubungan intim sebelum aku siap," jawabnya tegas. Setelah berpikir sejenak, akhirnya aku mengiyakan. Walaupun dengan rasa tidak nyaman di dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN