Bukti-bukti

1400 Kata
“Bagaimana dengan misi yang saya tawarkan barusan? Apakah kalian keberatan?” Bu Rere menanyakan kembali soal penawarannya, karena memandang wajah sendu yang ditampilkan dari para anggotanya. “Maaf Bu sebelumnya,” Andin mengangkat tangannya. “Apakah ada jaminan untuk kita semua jika mengangkat berita tersebut? Itu kan termasuk berita yang sensitif ya Bu. Dan pastinya kita akan berurusan dengan kampus nantinya. Kita gak mau kalau ujung-ujungnya ada salah satu anggota yang dikriminalisasikan,” tanya Andin. “Selain Andin, siapa lagi yang punya pikiran seperti itu?” Bu Rere kembali bertanya pada anggota yang lain. Semua anggota pun mengangkat tangannya. Bu Rere tersenyum, “Bagus. Kalian saya anggap adalah jurnalis yang juga memikirkan resiko ketika bertindak. Semua tindakan yang kita ambil, atau yang kita tulis itu tidak terlepas dari cengkraman kampus, karena kitalah pers yang bergerak di kampus ini. Akan tetapi jangan khawatir, keadilan akan terus diterapkan, dan kebenaran akan terus diungkapkan. Jangan langsung ciut untuk mengambil langkah yang terlampaui jauh, kerjakan saja dulu, nanti kita pecahkan rintangan-rintangan yang ada,” tegas Bu Rere. “Intinya, kalian tidak perlu takut, saya sebagai pembimbing pers kalian akan bertanggung jawab penuh atas semua tulisan-tulisan yang terbit di sini,” Bu Rere menambahi, setidaknya kabar itu membuat seluruh anggota tidak merasa cemas dan ragu untuk menjalankan misi tersebut. “Bagaimana semuanya, apakah sepakat?!” tanya Bu Rere kembali. “SE PA KAT!” jawab seluruh anggota secara bersamaan. “ “Baik lah, di sini saya memilih dua orang sebagai koordinator misi tersebut. Mereka berdua harus mencari informasi awal bersama saya, untuk selanjutnya dieksekusi bersama anggota yang lainnya. Oke, saya memilih Tisya dan Andin, ya, besok kalian akan saya bekali info-info yang saya dapat, dan nantinya dikembangkan bersama. Bagaimana untuk anggota yang lain? Apakah setuju dengan perintah saya? Atau ada yang mau menggantikan posisi Tisya dan Andin menjadi koordinator?” Bu Rere adalah orang yang tidak mau mengamini pilihannya sendiri, maka dari itu Bu Rere selalu melibatkan suara-suara dari anggota pers lainnya. “Kayaknya pada gak berani deh, Bu. Ya udah deh gak apa-apa, biar kita berdua aja yang jadi kelinci percobaan, hehehe,” celetuk Tisya ketika melihat tidak ada anggota lainnya yang protes. “Oke deh kalau begitu, kalian semua boleh kembali ke aktivitas masing-masing ya, kalau ada jam kuliah silakan ke kelas, saya juga tidak membenarkan anak-anak organisasi yang mengeyampingkan pendidikannya,” tegas Bu Rere. Andin dan Tisya, jangan lupa pukul setengah dua belas siang segera ke ruangan saya, kita bahas tipis-tipis mengenai hal ini,” pinta Bu Rere. “Saya duluan ya, karena ada tugas lain di ruangan saya,” tambah Bu Rere yang beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan anak buahnya. Ketika Bu Rere sudah tidak menampakan dirinya, Tisya mencolek Andin, “Din … baru aja sehari jadi pembimbing kita sudah ada tugas yang berat. Gimana kalau berbulan-bulan? Aku gak bisa bayangin deh, pasti waktu nonton drama korea dan streaming-an BTS aku bakal berkurang nih,” Tisya mewek. “Gak apa-apa, Din. Yang penting kan kita semua ada kemajuan dan tugas kita sebagai pers yang kritis bisa terlaksana dengan baik. Kamu mau lagi tulisannya dilempar dan diketawain?” respon Andin. “Gak mau sih, tapi menurut aku itu tugas yang diberikan sama Bu Rere bakal berlangsung lama deh. Judulnya aja pelecehan seksual yang dilakukan dosen, pasti brainstorming banget,” tegas Tisya. “Udah, gak usah kebanyakan ngomong, tujuan kita di pers ini kan untuk mengungkapkan kebenaran. Jadi, lakuin aja dengan sebagaimana mestinya, Oke? Toss dulu dong! Jangan mewek gitu ah,” ucap Andin seraya meletakan telapak tangannya di depan wajah Tisya. PROK! Satu buah tepuk tangan untuk menjunjung tinggi nilai kebenaran dan kemutlakan sudah dicetuskan oleh Tisya dan Andin lewat tepukan tangan itu. Kalau kata Bapak Wiji Tukul sih, “Karena kebenaran, akan terus hidup, sekalipun kau lenyapkan, kebenaran tak kan mati.” *** “Ini, saya sudah mencatat beberapa informasi yang sudah saya kumpulkan sejak beberapa bulan yang lalu. Saya mendapatkan responden yang cukup interaktif, dan mau menyampaikan keluhan-keluhannya atas kasus ini,” Bu Rere sudah memegang buku berwarna hitam dan dibukanya di bagian lembar pertama, “RESPONDEN PENTING” “Jadi begini, beberapa tahun yang lalu sudah didapati ada dosen yang melakukan perbuatan tidak senonoh pada mahasiswanya, dan sampai saat ini membuat trauma yang mendalam bagi mahasiswa itu sendiri. Saya sebagai perempuan dan orang yang berkecimpung di bidang akademik, sangat menyayangkan hal itu dan mengutuk keras soal perbuatan tersebut. Karena, kondisi mental korban masih terngiang dan membutuhkan keadilan atas kasus yang dialaminya,” beber Bu Rere. Suasana ruangan Bu Rere yang tidak ada kipas angin tau air conditioner itu menambah panasnya jiwa raga Andin yang mendengarkan kabar tidak sedap itu. Sangat tidak disangka, Bu Rere adalah orang yang mengumpulkan bukti-bukti agar bisa menulis dan mengangkat kasus ini. Lembar demi lembar catatan itu kembali di buka oleh Bu Rere, Andin dan Tisya hanya mengamati tulisan-tulisan yang tertera di sana. Responden K. Mengalami pelecehan seksual oleh dosen X ketika dia ingin konsultasi skripsi. Saat itu K diminta datang ke ruangan X tanpa membawa teman-teman untuk konsultasi dan akan diberikan tanda tangan final untuk ujian seminar proposal. Namun, saat berada di dalam ruangan, X justru tidak langsung menandatangani kartu milik K dan memberikan sebuah syarat. Syarat yang cukup mengejutkan, X meminta K melayaninya, saat itu X sudah meraba-raba sendiri kemaloean-nya. K cepat-cepat berdiri namun X berhasil menahannya, X dengan membabi buta melumat bibir K hingga K tidak bisa berteriak. “Dan pastinya tidak hanya itu pelecehan yang dilakukan dosen X pada mahasiswi K. Ada beberapa bukti lainnya, dan nanti saja saya beri tahu ke kalian karena korban minta hal lainnya dirahasiakan terlebih dahulu,” kata Bu Rere dan kemudian menutup buku catatan hitam itu. Andin dan Tisya mengadu pandang satu sama lain, mereka tidak menyangka bukti yang didapatkan Bu Rere begitu detail. Satu lagi, Andin dan Tisya juga tidak menyangka jika ada pelaku kejahatan seksual yang berkeliaran di kampusnya, bahkan menduduki posisi sebagai dosen yang notabene adalah orang pintar, disegani, dan mempunyai jabatan berpengaruh di kampus. “Maaf, Bu, untuk terduga pelaku apakah Ibu sudah mengantongi nama tersebut?” tanya Andin. Bu Rere mengangguk, “Sudah, tapi kalian harus mencari informasi lain soal korban ya. Saya mendapatkan informasi dari responden K, kalau masih ada satu lagi korban dari dosen X. Dan, kejadian itu terjadi baru-baru saja.” “Sungguh? Berarti dosen X itu masih demen ngelecehin mahasiswanya dong sampai sekarang? Aduh, bahaya banget sih, ini kasus harus segera diusut! Apalagi korban yang baru-baru ini seumuran sama kita, gak bisa dibiarkan sih kalau masalah ini,” Tisya yang tadinya diam, tiba-tiba ikutan ngomel karena tidak terima dengan tindakan dosen X. “Nah, kalian berdua kan sudah mempunyai tujuan nih, sama-sama mau mengangkat kasus ini agar korban mendapatkan keadilan, kan. Jadi saya mohon sekali kepada kalian berdua sebagai koordinator untuk fokus, dan saling bekerja sama soal ini,” pinta Bu Rere. “Iya, Bu, saya sangat siap!” tegas Andin. “Sama, Bu. Saya rela deh gak nonton BTS dan drama korea biar bisa fokus dengan kasus ini dan bisa diselesaikan dengan baik!” sahut Tisya yang baru kali ini tidak keberatan untuk meninggalkan dunia per-Korea-annya sementara. Bu Rere tersenyum lebar, tampak gigi-giginya yang putih bersih habis bleaching. “Terima kasih banyak ya, kalian berdua menjadi energi tambahan untuk saya. Kalian tuh kayak charger untuk saya yang kehabisan baterai, hehehe,” tukas Bu Rere. “Dan saya juga terima kasih sama Bu Rere karena sudah mau memberikan misi yang sangat berharga ini. Misi yang terbilang mahal, kompeten, dan sangat sangat penting untuk dibahas,” tambah Andin. Tisya pun memegangi tangan Bu Rere yang masih memegang erat buku hitam tersebut. “Bu, doain kami agar bisa menjalankan misi ini sampai akhir, agar korban-korban yang hidupnya tidak aman bisa menjadi aman kembali,” pinta Tisya. Bu Rere beranjak dari duduknya, dan memeluk erat dua anak buahnya, Andin dan Tisya. Tak terasa air mata yang sedari tadi ditahan oleh Bu Rere, terlepas begitu saja dari pelupuk matanya. Sambil mengelus punggung Andin dan Tisya, Bu Rere berkata, “Kita harus bantu korban, harus! Karena ini adalah panggilan kemanusiaan yang tidak boleh dicuekin!” Tisya dan Andin pun paham kalau tujuan Bu Rere untuk mengatasi kasus ini adalah hal yang paling mulia. Air mata yang mengalir melewati pipi Bu Rere hingga jatuh ke rambutnya itu, menggambarkan ada emosi yang ingin diluapkan namun tertahan oleh suatu hal. Maka dari itu, Tisya dan Andin lah yang melanjutkannya. Semoga berhasil!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN