"Berhenti melihat kabar mereka. Kamu harus fokus pada hidupmu sendiri. Lupakan mereka. Jangan pernah ingat-ingat lagi statusmu dengannya," tutur Mamanya usai mematikan televisi di kamarnya.
Shabrina menghela nafas. Ia sedang membereskan barang-barangnya. Ia akan segera meninggalkan negara ini. Ke mana? Ke mana kaki melangkah yang membawanya. Ia tak bisa lagi hidup di sini karena semua orang selalu menatap rendah dirinya. Ia sama sekali tak suka. Ia tahu jika hidupnya terhina seperti ini pun karena ia sendiri. Meski sampai saat ini, ia masih berhadapan dengan perjuangan diri sendiri untuk bangkit dari semua ini. Tapi hidup harus maju ke depan. Ia tak ingin mengingat-ingat apa yang terjadi di belakang.
Tadi pemberitaan baru muncul lagi. Seperti biasa, kesuksesan mantan suaminya selalu membumi di Indonesia. Semua orang selalu ingin tahu kehidupan lelaki itu. Bahkan pada pemberian anugrah kali ini, ia ditemani istrinya yang berperut besar. Semua orang membicarakan perut istrinya. Banyak yang menebak jumlah bayi di dalam perutnya. Namun tak satupun berani membicarakan wajah aslinya yang dipenuhi tanda tanya. Karena perempuan itu selalu bercadar ketika mendampingi suaminya.
Hati Shabrina sesungguhnya masih sakit tiap melihat pemberitaan itu. Biar kata hatinya sudah hampa dari lelaki itu. Namun bukan berarti tidak pilu tiap mendengar kehidupan mereka baik-baik saja sementara ia di sini? Rasanya sangat ingin tertawa.
"Kamu bisa hancurkan mereka?"
Suaminya tertawa. "Kita yang hancur. Keluarga konglomerat itu sangat mengerikan."
Istrinya mendengus mendengar kata-kata itu. "Aku gak suka lihat hidupnya sebahagia itu."
Terdengar helaan nafas berat. "Sudah lah. Lupakan saja. Kita masih bisa bertahan di sini saja sudah sangat beruntung."
Shabrina menutup pintu kamarnya. Tadinya ia hendak keluar tapi ia malah mendengar segala pembicaraan itu. Mamanya memang masih dendam pada keluarga suaminya. Namun ia ingin berhenti memikirkan itu. Setiap berpikir untuk kembali merusak pernikahan mereka, ia sadar kalau ad ayang salah dengan hatinya sendiri. Saat dilarikan ke rumah sakit terakhir kali, mantan mertuanya lah yang membawanya. Kemudian ia dipindahkan dari sana karena Mamanya tidak sudi ia dirawat di rumah sakit milik mantan mertuanya. Akhirnya ia pindah. Ia pikir mantan mertuanya tidak akan menghubunginya lagi setelah itu. Tapi ternyata perempuan itu bahkan masih bersikap baik sekalipun diusir oleh Mamanya saat itu. Ia jadi tak tega.
Nomor ponselnya masih ada. Ketika Shabrina pernah meng-upload sekali dalam status media sosialnya, perempuan itu muncul memberikan doa yang baik untuknya. Meski itu terjadi sudah berbulan-bulan lalu tapi Shabrina masih bisa merasakan kehangatan. Setidaknya, meski mungkin perempuan itu tidak menerimanya sebagai menantu, ia masih diperlakukan selayaknya manusia bahkan mungkin seperti anak perempuannya.
Shabrina memejamkan matanya sesaat. Hidup ini memang berat. Berat sekali. Namun setidaknya ia harus percaya bahwa dibalik ketidakbahagiaan yang menerpanya saat ini, akan ada kebahagiaan yang menanti. Ini hanya persoalan waktu. Tapi ia tak yakin apakah bisa menemukan sosok lelaki lagi yang menurutnya bisa menjadi pendampingnya sesempurna lelaki itu? Ia tak yakin ada yang bisa menandingi lelaki itu setidaknya hingga detik ini.
Farrel Alhanan Adhiyaksa.
Ia masih sering menyebut nama lelaki itu dalam benaknya. Meski hatinya telah hampa karena luka yang saat itu mendera. Ketakutan yang membuatnya sulit berpikir jernih jika anak yang dikandungnya kala itu berasal dari lelaki yang tak ia inginkan di dalam hidupnya. Dan itu benar-benar terjadi. Brengseknya, lelaki itu bahkan tak masuk penjara. Shabrina yakin sekali. Bagaimana ia bisa yakin?
Lo tahu, Bri? Gue ketemu Reno di Singapura.
Itu pesan yang datang tadi pagi dari sahabatnya sesama Puteri Indonesia yang kini menetap di Singapura. Singapura sangat dekat dari sini. Bahkan hanya dengan waktu puluhan menit, bisa mendarat ke negeri itu.
@@@
"Keera mau koas di Jakarta."
Ibunya bagai tersambar petir mendengar ucapan itu. Tio juga. Meski lelaki itu hanya bisa diam. Arga hanya bisa menatap lurus wajah kakak perempuannya yang masih sangat pucat. Ia juga rindu Jakarta. Ia merindukan sahabat kecilnya yang sudah jarang berkabar bahkan hampir hilang kabarnya. Namun akhir-akhir ini kembali terhubung melalui media sosial.
"Arga gak keberatan," tukasnya dengan enteng. Papanya menjitak kepalanya. Hal yang membuat istrinya tersenyum kecil. Disaat seperti ini, mereka bahkan masih bisa bercanda.
"Kamu tetap melanjutkan kuliah di sini. Si Mysha gak akan kabur ke mana-mana. Papa sudah teken jodoh sama Papanya," ujar Tio yang tentu saja asal bicara. Arga mendengus mendengarnya sementara Mamanya tertawa. Memang lucu sekali anaknya yang satu ini. Dari dulu hingga sekarang masih suka sama gadis kecil yang pernah satu sekolah dengannya. Mysha, anaknya Mira dan Wirdan. Mira juga adalah adik sepupu Jihan. Sepupu jauh dari keluarga ibu Jihan. Kini kabarnya berkuliah di Kairo. Tadi Arga juga hendak menyusul untuk kuliah di sana namun tak lolos. Dan lagi, ia diminta untuk tetap di Padang untuk menjaga Mamanya dan kakak perempuannya dikala Papa mereka harus berpindah-pindah kota.
"Bisa, Bang?" tanyanya pada Tio disaat malam di mana Keera sudah kembali terlelap di kamarnya. Sementara Arga sibuk di depan loteng. Asyik sekali dengan media sosial semenjak ia mulai membuat akunnya. Selama ini ia tak tertarik. Tapi saat tak sengaja menemukan akun media sosial Agha, sahabat kecilnya, ia mulai kecanduan. Bahkan mulai gencar mencari akun media sosial milik Mysha namun sayangnya.....belum ditemukan hingga saat ini.
Tio menghela nafas. Tubuhnya cukup lelah usai mengurus segala administrasi rumah sakit tadi sore. Kini ia mengambil duduk di samping istrinya yang sedang melipat pakaian. Beberapa hari ini pakaian kering terabaikan karena sibuk mengurus Shakeera di rumah sakit.
"Nanti aku usahakan."
Jihan melihatnya dengan sedih.
"Kamu mau bekerja lagi?" tawanyar. Istrinya kan dokter. Tapi sejak Arga lahir, Jihan memilih berhenti. Karena anak lelakinya itu sering sakit-sakitan dulu. Kasihan karena tak ada yang mengurus. Apalagi saat itu mertuanya sudah meninggal. Orangtuanya jauh di Padang sementara ia dan Tio tinggal di Jakarta.
"Kenapa?"
Tio menghela nafas. "Biar bisa memantau Keera. Aku bisa hubungi Bang Fadlan."
"Lihat kondisinya nanti."
Tio mengangguk-angguk. Ia tak keberatan jika istrinya memang ingin kembali bekerja.
"Kamu benar-benar akan mengabulkan keinginannya lagi?"
Tio tampak berpikir kemudian menghembuskan nafas. "Dari dulu aku selalu lemah dengannya."
Jihan terkekeh. Ia tahu kalau suaminya sangat menyayangi Shakeera. Jadi apapun permintaannya pasti dikabulkan. Termasuk saat gadis itu bilang ingin melanjutkan kuliah di Padang.
"Menurutmu, dia masih ingin mengejar Ando?"
"Enggak lah, Bang. Dia hanya belum bisa melupakan. Bukan berarti dia ingin kembali."
Tio mengangguk-angguk. Dulu, ia juga begitu. Saat melihat Icha menikah dengan laki-laki pilihannya. Ia tahu kalau kesempatan itu tak akan pernah datang. Jadi jalan mengikhlaskan adalah caranya. Meski ia hampir mati untuk menemukan jalan kembali kepada-Nya. Karena ternyata cinta bisa semengerikan itu.
"Aku gak enak hati kalau Keera sampai melakukan itu. Keluarga mereka banyak membantu keluarga kita."
"Keera pasti mengerti."
Ya, ia tahu. Tapi justru karena itu, anaknya sering melukai diri. Mungkin karena berpikir bahwa tak ada cara lain untuk menjalani hidup jadi kenapa tak diakhiri saja? Pemikiran yang memang sangat sempit. Tapi dalam tahap ini, Shakeera memang belum bisa bangkit dari luka.
"Si Mysha apa kabar?"
Mendengar pertanyaan itu membuat Jihan tertawa. "Kamu gak benar-benar ingin menjodohkan mereka kan?"
Tio tampak berpikir. "Setidaknya kalau masih bisa diperjuangkan, cinta pertama harus diraih."
Jihan terkekeh sambil menggelengkan kepala. Terakhir, Jihan mendapat kabar dari Mira, ibunya Mysha, gadis itu sedang sibuk kuliah di Kairo. Maira juga sedang bersiap-siap untuk melanjutkan kuliah di sana. Dan keberadaan Wirdan dan Mira saat ini?
Kami baru sampai di Aljazair, Kaaak. Kakak bagaimana? Semua keluarga sehat?
Pasangan manis itu asyik berkeliling dunia.
@@@
"Pihak mereka bersedia memberikan sebanyak apapun yang Ibu minta."
"Tidak perlu. Saya tidak butuh. Katakan pada laki-laki itu untuk mengambil semuanya. Aku tidak punya hak atas itu," tuturnya kemudian mematikan telepon. Ia agak marah karena Farrel masih mengungkit persoalan harta gono-gini. Karena lelaki itu yang mengajukan perceraian maka ia punya hak untuk harta semacam ini. Namun Shabrina merasa kalau itu sepenuhnya harta Farrel.
"Kenapa tidak kamu ambil? Itu lumayan untuk mengganti semua pencalonan Papamu," tutur Mamanya yang tahu-tahu sudah berdiri di belakang pintu kamarnya. Perempuan itu mendengar segala percakapannya.
Shabrina mendengus kemudian melempar ponselnya. "Aku ingin lepas dari mereka."
"Kalau harta tak masalah, Brina. Toh dia yang mau memberikan. Kamu kan tidak pernah meminta. Lagi pula memang hakmu."
Shabrina langsung menoleh dengan tatapan tajam. Mamanya menghela nafas. Lelah menghadapi kekeraskepalaan milik Shabrina.
"Mama mau mempermalukanku lagi?" tukasnya. Ia sudah cukup malu dengan kata-kata kedua orangtuanya yang dulu berkoar-koar tentang ia yang dihamili Farrel namun ternyata memang bukan lelaki itu. Alhasil ia berakhir malu seperti ini. Ia punya penyesalan kenapa dulu tak kabur saja saat akan dinikahi jadi hidupnya tak akan sehancur ini. Kalau ia tidak jadi menikah dengan Farrel kala itu, setidaknya ia masih bisa memperbaiki masa depan yang telah terjadi. Namun ini terasa sulit sekali.
"Dia menolak?" tanyanya.
"Ya, Pak. Jadi kita harus bagaimana?"
"Simpan semua buktinya. Jadi kalau terjadi sesuatu kita bisa menggunakan itu. Dan tutup saja semuanya," titahnya yang diiyakan oleh pengacaranya.
"Ayang?"
Seorang perempuan muncul di pintu ruang kerjanya. Hanya kepalanya yang terlihat. "Belum mau tidur?" tanyanya yang dibalas senyuman kecil milik Farrel.
"Kamu merindukanku?" ledeknya yang dibalas dengusan. Farrel tersenyum kecil melihat reaksi itu.
"Anak-anakmu merindukanmu."
"Bukan ibunya?"
Istrinya mengerucutkan bibir. "Aku tunggu di kamar," tuturnya gengsi. Farrel terkekeh sambil menggelengkan kepala saat pintu ruang kerjanya ditutup. Ia segera mematikan semua perangkat elektronik yang ia nyalakan di ruangan ini. Sambil menenteng ponselnya, ia berjalan menuju kamar, menyusul istrinya yang merindukannya.
@@@