Hari itu matahari bersinar begitu terang di Tokyo. Udara di kota itu juga cukup bersahabat; tidak ada panas terik. Bunga-bunga sakura yang mulai tumbuh menghiasi taman rumah sakit tempat Nara berada saat ini. Berbanding terbalik dengan suasana menyenangkan di sekitarnya, suasana hati gadis itu justru sedang mendung. Gadis itu menangis dalam diam. Diagnosa Dokter Sakuramoto beberapa saat yang lalu berhasil membuatnya berduka atas kehilangan yang Sora rasakan.
Kesempurnaan Sora sebagai seorang wanita harus sirna. Kecelakaan parah yang dialaminya membuat Sora harus merelakan rahimnya diangkat dari tubuhnya. Itu artinya, sampai menghembuskan napas terakhirnya nanti, wanita itu tidak akan pernah punya anak lagi.
“Nara,” bariton lembut menyapa rungu gadis berkulit putih yang sedang duduk di atas bangku taman.
Nara menoleh lalu dengan sigap berdiri saat mendapati senyuman hangat Sekretaris Jang. Rautnya sedikit menunjukkan keterkejutan saat bertanya, “Ada apa, Paman? Apakah Ibu sudah sadar atau—“
Gelengan pelan Sekretaris Jang berikan. “Belum, Nara. Presdir sama sekali belum sadar. Aku kemari hanya untuk menemanimu.”
Nara bergumam pelan sebagai respon. Gadis cantik itu mempersilakan pria yang sudah ia anggap seperti pamannya sendiri agar duduk di sampingnya.
“Ini.” Seketaris Jang menyodorkan sekaleng soda untuk diminum oleh Nara.
Nara memberikan senyum tipisnya lalu mengambil soda itu. “Terima kasih, Paman.”
Sekretaris Jang menganggukan kepalanya sebagai respon.
Sekian waktu berlalu hanya dilalui oleh kebisuan masing-masing raga yang kini sibuk dengan minuman bersodanya. Baik Nara maupun Sekretaris Jang tak ada yang mau memulai percakapan hangat yang biasa mereka lakukan saat bersua. Keindahan taman rupanya menarik minat mereka lebih banyak daripada objek di samping mereka.
“Kau tidak ingin menunggu di sana saja bersama Sehun?” bariton Sekretaris Jang memecah keheningan di antara mereka.
Tanpa menoleh, Nara menggeleng sedih. Sejak keluar dari ruangan Dokter Sakuramoto tadi, Nara lebih memilih untuk pergi ke taman guna mengurangi kesedihan yang dialami olehnya. Bukannya tidak sayang pada Sora dan tidak ingin menunggunya hingga siuman, hanya saja Nara tidak sanggup menyampaikan pada sang ibu perihal kemalangan yang menimpanya.
“Paman kasihan melihat Sehun tadi.”
Perkataan Sekretaris Jang kali ini berhasil membuat Nara menoleh. Dahinya berkerut penasaran. Namun, gadis itu tak lekas menyuarakan isi pikiran dan lebih memilih untuk tetap diam, mendengarkan.
“Sehun tampak begitu terpukul. Paman bisa merasakan kekhawatirannya terhadap reaksi ibumu nanti. Sepertinya dia memang tulus mencintai Presdir.”
“Benarkah?” tanya Nara lirih. Teramat lirih hingga suaranya tersamarkan oleh hembusan angin.
Nara menarik kembali seluruh atensinya dari Sekretaris Jang. Setengah hati ia masih meragukan apa yang pria itu lihat dari tatapan Sehun. Namun, di sisi lain ia juga ikut merasakan apa yang sekiranya Sehun rasakan saat ini. Nara sendiri juga tidak tahu kenapa ia tiba-tiba bisa merasa seperti itu. Yang jelas ia merasa sedih atas kejadian yang menimpa ibunya.
Setelah sekian lama duduk di taman, Nara dan Sekretaris Jang memutuskan untuk kembali ke ruangan Sora. Berbeda seperti saat di taman tadi, mereka berdua kini hanyut dalam obrolan singkat mengenai banyak hal, seperti sekolah Nara, keluarga Sekretaris Jang, dan lain sebagainya.
Akan tetapi Nara dan Sekretaris Jang langsung terkejut saat suara jerit pilu terdengar dari dalam ruang rawat Sora. Untuk sesaat mereka saling bertatapan sebelum akhirnya kompak berlari menuju ke asal suara. Mereka langsung kehabisan kata-kata saat melihat Sora sedang menangis menangis histeris dalam dekapan erat Sehun. Tanpa perlu banyak bertanya mereka pun tahu kalau Sora pasti sudah mendapat kabar soal kenyataan pahit yang harus ia terima.
Air mata Nara kembali tumpah dan dengan sigap Sekretaris Jang menarik bahu gadis ke dalam rangkulan menenangkan.
Untuk pertama kalinya, Nara melihat sorot terluka yang teramat dalam terpancar dari netra Sehun.
*****
Pagi ini Nara sudah bersekolah seperti biasa. Setelah mandi dan berpakaian, gadis cantik itu segera pergi ke ruang makan untuk sarapan. Namun, saat sudah sampai di ruang makan, gadis itu merasa heran sebab porsi makanan yang Bibi Jung siapkan tidak sebanyak biasanya.
“Tuan dan Nyonya sudah makan lebih dulu, Nona. Mereka sedang pergi sekarang,” jelas Bibi Jung saat melihat tautan heran di alis sang anak majikan.
“Pergi ke mana?”
Bibi Jung tersenyum meminta maaf. “Saya tidak tahu, Nona.”
Nara mengalihkan pandangannya dari Bibi Jung. Gadis itu tampak penasaran. Akan tetapi rasa penasarannya tidak bertahan lama. Gadis itu mengedikkan bahunya tak acuh kemudian menyantap masakan Bibi Jung demi mengisi tenaganya. Mungkin saja ibunya dan Sehun sedang pergi ke rumah sakit guna memeriksakan kondisi Sora, bukan?
Setelah menghabiskan makanannya, Nara segera beranjak dari ruang makan dan bersiap pergi ke sekolah. Ia hendak berjalan kaki ke halte kemudian naik bus menuju sekolah. Biasanya ada Mingyu yang mengajaknya pergi ke sekolah bersama, tapi akhir-akhir ini tidak lagi.
Baru saja Nara hendak membuka pintu rumahnya, tapi suara pesan masuk sudah lebih dulu menyapa gendang telinganya. Membuatnya dengan enggan mengambil ponsel di saku jasnya. Begitu membuka pesan itu, Nara sama sekali tidak dapat menahan rasa terkejutnya. Dengan bersemangat gadis itu lekas menarik daun pintu agar terbuka.
Senyum manis Mingyu yang sedang bersandar di jok motornya membuat Nara berbinar gembira. Gadis itu setengah berlari saat menghampiri pujaan hatinya.
“Mingyu ....”
“Surprise!” Mingyu tertawa melihat raut gembira di wajah kekasihnya. Tanpa perlu waktu lama, pemuda tampan itu menarik tubuh Nara ke dalam dekapan posesifnya. Nara membalasnya dengan suka cita.
“Aku rindu sekali padamu,” desah Mingyu pelan di rambut Nara. Pemuda itu tampak sekali begitu merindukan sang kekasih.
Nara mengangguk dalam dekapan Mingyu. “Aku juga.”
Sepasang sejoli itu saling menarik diri dan tersenyum manis pada satu sama lain.
“Kenapa kau tidak bilang kalau ingin menjemputku?” tanya Nara. Senyuman masih setia terpatri di bibirnya.
Mingyu mengapit ujung hidung Nara gemas sebelum menjawab, “Ini ‘kan surprise, kalau aku bilang padamu lebih dulu bukan surprise lagi namanya.”
Kekehan pelan Nara berikan sebagai respon. “Benar juga, ya?”
Mingyu balas terkekeh. “Ya sudah, ayo kita berangkat!”
Nara mengangguk dengan semangat. Mingyu mengambil helm untuk Nara dan langsung memakaikannya di kepala cantik gadis itu.
Setelah selesai bersiap-siap, Mingyu langsung naik ke motornya disusul oleh Nara. Beberapa saat kemudian, Mingyu pun melajukan motor kesayangannya dengan kecepatan sedang.
Rupanya tak lama setelah kepergian mereka, sebuah mobil berhenti di depan rumah Nara. Di dalam mobil tersebut, ada seseorang yang sedang menatap tajam ke arah kepergian sepasang sejoli itu.
*****
Nara pergi dari kelas menuju toilet yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari kelasnya. Gadis itu membuang isi kantung kemihnya yang telah penuh di salah satu bilik toilet. Setelah selesai, Nara keluar dari bilik yang baru saja ia pakai hendak mencuci tangan di wastafel. Namun, kehadiran seseorang di sana membuatnya terkejut.
“Oh, Kim Nara kau sudah pulang dari Tokyo?” sapaan halus itu disuapkan ke telinga Nara sedetik kemudian. Senyum ramah yang dibuat-buat khas Shin Haesang memenuhi fokusnya. Gadis itu sepertinya baru selesai mencuci tangannya.
Nara tersenyum sedikit kaku saat menjawab, “H-Hai, Shin Haesang! Mm, ya ... aku tiba kemarin di Seoul.” Nara tersenyum sekali lagi sambil mengulurkan tangannya di bawah keran. Air keran langsung membasahi tangan ramping Nara.
“Kebetulan sekali kita bertemu. Aku ingin bicara denganmu.”
Nara terkesiap pelan dan menoleh pada Haesang yang menatapnya disertai senyum miring andalannya. Nara segera mematikan keran dan menghadap sepenuhnya pada Haesang.
“Apa yang ingin kau bicarakan padaku?”
Haesang bertepuk tangan sekali. Wajahnya tampak berbinar saat menjelaskan, “Jadi Sabtu malam nanti aku dan teman-teman dekat Mingyu selama di SMP akan mengadakan pesta kejutan untuknya. Kau tahu kan kalau hari itu adalah hari ulang tahun Mingyu? Nah, maka dari itu kami ingin mengadakan sesuatu untuk merayakan hari ulang tahunnya. Kurasa akan lebih menyenangkan jika kau ikut andil dalam acara itu. Bagaimana?”
“Mingyu akan berulang tahun?” Nara tampak terkejut.
Haesang mengernyit lalu memicing curiga. Matanya melebar tak percaya sambil berkata, “Jangan bilang kau tidak tahu kalau Mingyu akan berulang tahun!”
Nara menggeleng dengan polosnya. Haesang langsung terbahak tak percaya.
“Ya ampun, Kim Nara! Kau kan kekasihnya, masa kau tidak tahu?” Haesang menggeleng tak habis pikir. Nara sedikit merengut karena hal itu.
“Oke, sekarang itu tidak penting. Yang penting sekarang kau mau tidak ikut ke acara itu?”
Nara sudah tidak merengut lagi. Sebaliknya, gadis itu kini sibuk berpikir. Haesang terus menatap Nara, menunggu jawaban.
“Oke, aku mau.”
Jawaban Nara membuat senyum Haesang terkembang. “Baik, nanti akan aku hubungi lagi untuk membicarakan soal itu. Ingat, jangan bilang apa pun pada Mingyu atau acara kejutannya bisa berantakan. Oh ya, dan jangan beritahukan soal hal ini pada siapa pun termasuk pada kedua sahabatmu. Mengerti?”
Nara mengernyit heran saat mendengar himbaun Haesang, tapi tak lama kemudian ia mengangguk mengerti sebagai jawaban.
Haesang tampak tersenyum puas mendengar jawaban yang Nara berikan. “Sampai nanti, kalau begitu!”
Nara bergumam pelan sebagai respon. Tak lama setelah itu, Nara ikut keluar dari toilet saat mendengar bel masuk berbunyi.
*****
Nara duduk dengan tidak nyaman di sofa kelab tempatnya berada kini. Haesang dan teman-teman SMP-nya sedang sibuk mengobrol sambil menari mengikuti irama musik yang menghentak ke seluruh penjuru kelab. Sesekali Nara tampak menarik-narik pakaian yang ia kenakan. Gadis itu merutuk.
Sungguh, pakaian itu membuatnya risih. Pusarnya terekspos sempurna berkat pakaian itu. Belum lagi pahanya juga sedang terekspos. Nara memang sudah sering memakai celana jeans pendek seperti itu jika sedang bepergian, tapi ia tidak pernah merasa risih sebab pakaian yang ia pakai tidak terbuka. Tetapi kali ini lain urusannya dan Nara sungguh merasa menyesal telah mengikuti saran Haesang.
Nara menggerutu sambil melongok ke sana ke mari. Sudah hampir satu jam ia berada di kelab, tapi Mingyu tak kunjung datang. Berulang kali ia bertanya pada Haesang kapan sekiranya Mingyu akan datang. Namun, Haesang juga tidak tahu dan menyuruh Nara untuk menunggu saja.
“Ini, minumlah selagi kau menunggu kedatangan Mingyu!” Jun, salah satu teman SMP Mingyu menyodorkan segelas minuman pada Nara.
Nara sedikit terkesiap lalu mengarahkan fokus pada minuman yang disodorkan kepada dirinya. Ia tersenyum meminta maaf. “Tidak usah, aku—“
“Ambillah! Minuman ini tidak mengandung alkohol. Ini hanya jus jeruk biasa.”
Nara mengernyit tak yakin sambil menatap jus jeruk itu dan Jun secara bergantian. “Ini benar hanya jus jeruk biasa, kan?” tanyanya memastikan.
Jun mengangguk. “Aku tidak bohong. Coba saja kau minum sedikit demi sedikit.”
Nara mengangguk perlahan sambil menyunggingkan senyum tipis. Gadis itu menggumamkan ucapan terima kasih seraya mengambil segelas jus jeruk yang Jun tawarkan padanya. Setelah memberikan jus itu pada Nara, Jun pun enyah dari hadapan gadis itu untuk melanjutkan tariannya bersama teman-temannya.
Nara menyesap jus jeruk itu pelan-pelan. Setelah yakin bahwa jus itu hanya jus biasa, barulah Nara meneguknya.
Tak terasa, jus yang ia minum pun sudah habis. Bersamaan dengan itu, Mingyu pun datang menyapanya.
“Nara, kau di sini?’ tanya Mingyu dengan nada bicara yang sarat akan keterkejutan.
Nara tersenyum lebar. Gadis itu tiba-tiba saja merasa teramat senang saat melihat Mingyu. Ia pun segera bangkit dari sofa dan beringsut memeluk Mingyu dengan begitu erat.
“Mingyu, kenapa kau baru datang? Kau tahu, aku sudah menunggumu sejak tadi.” Nara mengerucutkan bibirnya, merajuk.
Kerutan muncul di dahi Mingyu melihat sikap aneh yang Nara tunjukkan. Sambil terkekeh pelan ia bertanya, “Nara, kau kenapa? Oh ya, bagaimana caranya hingga kau bisa ada di sini?”
Nara menarik diri. Ia tersenyum lebar saat menatap Mingyu. “Selamat ulang tahun!”
Lantas, Nara pun mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Mingyu dengan begitu mesra. Mingyu tampak terkejut dengan tindakan Nara yang terkesan agresif dan tiba-tiba. Akan tetapi, alih-alih menolak Mingyu justru dengan senang hati membalas pergerakan bibir Nara pada bibirnya. Tangannya dengan begitu erat memeluk pinggang polos Nara yang terasa halus di telapak tangannya.
Tubuh Mingyu kian berdesir saat tubuhnya semakin menempel dengan tubuh ramping Nara. Kulit pinggang Nara yang terasa sangat halus di telapak tangannya membuat reaksi tubuh Mingyu semakin menggila. Tanpa sadar, tangan Mingyu semakin naik meninggalkan kelembutan pinggang Nara untuk menyusuri halusnya kulit sang kekasih di bagian tubuhnya yang lain. Namun, sebelum niatannya terlaksana, Mingyu harus merasakan kehilangan saat tubuhnya ditarik paksa oleh seseorang. Membuat tautan tubuhnya dan tubuh Nara terlepas begitu saja.
“Sudah cukup kau menikmati hadiah ulang tahunmu, Sayang.” Itu suara Haesang yang mengalun.
Mingyu menatap Haesang terkejut. “Kau yang membawa Nara kemari? Untuk apa?”
Haesang mengangkat bahunya tak acuh. Senyum miring yang terkesan licik tercetak di bibirnya. “Aku hanya ingin mengajak Nara ke tempat di mana kita sering bersama, Mingyu. Apalagi, hari ini kau ‘kan sedang berulang tahun. Siapa tahu kedatangan Nara bisa membuatmu senang? Ya, kau bisa melakukan apa yang kita lakukan minggu lalu di sini dengan Nara juga, bukan?”
Perkataan Haesang membuat rasa penasaran Nara tergelitik. Di tengah kadar kesadarannya yang kian menipis ia bertanya, “Melakukan apa maksudmu?”
Mingyu tampak gelagapan. Ia lebih dulu menjawab, "Bukan apa-apa, Nara—"
"Aku tidur dengan Mingyu, Nara. Aku dan Mingyu sudah melakukan hubungan intim."
"Shin Haesang!"
Bagai tersambar petir di siang bolong, Nara tampak terkejut. Gadis itu menatap Mingyu dan Haesang bergantian dengan tatapan tak percaya. Sedetik kemudian, Nara tertawa. Gadis itu terbahak-bahak.
"Nara, aku bisa menjelaskannya padamu. Aku dan Haesang—"
"Ya ampun ... kalian itu jahat sekali ya padaku? Yang berulang tahun kan Mingyu, tapi kenapa aku yang kalian kerjai seperti ini?" Sudut mata Nara berair karena saking gelinya.
"Tapi aku serius, Nara. Ini bukan candaan. Aku dan Mingyu melakukannya minggu lalu saat kau masih berada di Tokyo."
Perkataan Haesang yang terdengar serius membuat tawa Nara perlahan mereda. Nara menatap Haesang pias. Lalu tatapannya beralih kepada Mingyu yang kini justru menunduk dalam. d**a Nara terasa nyeri. Sakit sekali rasanya. Sepertinya ia mulai sadar bahwa apa yang disampaikan oleh Haesang adalah suatu kebenaran melihat sikap yang ditunjukkan oleh sang kekasih.
"Kalian b******k!" Nara mendesis kemudian beranjak pergi dengan sempoyongan dari tempatnya berada kini. Mingyu berusaha menangkap pergelangan tangannya.
"Nara, kumohon—"
"Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!" Nara meledak. Pipinya entah sejak kapan sudah basah oleh banjir air mata. "Hubungan kita berakhir, Kim Mingyu."
Nara berbalik lagi. Tapi Mingyu kembali menarik tangannya. "Lepaskan, ak—"
"Lepaskan tangannya!"
Nara terkejut saat bariton tak asing menyapa rungunya. Tak hanya itu, sebuah tangan lain kini sedang mencengkeram tangan Mingyu yang sedang terulur memegang pergelangan tangannya. Mata Nara membulat menemukan wajah keras Sehun sedang terarah pada Mingyu. Tak lama setelah itu, tubuh Nara terasa lemas dan tak sadarkan diri dalam dekapan Sehun.
*****
Setelah memberi sedikit pelajaran pada Mingyu dengan bantuan ketiga sahabatnya, Sehun pun menggendong tubuh lemas Nara ke jok depan mobilnya. Lelaki itu meloloskan desisan kesal saat melihat betapa laknatnya pakaian yang dikenakan oleh anak tirinya. Batinnya sibuk mendumal. Tak tahukah Nara bahwa pakaian yang dipakai olehnya bisa membangkitkan sisi binatang dalam diri setiap laki-laki yang melihatnya?
Sehun sungguh terkejut tadi saat Yoongi meneleponnya dan mengatakan bahwa Nara sedang berada di Octagon bersama teman-temannya. Awalnya Sehun tak ingin percaya sebab ia tahu betul bagaimana tabiat Nara. Gadis itu adalah gadis baik-baik, jadi mana mungkin ia pergi ke kelab bersama teman-temannya? Apalagi teman-teman Nara yang ia ketahui hanyalah Jung Jaehyun, Kim Yeri, dan kekasih sialannya yang bernama Kim Mingyu—yang baru saja ia tonjok pipinya.
Sehun melepaskan jaket bomber yang ia pakai dan menjadikannya selimut untuk menutupi tubuh Nara. Setelah jaketnya dirasa cukup menutupi kulit mulus Nara yang terekspos, barulah Sehun beranjak ke kursi di belakang kemudi.
Sehun baru saja masuk ke mobil dan memasang sabuk pengamannya saat ia mendengar Nara meracau, "Sebenarnya apa salahku? Kenapa setiap aku bertemu dengan sosok lelaki yang kukagumi, pasti dia b******k?"
Sehun menaikkan sebelah alisnya. Entah apa yang Nara minum, tapi sepertinya gadis itu mabuk. Terbukti dari cara gadis itu bicara serta bagaimana ia bersikap. Bukannya segera melajukan mobilnya menuju rumah, Sehun justru lebih tertarik untuk mendengarkan racauan Nara. Ia penasaran dengan 'kejujuran' apa yang akan Nara sampaikan.
"Tidak kau, tidak juga Mingyu. Kenapa kalian semua b******k? Mingyu yang kukira baik ternyata tidak ada bedanya dengan dirimu. Kalian menjijikkan!"
Sehun semakin terkejut sekaligus penasaran saat Nara tiba-tiba menyebut namanya. Kenapa gadis itu menyamakan Mingyu dengan dirinya? Kenapa harus dia? Mungkinkah karena gadis itu pernah mengaguminya? Kapan? Bagaimana bisa? Lantas kenapa sekarang gadis itu justru membencinya?
Hm, sepertinya Sehun akan mendapatkan semua jawaban atas pertanyaannya itu sebentar lagi.
Nara mengalihkan fokusnya pada Sehun. Gadis itu tertawa sebelum melanjutkan, "Dulu aku menganggumimu karena kau mengingatkanku pada ayahku. Kau menolongku dan bersikap begitu lembut padaku. Sungguh, kau benar-benar memperlakukanku seperti yang dulu ayahku sering lakukan padaku."
"Tapi kau tahu apa yang membuatku muak padamu, Sehun?" Nara bertanya. "Karena kau seorang pemerkosa. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri saat kau memperkosa teman satu sekolahmu. Itulah yang membuatku mengecapmu sebagai lelaki b******k dan begitu membencimu. Itu juga yang membuatku tidak rela kau menikahi ibuku. Karena kau brengsek."
Berbanding terbalik dengan raut terkejut dan penasarannya beberapa saat lalu, kini raut Sehun justru mengeras. Fakta yang Nara beberkan padanya barusan berhasil mengorek luka lamanya yang telah mengering. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Satu pertanyaan terlintas di pikiran Sehun. Namun, ia berusaha sekuat tenaga tidak menyuarakannya di depan gadis mabuk di samping ia duduk.
Sialnya, mulut Sehun justru berkhianat pada pikirannya. Sambil menahan emosi yang tiba-tiba memuncak ia bertanya, "Apakah kau yang melaporkanku pada polisi dulu?"
Nara menatap Sehun lama lalu terkekeh geli. Setelah sekian lama tertawa, gadis itu menjawab dengan nada menantang. "Benar, aku yang melaporkanmu. Kenapa? Kau terkejut, ya?"
Sehun membuang napas kasar. Wajahnya kian mengeras. Lelaki itu menggeram tertahan di tempatnya. Darahnya mendidih dengan seketika. Ia murka. Namun, ada sesuatu dalam hatinya yang justru membuatnya terasa sesak. Rongga dadanya terasa nyeri.
Sehun terluka entah karena apa.