PART. 6 SETAN SAJA TIDAK MAU MENGGODA

952 Kata
Zulfa menghempaskan pantatnya di kursi yang ada di pantry. Wajahnya ditekuk sedemikian rupa. Ia tengah kesal pada Zul sejak kemarin, karena terpaksa ikut menemani Zul dan Maura. "Mukamu jelek banget, Fa. Dapet sih dapet saja, tapi tidak harus ditekuk sejelek itu juga dong!" Ani mencubit kedua pipi Zulfa dengan gemas. "Ada apa sih, Fa?" Een menatap wajah Zulfa yang masih saja cemberut. "Si boss tua, masa kemaren siang aku dipaksa jadi obat nyamuk dia sama Bu Maura," sungut Zulfa tanpa merubah ekspresi cemberutnya. "Maksudmu?" serempak kedua temannya bertanya. "Bu Maura kemarin siang datang ke rumah boss tua, terus ngajakin boss tua makan siang di luar. Boss tua itu sepertinya takut sama perempuan, makanya dia minta aku ikut untuk memaninya." "Masa sih Pak Zul takut sama perempuan, diakan pernah punya istri, sudah jadi kakek malah, iyakan!" Ani menatap Zulfa dengan rasa tidak percaya. "Boss tua bilang, dia takut tergoda setan kalau hanya berduaan dengan Bu Maura!" "Pak Zul itu pria alim, tidak mungkinlah tergoda, Fa" sahut Een. "Eeh jangan salah, semakin alim seseorang, semakin besar keinginan setan untuk menggoda," ujar Zulfa. "Terus kenapa selama ini setannya tidak pernah menggoda kalian berdua, Fa?" goda Ani. "Karena setannya tahu, boss tua tidak cocok buatku, usia kami saja sangat jauh jaraknya. Setannya pasti tahu, kalau menggoda kami adalah perbuatan sia-sia" jawab Zulfa sembari tertawa. Wajah cemberutnya sudah sirna, tanpa bekas dan sisa. "Bu Tinuk sudah datang, ayo siap-siap, ambil senjata masing-masing!" seru seorang OB di ambang pintu pantry. Bergegas ketiga sahabat itu mengambil senjata yang mereka pakai untuk bekerja. Zulfa, dan Ani, seperti biasa membersihkan bagian lobi kantor. Zulfa bergegas membukakan pintu saat Pak Zul, yang disebutnya boss tua terlihat berjalan menuju pintu masuk. "Selamat pagi, Pak." "Pagi, plester di jarimu sudah diganti?" Tanya Zul dengan suara khasnya yang lembut. Zulfa menatap jarinya, ia menggelengkan kepalanya. "Segera diganti, Fa, dan jangan kena air. Bu Tinuk!" Zul memanggil Bu Tinuk yang sedang mengawasi kerja bawahannya. "Ya, Pak" Bu Tinuk mendekat. "Saya minta tolong ya, Zulfa jangan diberi pekerjaan mencuci perabot atau yang berhubungan dengan air dulu. Jarinya terluka, plester lukanya harus segera diganti. Ada persediaan plester luka di belakang?" "Ada, Pak" "Tolong nanti berikan ke Zulfa" "Baik, Pak" "Terimakasih, Bu. Bu Tinuk, bisa kembali bekerja." "Baik, Pak. Zulfa nanti ambil saja plesternya di kotak P3K di pantry ya." "Iya, Bu" Zulfa menganggukan kepala. "Saya permisi, Pak" pamit Bu Tinuk. "Silahkan," Pak Zul mengangguk ke arah Bu Tinuk. "Bapak ingin minum apa?" "Seperti biasa saja, Fa. Saya ke ruangan saya dulu." "Silahkan, Pak" Begitu Zul menjauh. "Cie, cie, cie, dapat perhatian istimewa dari boss," goda Ani. "Hisssst, boss tua itu cuma tidak ingin pekerjaanku di rumahnya terbengkalai. Makanya dia itu jadi sok perhatian" sahut Zulfa, matanya melotot ke arah Ani. "Kamu tahu tidak Fa, kamu yang diperhatikan, tapi hatiku yang berbunga-bunga." "Lebay, sudah ah, aku harus membuatkan minum boss tua dulu, bye!" Zulfa meninggalkan Ani yang tertawa menggodanya. **** Zulfa baru saja ingin berbaring di atas ranjangnya, saat ponselnya berbunyi. "Ibu" gumamnya. "Assalamuallaikum, Bu." "Walaikum salam, Kak Zulfa. Ini Zulaikha," jawab dari seberang sana. "Eha, ada apa?" "Ibu masuk rumah sakit, Kak" terdengar suara Zulaikha, atau yang biasa dipanggil Eha bergetar. "Masuk rumah sakit, kenapa?" Kecemasan langsung menyergap perasaan Zulfa. "Ibu kecelakaan..." kali ini suara Zulaikha bercampur isakan. "Kecelakaan, kapan? Di mana? Bagaimana keadaan ibu?" pertanyaan beruntun Zulfa berikan pada adiknya. Rasa kaget dan cemas membuat jatuh air matanya "Baru saja, kami ingin pergi ke pasar malam di kota kecamatan, tapi ada motor yang menabrak ibu. Sekarang kami di rumah sakit, ibu masih pingsan. Aku bingung, kakak bisa tidak pulang sekarang." ucapan Zulaikha bercampur sedu sedan. "Ikang bagaimana?" "Ikang menangis terus dari tadi." Ikang adalah adik bungsu Zulfa, namanya Zulfikar, tapi dipanggil Ikang. "Kamu tidak mengabari mang Burhan?" Burhan adalah kakak dari ayah Zulfa. "Mang Burhan sekeluarga belum pulang dari rumah mertuanya, jadi aku cuma berdua Ikang menemani ibu. Kakak cepat pulang ya." "Ya, ya, Kakak akan pulang sekarang juga, kakak telpon mang Mahran dulu ya." Zulfa menghapus air mata di pipinya, ia tahu, kalau ia tidak boleh cengeng. Karena ia adalah tulang punggung keluarganya. "Iya, kak." "Assalamuallaikum" "Walaikum salam" Bergegas Zulfa mencari kontak pamannya. "Assalamuallaikum, Mang." "Walaikum salam, ada apa Fa?" "Suara mamang kok serak sekali, Mamang sakit?" "Iya Fa, badan mamang meriang, batuk, flu, kepala mamang juga pusing sekali." "Ooh" "Ada apa Fa?" "Tidak apa-apa, Mang. Semoga lekas sembuh ya Mang, assalamuallaikum." "Walaikum salam." Zulfa tertegun di tempatnya, ia tengah dilanda kebingungan. Andai bisa terbang, ia pasti sudah terbang ke kampungnya. Zulfa mengganti pakaiannya, lalu meraih tas kecilnya, ia sudah bertekad untuk pulang sekarang juga, bagaimanapun caranya. Ia tidak perlu membawa pakaian, karena di rumahnya di kampung masih ada pakaiannya. Zulfa sudah berdiri di depan pintu kamar Zul. Perlahan diketuk daun pintu di depannya. "Pak," panggilnya pelan. "Ya, sebentar." terdengar sahutan dari dalam. Daun pintu terbuka, Zul muncul masih dengan pakaian sholatnya. "Ada apa, Fa?" "Saya mau pamit, Pak." Zulfa mendongakan wajahnya, untuk menatap wajah pria di depannya. "Pamit?" Kening Zul nampak berkerut dalam. "Malam ini juga saya harus pulang kampung, Pak." "Ada apa?" "Ibu saya kecelakaan, kasihan adik saya di rumah sakit kebingungan." Tanpa sadar, air mata mengalir di pipi Zulfa, cepat Zulfa menghapusnya. "Kamu mau pergi dengan siapa?" "Bisa minta tolong antarkan saya ke terminal, Pak. Saya bisa naik bis." Tanya Zulfa dengan nada penuh permohonan. "Sendirian?" "Iya" "Kamu bisa minta antar Pamanmukan?" "Mang Mahran sedang sakit," jawab Zulfa lirih, air mata kembali jatuh di pipinya, cepat ia seka dengan jarinya. Zul terdiam sejenak, ditatap wajah Zulfa yang berusaha menahan air matanya. "Duduklah dulu, aku ganti pakaian dulu. Oh ya Fa, berapa jam perjalanan dari sini ke kampungmu?" "kurang lebih tiga jam, Pak" "Ooh, tunggu sebentar ya" "Ya Pak." BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN