Bab 6 Menumpang di Mobil Pria Angkuh

1082 Kata
Bab 6 Menumpang di Mobil Pria Angkuh ======== Alisya mengeluarkan semua barang-barangnya dari dalam locker lalu memasukkan semuanya ke dalam kantongan kresek besar. Tak ada tas atau semacamnya. Sama sekali dia tak tahu kalau hari ini adalah hari terakhir dia bekerja. Andai dia tahu, tentu dia akan membawa dari rumah. Tak apa, tak ada yang perlu digengsikan. Semua orang juga tahu kalau dia hanyalah seorang buruh pabrik. “Syukurlah kita berdua tak dipecat, aku mendapat surat peringatan, dan kamu dipindah tugaskan. Baik-baik bekerja di tempat yang baru, ya! Tetap semangat!” Sang Mandor grup memeluk Alisya. “Maafin aku, Kak! Hampir saja Kakak terkena masalah karena aku,” lirih Alisya dengan mata berkaca-kaca. “Sudah! Tidak apa-apa. Jaga putrimu, ya!” “Salam sama teman-teman, ya, Kak! Bilang sama Rika, nanti aku telpon pas dia rehat!” “Iya. Akan aku sampaikan.” “Dadah Ante!” Rena melambaikan tangan. “Dadah, Sayang! Jangan nakal, ya! Sayang sama Mama, lho!” “Iya, Ante.” Ibu dan anak itu berjalan pelan menuju gerbang. Satpam pabrik membukakan pintu untuknya. Jam segini, belum ada bus karyawan yang berjalan. Angkutan umum pun tak ada yang melintasi kompleks ini. Harus berjalan kaki hampir satu jam, baru bisa menemukan pangkalan ojek. Begitupun persimpangan di mana angkutan biasa melintas. Satu jam berjalan kaki? Sangat tidak mungkin. Alisya mungkin sanggup, tetapi Rena? Mengendongnya, Alisya yang tak sanggup. Belum lagi tas kresek besar berisi barang-barangnya. Alisya berdiri termangu di tepi aspal hitam. Terik mentari mulai terasa menyengat kulit. Alisya iba melihat wajah putrinya mulai memerah dipanggang sinar mentari. Peluh menetes di kening bocah mungil itu. Ciptakan aroma asem yang menguar dari tubuh kecilnya. Ya, tadi pagi Rena memang belum sempat mandi. Alisya langsung menggendongnya saat masih pulas tidur, ketika sudah terdengar klakson bus jemputan. “Ma, manas!” Rena mulai mengeluh. “Iya, Sayang. Kita tunggu kalau ada mobil melintas, kita numpang, ya, sampai depan!” “Itu, Ma, itu ada mobin!” “Iya, Sayang! Kita numpang. Semoga diizinin.” Belum sempat Alisya melambaikan tangan ke arah pengendara mobil yang kebetulan melintas, Rena sudah bertindak. “Yumpang, Om! Yumpang, ya, Om!”teriaknya seraya berlari ke tengah jalan untuk menghadang. Mobilpun menepi. Kaca jendela samping diturunkan. “Pak Deva!” Alisya mendesah. “Kalian?” Deva sama terkejutnya. Alisya menundukkan kepala. Rambut panjang yang diikat menjadi satu ke belakang, jatuh bergerai, menutup sebagian wajah. Deva terperangah. Penampilan asli Alisya sekarang terlihat jelas. Tak ada lagi seragam pabrik yang membungkus seluruh tubuh dan kepalanya. Wajah jelita itu dia pindai dengan netra takjub. Mata besar, hidung bangir, bibir s*****l, dan warna kulit yang kuning langsat membuat pemandangan cantik di hadapannya bertambah eksotis. Sementara Rena langsung melangkah mundur demi melihat wajah Deva. Bayangan saat lelaki itu berteriak di dalam tadi, tergambar lagi di benaknya. Jiwa kanak-kanaknya sempat terluka. Deva yang awalnya sangat dia suka, kini berubah seperti papanya. Kasar, cuek, dan suka berteriak. Rena tak menyukainya. “Rena, ayo, masuk!” Deva memanggil namanya. “Ndak mau!” tolak Rena cepat. “Kenapa, Rena! Ayo, masuk, cepat! Nanti kamu deman, lho, main panas-panasan!” Deva terkejut melihat perubahan anak kecil itu. Semula begitu ramah, bahkan berani memegang jemarinya. Kini bersembunyi di balik pinggang Ibunya. Kenapa? Tetiba dia teringat akan Tasya, putri kandungnya. Lelah dia membujuk, agar Tasya mau dipeluk olehnya, untuk terakhir kalinya setelah persidangan. Tetapi, Tasya tak pernah mau. Putri kandungnya, menolak mengucap selamat tinggal, atau sekedar menyalam, menjabat tangan. Deva meradang. Lelaki itu membanting seluruh benda yang bisa dia jangkau saat itu. Hal itu, justru membuat putrinya semakin ketakutan. Deva bukan sosok Papa yang dirindukan, tetapi seorang monster yang menakutkan. “Rena, Sayang! Naik, sini!” bujuknya, seolah melihat Tasya tengah dipanggang sinar mentari. Sakit terasa di ulu hati. Rasa diremas menyadari Rena pun telah membenci. Persis seprti Tasya yang juga sanagt membencinya. “Tidak, usah, Pak. Bapak lanjut saja, silahkan! Mohon maaf, putri saya telah mengganggu perjalanan Bapak!” Alisya merasa tak enak. “Dengar, Alisya! Besok kamu mulai bekerja merawat Mamaku. Jangan sampai putri kamu terkena demam, lalu sakit karena kepanasan hari ini. Aku gak mau, ya, Mamaku tertular! Kalau sampai anak kamu demam, gak usah bekerja lagi besok, paham!” ancamnya dengan nada angkuh sesaat kemudian. Alisya tercekat. Ternyata tak ada di dalam kamus hidup bosnya ini, selain kalimat mengancam. Alisya masih sangat butuh pekerjaan. Kalau tidak, tentu saja dia tak akan pedulikan lelaki angkuh berhati dingin ini. “Kita naik, Sayang, yuk!” Alisya mengalah, dan berusaha membujuk putrinya. “Atut, Mammma! Lena atut tama Oom gayak itu! Oom itu tayak Papa, dahat, Mammma!” tolak Rena mencengkram erat ujung rok Alisya. Deva tercekat. Kalimat Rena yang mengatakan dirinya galak seperti papa anak itu, menjadi kemikiran sendiir di benaknya. Mungkinkah ayah anak ini jahat seperti ucapannya? Kalau iya, pantas saja Alisya membawa anak ke pabrik. Mungkin ini salah satu alasannya. Begitu pikirnya. “Kita hanya menumpang sampai persimpangan depan, Nak! Setelah itu kita langsung turun, nyambung naik angkot, ya! Ayo, naik!” bujuk Alisya membelai lembut kepala Rena. Gadis kecil itu akhirnya. menurut. Alisya membuka pintu tengah mobil. Mengangkat tubuh putrinya, lalu mengehenyakkan tubuhnya sendiri ikut masuk. Rena tak banyak bergerak. Mulutnya juga dia kunci dengan menutup menggunakan telapak tangan mungilnya. Itu dia lakukan hingga turun nanti. Mobil melaju pelan. “Alamatnya?” tanya Deva beberapa menit kemudian. Alisya tercekat. “Sampai depan aja, Pak. Di situ udah ada angkutan umum yang melintasi!” “Aku nanya alamat kamu, Alisya!” Alisya tersentak lagi. Segera dia sebut alamat rumahnya. Mencoba memaklumi temperamental majikannya. Semoga ini kali terakhir aku duduk di dalam mobilnya. Begitu doa yang terpanjat di hatinya. ** “Bilang terima kasih kepada Om, Sayang!” titah Alisya saat mobil mewah itu menepi di depan gang. Sengaja Alisya minta di turunkan di situ saja. Tak ingin merepotkan Deva lebih jauh lagi. “Rena tak memperdulikan titah mamanya. Segera dia berlari menuju rumah, tak hendak menoleh sekali pun. “Putri kamu kenapa?” Deva geleng kepala. “Maaf, Pak! Nanti saya akan tegur dia, saya janji akan mengajarinya lebih sopan.” “Ya, sudah! Permisi!” “Sekali lagi terima kasih, Pak!” Mobil itu berlalu tanpa sang empu menjawab lebih dulu. Gontai Alisya berjalan, menjingjing barang barangnya. Otaknya sibuk berpikir tentang watak putrinya. Kenapa Rena cenderung ngelawan. Bahkan dia berani membantah perintah Alisya. Sang bunda tidak tahu, kalau kesakitan dan kekasaran yang diperbuat anggota keluarganya selama ini pada putrinya, telah merubah watak lemah lembut menjadi kasar dan pendendam. Rena mulai mendendam pada Deva. ***** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN