Kami tinggal di Antaroza, sebuah panti asuhan yang telah membesarkan kami.
Kami selalu melakukan berbagai hal bersama di sana, dimulai dari mandi, makan, bermain, dan tidur.
Semua terasa begitu menyenangkan, ditambah ada sosok 'Mama' yang selalu merawat dan menjaga kami.
Kami sangat bahagia, bisa hidup di Antaroza.
Namun, ada suatu kejanggalan yang membuat salah satu dari kami mencurigai mama, semuanya berawal saat mama melarang siapa pun dari kami untuk melewati gerbang panti atau memanjat tembok pembatas yang berhubungan dengan dunia luar.
Mama berkata kalau dunia luar masih sangat berbahaya untuk anak-anak seumuran kami.
Percuma saja.
Karena peringatan itu, Niko, seorang bocah berusia dua belas tahun semakin penasaran terhadap dunia luar.
Akhirnya dia menyelidiki, lebih tepatnya, mengintip di sela-sela gerbang untuk memandang apa itu dunia luar.
Dan Niko terkejut hingga lari terbirit-b***t setelah mengetahui kebenarannya, dia kembali ke kamar kemudian bocah itu berkata pada kami bahwa panti asuhan yang kami huni adalah sebuah peternakan, dan dari awal, ternyata kami merupakan makanan untuk para monster.
Sejak itulah, kami sadar bahwa semua kasih sayang yang 'Mama' berikan pada kami hanyalah kepalsuan semata.
Padahal, kenyataannya, mama hanyalah seorang peternak manusia.
☆☆☆
Pagi hari, seperti biasa, sebuah lonceng berbunyi nyaring menandakan bahwa sarapan telah siap, aku melepaskan selimut yang sedari tadi menelungkup tubuh kecilku.
Menghirup aroma daging, udang, roti bakar yang memasuki hidungku membuat diriku tersenyum senang. Kakiku langsung kuturunkan dari kasur lalu beranjak bangun, menuju pintu kamar.
Sapaan "Selamat pagi! Liona!" mulai keluar dari mulut teman-temanku yang telah keluar dari kamarnya masing-masing. Aku membalas sapaan mereka dengan menyebut nama setiap orang yang menyapaku seraya memberikan senyuman ramah.
Liona Alberto, itulah nama lengkapku. Namun, asal kalian tahu saja, aku sangat benci jika seseorang menyebutku dengan sebutan 'Lion' atau 'Albert' karena itu terdengar seperti nama laki-laki.
Walau bagaimana pun, aku bersyukur diberi nama yang lumayan cantik oleh mama, orangtua angkat yang mengurusiku.
Sebenarnya, bukan hanya aku saja yang diurus, teman-temanku juga mendapatkan perhatian yang setara dari mama, karena mereka juga anak-anak kesayangan mama.
Panti asuhan.
Itulah nama tempat yang kutinggali bersama teman-temanku. Aku tidak pernah tahu siapa orangtua asliku, dan berasal dari mana diriku ini, tapi yang jelas, mama pernah berkata pada kami kalau kami merupakan anak-anaknya.
Aku juga menganggap semua anak yang tinggal di sini sebagai saudara-saudaraku, aku menyayangi mereka, bagaikan aku mencintai boneka-bonekaku.
"Hey! Hey! Liona! Kemarilah! Duduk di sebelahku!"
Merki, remaja lelaki yang dekat denganku langsung berteriak padaku ketika diriku sampai di ruang makan. Aku mengangguk, mengisyaratkan bahwa aku akan duduk di sebelahnya.
Setiap pagi, kami rutin menyantap sarapan bersama di meja makan yang begitu panjang. Tentu saja, karena jumlah kami terlalu banyak, alhasil meja makan pun lebih dipanjangkan sedikit agar kami semua dapat makan bersama.
Mama kini sudah ada di kursinya, memimpin kami untuk makan, dilengkapi dengan senyuman hangatnya yang mengusap hatiku.
"Apakah semuanya sudah berada di kursinya masing-masing?"
Mama bertanya pada kami dengan suara yang begitu lembut bagaikan alunan biola yang menyentuh naluri. Memang begitulah sifatnya wanita yang telah merawat kami dengan kelembutan hatinya.
Kami mengangguk bersama, merespon pertanyaan mama dengan serentak. Setiap anak yang tinggal di Antaroza dirawat dari balita hingga usia lima belas tahun, setelah melewati usia maksimal, kami akan dibawa pergi oleh mama untuk diadopsi kepada keluarga asing.
Dan tepat pada hari ini, usiaku sudah bertambah satu tahun! Yang artinya, aku telah memasuki umur lima belas tahun, sama seperti Merki yang ada di sebelahku.
"Baiklah, saatnya menyantap sarapan pagi, jangan lupa basuh tangan kalian hingga bersih dan makanlah dengan hati-hati ya."
Intruksi yang mama berikan sudah biasa kami dengar setiap menjelang waktu makan, bahkan tanpa mendengarnya pun kami semua mengerti atas apa yang diperingatinya.
Kami selalu diajari untuk disiplin di sini, contohnya seperti membersihkan kamar, menata halaman, tidur sesuai waktunya, dan makan dengan hati-hati.
Hal-hal sepele seperti itu selalu dan selalu diucapkan mama tanpa pernah merasa bosan.
Ngomong-ngomong, roti bakar pagi ini rasa coklat dan aku benci itu, kukira rasanya akan seperti kemarin, yaitu nanas atau paling tidak strawberry.
Tapi tak apalah, lagipula, aku tidak ingin menyakiti hati mama yang telah membuat makanan sebanyak ini dengan berkata rotinya bukan seleraku.
Aku mengunyah roti rasa coklat itu dengan santai, gurih dan menjijikan, itulah yang bisa kujelaskan ketika makanan itu menyentuh lidah berhargaku.
"Hey, Liona, apa kau tahu, aku merasakan sesuatu yang aneh hari ini."
Mendadak, Merki berkata sesuatu yang membuatku berhenti mengunyah dan menoleh pada lelaki berambut keriting itu.
"Maksudmu?" timpalku dengan berusaha menelan tumpukan roti yang telah kukunyah ke dalam tenggorokanku.
"Ini hanya dugaanku sih, tapi ...," Merki berdehem sebentar dan melanjutkan perkataannya dengan memelankan suaranya. "Aku merasa kalau Mama menyembunyikan sesuatu dari kita."
"Hah?" Alis kananku terangkat, sebenarnya apa sih yang dia pikirkan, aku baru tahu kalau dia itu agak aneh. "Jangan berkata hal-hal aneh, Merki."
Kemudian aku meneguk segelas air putih dengan nikmat, suara bising teman-temanku yang mengobrol sambil makan meramaikan suasana ruangan ini, sementara di sudut paling kiri, mama tengah menyuapi makanan kepada bayi yang digendongnya.
"Ini kan hanya sebatas dugaan saja."
Kelihatannya Merki sedikit tersinggung oleh perkataanku, yah, kupikir itu wajar saja, karena dari kecil, lelaki keriting itu memang suka sekali menduga-duga hal-hal yang aneh seperti dari mana tikus berasal atau kenapa kita semua punya hidung.
Namun, entah kenapa, sorot mata Merki ketika mengatakannya terlihat sangat tajam dari biasanya, seolah-olah dia sedang mengajakku untuk menyelediki sesuatu yang tidak beres pada diri mama.
"Hup!" Pundakku langsung ditepuk oleh tangan seseorang dari belakang. "Liona, akhir-akhir ini, sepertinya kau sangat dekat dengan Merki, apa kalian berdua pacaran?"
Rupanya Niko, seorang lelaki berkulit eksotis dengan rambut landaknya yang menepuk pundakku.
"Jaga bicaramu itu, Niko," Aku langsung menengok pada Niko. "Kami memang dari dulu sudah dekat, kau saja yang baru sadar!"
Aku memekik kesal pada Niko dengan mengembungkan pipi sebesar balon mini.
"Ah, maksudmu sejak dulu kalian sudah berpacaran ya?"
Sial, aku mengatakan sesuatu yang salah, alhasil, Niko malah semakin mengejek kami berdua. Untung saja, ejekan Niko berhasil dihentikan karena suara mama.
"Niko, berhentilah mengganggu temanmu yang sedang makan, kau bisa duduk di kursimu dan menyantap bagianmu dengan tenang."
Niko hanya terkekeh-kekeh mendengar peringatan dari mama, lalu dia berjalan menjauhi kursiku dan berjalan menuju tempat duduknya, wajahnya masih menandakan kalau dia belum menyerah untuk mengejek kami berdua.
Sialan.
"Mama," tiba-tiba Marcell, laki-laki jenius berkaca mata berdiri dari kursinya dan menatap wajah mama dengan tatapan yang sangat dingin. "Apa benar kalau mama itu seorang pembunuh?"
Seketika, ruangan makan menjadi riuh karena pertanyaan yang dilontarkan oleh Marcell. Aku juga tersentak mendengarnya, Merki mengerutkan alis dan Niko memasang ekspresi 'Apa-apaan itu?' disertai bibirnya yang cemberut.
Marcell tiba-tiba menyudahi kegiatan makannya dan bangkit dari kursinya, menatap mata mama dengan tatapan yang begitu menusuk, suara decitan kursinya membuat kami semua menoleh padanya.
"Mama," Marcell mulai berbicara dengan suara yang begitu dingin dan penuh dengan kekesalan. "Apa benar kalau Mama itu seorang pembunuh?"
Seketika, ruang makan menjadi riuh karena seluruh anak terkejut mendengar pertanyaan yang dikemukakan Marcell pada mama, ditambah, dia mengeraskan suaranya agar kami semua dapat mendengarnya dengan jelas.
Aku, sebagai bocah ternakal di panti asuhan ini memasang wajah 'apa-apaan itu?' dengan bibir cemberut. Kedua mataku mendelik pada muka mama yang sama kagetnya dengan kami semua.
"Marcell," Mama mulai menjawabnya dengan suara yang sangat lembut, seolah-olah dia sedang merangkul Marcell dengan penuh cinta. "Apa menurutmu, Mama terlihat seperti seorang pembunuh?"
Marcel langsung menundukan kepalanya, sepertinya dia malu karena memberikan pertanyaan bodoh kepada wanita yang telah membesarkannya.
Rupanya, anak yang paling jenius di sini tidak lain hanyalah seorang laki-laki bodoh. Aku menyesal mengagumi kecerdasannya, berani sekali dia berkata kasar pada mama.
Walau aku selalu dimarahi oleh mama, tapi aku sangat menyayanginya. Apa pun akan kulakukan agar mama bisa bahagia, karena dia telah merawatku sampai sebesar ini.
"Oy!" Aku sudah tidak tahan lagi, lantas diriku pun berdiri dari kursi, mencoba membela mama. "Aku tahu kau lebih cerdas dariku, tapi, kau sudah keterlaluan, Marcell."
Liona dan Merki menatapku, sepertinya mereka juga ingin ikut berdiri, tapi entah kenapa mereka mengurungkan niatnya. Padahal aku sudah menunggu saat-saat Marcell dikeroyok oleh kami semua.
Marcell mengembuskan napasnya, dia masih menundukan kepalanya, seolah-olah dia juga menyesal karena telah bertanya hal yang kasar pada mama.
"Maaf, bukannya aku--"
"Tidak apa-apa, aku akan melupakannya, sekarang, duduklah, Marcell, kau juga, Niko," Mama tersenyum hangat pada Marcell dan diriku, jemarinya dinaik-turunkan agar kami menuruti perintahnya untuk segera duduk. "Karena hari ini ada seseorang di antara kita yang berulang tahun, bagaimana kalau kita merayakannya bersama?"
Aku tersenyum lebar, menampilkan gigi-gigi putihku dengan senang. Aku tidak percaya kalau mama dapat memaafkan Marcell dengan sangat cepat, bahkan dia tidak marah sama sekali.
Benar-benar sosok 'Mama' yang sangat bijaksana, begitulah sifatnya, dia selalu baik hati pada setiap anak di sini walau kami selalu membuatnya kerepotan.
"Memangnya, siapa yang ulang tahun?" Liona bersuara dengan muka memerah, aku yakin kalau yang ulang tahun adalah,
"Liona Alberto, selamat ulang tahun, sayang."
Mama bangkit dari kursinya, melebarkan kedua tangannya, seolah-olah dia sedang memeluk kami semua, tapi kedua matanya lebih difokuskan pada Liona.
"Eh!? Me-memangnya aku ulang tahun ya?" Aku juga yakin kalau Liona berbohong soal itu, dia pasti sudah mengetahuinya sejak awal.
Menyenangkan sekali.
Karena Liona berulang tahun, kami semua berpesta, mama memberikan sebuah kue besar disertai lilin yang tertancap di permukaan kue tersebut, dia meletakkan kue itu di depan Liona.
Semua anak menyanyikan lagu ulang tahun dengan riang untuk Liona, semua orang begitu gembira, menari-nari, saling berpelukan, tertawa terbahak-bahak, bahkan saling mengejek, untuk yang bagian terakhir, hanya aku yang melakukannya.
Aku terus-terusan mengejek Liona berpacaran dengan Merki sampai mama mencubit pipiku dengan gemas, tidak terasa sakit, hanya saja, senyuman mama berhasil menghentikan ulahku, padahal aku suka memancing emosi Liona, karena menurutku itu sangat menyenangkan.
Setelah kulirik sejenak, aku sadar kalau Marcell tidak bersama kami, tapi aku tidak peduli. Aku terus melahap makanan yang ada di meja, bersenang-senang dengan teman-temanku, kelihatannya mereka juga tidak peduli pada Marcell.
"Anak-anak, bisa kita hentikan pestanya sejenak?"
Kami semua langsung menghentikan kegiatan masing-masing dan menoleh pada mama, apa yang membuat mama menghentikan pesta ulang tahun ini?
Sebelum kami semua bertanya pada mama, wanita itu lebih dulu bersuara yang akhirnya kami mendengarkannya.
"Apa kalian semua masih hafal motto panti asuhan ini?"
Aku mengernyitkan alis heran, tentu saja semua anak pasti mengingatnya. Liona juga sepertinya tidak mengerti mengapa mama menghentikan pestanya.
"Aku hafal! Aku hafal!"
Toni, seorang anak berusia tujuh tahun meloncat-loncat, berusaha mengunjuk diri agar dirinya lah yang diberikan kesempatan untuk mengucapkan motto panti asuhan Antaroza.
Mama berjalan pada Toni lalu mengelus kepalanya, seraya berkata, "Coba katakan, sayang."
"Motto panti asuhan ini adalah 'Berikanlah kesempatan pada semua orang', benar 'kan?"
Mama mengecup kening Toni karena merasa bangga anak itu masih mengingat motto panti asuhan ini, tentu saja, itu mudah, tapi untuk anak seusianya mungkin berbeda.
"Benar sekali, karena itulah, mari kita berikan kesempatan pada Marcell agar dia mau bergabung bersama kita lagi, bagaimana?"
Seketika, aku langsung memasang wajah kesal, Liona mendengus marah, dan Merki mengepal tangannya. Tapi, Toni malah menggenggam tangan mama lalu berkata,
"Mama, ayo kita ke kamar Marcell, aku tidak mau kita semua memusuhinya, dia baik padaku, dan juga pada semuanya, dia sering mengajarkanku matematika, aku juga sudah pandai menghafal abjad berkat Marcell."
Mama mengangguk, sepertinya dia setuju pada ungkapan Toni. Jujur saja, aku tidak mau berteman dengan orang yang sudah menyakiti hati mama, begitu juga dengan teman-temanku yang lain.
Liona juga terlihat risih jika mendengar nama Marcell, apalagi Merki, kelihatannya dia lebih tidak terima atas perlakuan lelaki berkaca mata itu pada mama.
Bisa kalian bayangkan bagaimana rasanya melihat ibu yang sudah membesarkan kalian dicurigai oleh saudara kalian sendiri? Tentu saja itu akan mengguncang emosi kalian, perasaan marah, kesal, risih dan geram pasti akan muncul secara alami.
"Liona, karena ini adalah pesta ulang tahunmu, apa kau mengizinkan Marcell untuk ikut merayakan ulang tahunmu?"
Kami semua langsung memandang Liona setelah mendengar pertanyaan dari mama, aku juga penasaran pada jawaban gadis itu.
"Eng ... aku rasa tidak masalah selagi dia bisa bersikap baik pada kita."
Liona memaksakan diri untuk tersenyum selagi dirinya membahas tentang Marcell.
"Kalau begitu, mari kita pergi ke kamar Marcell untuk mengajaknya berpesta?"
Kami semua mengangguk setuju mendengar intruksi mama, satu persatu dari kami meninggalkan kursi, berjalan menuju kamar yang dihuni oleh Marcell.
"Marcell, apa kau ada di dalam?"
Aku membuka pintu kamar Marcell, ternyata tidak terkunci, kepalaku kumunculkan dahulu, mendelak-delik mencari keberadaan lelaki berkaca mata itu.
Oh, ternyata Marcell sedang duduk di depan meja belajarnya, kelihatannya dia tengah menulis sesuatu di buku tulisnya, entah apa itu.
"Apa pestanya sudah berakhir?" tanya Marcell tanpa memutarkan badan untuk memandang lawan bicaranya, dia terus saja menggerakan tangan, menulis dengan sangat cepat di setiap halaman buku tersebut.
"Sebenarnya, pestanya belum selesai, kami datang ke sini untuk mengajakmu ikut bersama kami, tapi aku tidak memaksa."
Marcell langsung menoleh, menampilkan wajah dinginnya padaku, bola mata di balik kaca matanya seakan-akan menusukku.
"Aku pikir kalian akan bahagia tanpa diriku, tapi ternyata dugaanku salah?"
Marcell tersenyum kecut.
"Jadi, apa maumu?"
Aku sudah geram, semua anak yang ada di pintu pun tegang melihat situasi perang dinginku dengan Marcell. Mereka tidak berani masuk karena mama memerintahkan bahwa aku saja yang membujuk Marcell.
"Mama," Marcell berjalan melewatiku, dia menekan kaca matanya dan mendekati mama yang sedang berdiri di dekat pintu. "Aku ingin bertanya, apakah kami diperbolehkan untuk jalan-jalan keluar dari gerbang sebentar saja?"
Mama tersenyum lembut mendengarnya.
"Mama," Marcell berjalan melewatiku, dia menekan kaca matanya dan mendekati mama yang sedang berdiri di dekat pintu. "Aku ingin bertanya, apakah kami diperbolehkan untuk jalan-jalan keluar dari gerbang sebentar saja?"
Mama tersenyum lembut mendengarnya.
"Marcell," Mama mulai menimpali pertanyaan dari Marcell dengan nada yang menekan. "Seperti yang kemarin kuperingati, dunia luar adalah tempat yang sangat berbahaya bagi anak-anak seusia kalian, kumohon, hentikanlah pemberontakan ini, Marcell."
Marcell mendengus sebal, rupanya dia masih belum puas untuk mempermalukan mama, rasa-rasanya aku ingin memukul kepalanya hingga benjol. Aku gemas sekali melihat tingkahnya, Liona juga kelihatannya sedang menggigit-gigit jemarinya, dan Merki terlihat meneguk ludah kesal.
Sementara itu, Toni malah berlari mendekati Marcell dengan mata yang berkaca-kaca, dia langsung memeluk kedua kaki lelaki berkaca mata itu sangat erat.
"Marcell, apa yang membuatmu berpikir kalau Mama itu seorang pembunuh?"
Liona yang sebelumnya berada di luar langsung melangkahkan kakiknya untuk masuk, dia juga sudah tidak tahan atas sikap Marcell yang begitu menyebalkan.
Marcell menoleh pada Liona, dia terus menatap mata gadis pirang itu dengan tersenyum.
"Maaf, tapi aku tidak ada urusan dengan gadis manja sepertimu."
Mendengar jawaban pedas Marcell berhasil membuat Liona terbelalak, dia terkejut lelaki yang dulu dikaguminya telah meremas hatinya sampai berkeping-keping.
Kata-kata. Itulah senjata pamungkas yang dimiliki oleh Marcell, dulu, dia pernah mengalahkan puluhan orang dewasa yang menertawakannya menggunakan perkataan tajamnya.
Marcell memang memiliki fisik yang terlihat lemah, badannya kurus, keseimbangan tubuhnya pun sangat kurang, tapi dia memiliki otak yang super cerdas, jika diandai-andai, mungkin dia itu seperti komputer berjalan, karena dia memang memiliki pengetahuan yang begitu luas dari semua anak Antaroza.
Tapi, namanya juga manusia, setiap kelebihan, pasti akan ada kekurangan. Dan kekurangan yang dimiliki oleh Marcell, seperti yang kubilang tadi, adalah tubuhnya yang lemah.
"Ah, sepertinya sudah pukul 8, kalau begitu, mari kita pergi ke ruang belajar, waktunya sekolah, anak-anak."
Mama mencoba mengajak anak-anak berusia dibawah 11 tahun untuk pergi dari kamar Marcell, sepertinya mama tahu kalau pembicaraan ini sudah tidak layak untuk didengarkan oleh bocah seumuran mereka.
Alhasil, karena mama dan anak-anak yang lainnya sudah menghilang dari depan kamar Marcell, di sini hanya tersisa lima orang saja, yaitu aku, Liona, Merki, Susy dan si penghuni kamar.
Susy seorang gadis pendiam yang memiliki rambut berwarna putih seperti awan, dia juga mempunyai bola mata sebiru laut dan bibir semanis madu, tapi sayangnya, dia tidak pandai bersosialisasi.
"Kalian tidak ikut belajar bersama mereka?" Marcell tersenyum dingin pada kami, aku sudah muak dengan wajahnya itu, dia benar-benar bukan orang yang kukenal dulu.
Padahal sebelumnya, tingkahnya itu sangat sopan pada setiap orang, terutama mama, bahkan, dia juga pernah menjadi anak kesayangan mama. Tapi kenapa dia malah menjadi tukang pemberontak, bahkan dia juga menuduh mama seorang pembunuh, apa mungkin otak cerdasnya sudah rusak?
"Hey, Marcell, beritahu kami," Merki menyenderkan punggungnya di tembok dengan tangan dilipatkan di d**a, dan kedua mata terpejam sempurna. "Kenapa kau bisa mencurigai Mama hingga seperti ini?"
Marcell tersenyum tipis mendengarnya, terkadang, aku ingin memukulnya jika dia sedang senyam-senyum seperti itu, karena terlihat menjengkelkan sekali.
"Apa untungnya bagiku memberitahu kalian?"
Kata-kata Marcell sangat sadis, membuat kami berempat terkaget mendengarnya, seolah-olah, dia itu seorang pendekar yang meremehkan lawan-lawannya.
"Baiklah, aku mengerti," Merki masih menutup kelopak matanya, tentu saja, selain Marcell, ada satu orang yang memiliki kelebihan yang hampir setara dengan lelaki berkaca mata itu. "Untuk orang sepertimu, keuntungan adalah hal yang harus diutamakan, kalau begitu, biarkan kami mendengarkan alasanmu mencurigai mama, jika alasanmu itu berhasil membuat kami percaya, kami dengan senang hati akan membantumu, tapi jika tidak,"
"Kalian akan menyiksaku, bukan?"
Marcell langsung melanjutkan kalimat yang diucapkan oleh Merki dengan senyuman dingin.
Ya, seperti yang kalian dengar, jika Marcell menguasai berbagai kata untuk menindas dan menyerang lawannya, berbeda dengan Merki, dia lebih suka mengamati kepribadian lawannya menggunakan pendengarannya, aneh bukan? Begitulah Merki, di saat matanya terpejam, fungsi telinganya akan meningkat pesat, seakan-akan dia bisa melihat kepribadian lawannya tanpa membuka matanya atau pun mendekripsikannya.
Dia punya pendengaran yang lebih bagus dari semua hewan, itulah temanku, Merki.
"Sekarang, apa kau mau memberikan penjelasan pada kami, Marcell?"
"Sepertinya dengan keuntungan yang kalian sebutkan tidak buruk juga, aku lumayan tertarik jika Niko, Liona, Susy dan kau membantuku dalam mengurusi gerak-gerik Mama," Marcell kembali duduk di kursi belajarnya, dia memutarkan kursi itu untuk menghadap kami, lalu mulai menjelaskan alasannya mengapa dia bisa mencurigai mama, cukup panjang, memakan waktu beberapa menit dan akhirnya kami mengerti.
"Ti-tidak mungkin!" Susy tiba-tiba memekik ketakutan, baru kali ini aku mendengar suaranya, ternyata dia memiliki suara yang mirip seperti mama, namun agak gugup.
"Aku paham, tapi apakah kau punya buktinya?" Merki masih ada di tembok, memejamkan matanya dengan tenang.
"Untuk sekarang, aku belum bisa membuktikan apa pun, tapi kalian harus memegang janji itu, bahwa kalian harus membantuku dalam mengamati Mama."
Jadi begitu ya, alasan kenapa Marcell mencurigai mama berawal dari kepergian Kitara, teman seumuran kami, dia sudah pergi seminggu yang lalu karena usianya sudah mencapai lima belas tahun. Saat Kitara di bawa oleh mama untuk menemui keluarga asing yang akan menampungnya, Marcell mengikuti mereka dari belakang, mengendap-endap hingga akhirnya dia berhasil keluar dari gerbang.
Berdasarkan penjelasan dari Marcell, suasana di luar gerbang sangat gelap dan penuh dengan lorong, seakan-akan kau masuk ke dalam terowongan panjang yang mengerikan.
Marcell masih mengikuti mama dan Kitara, dan akhirnya mereka sampai di sebuah truk yang ada di tepi terowongan. Menurut Marcell, dia melihat mama menyuntikan jarum pada leher Kitara sehingga gadis itu pingsan, kemudian bagian yang mengejutkan telah tiba, seorang monster yang memiliki penampilan bak manusia berkepala buaya keluar dari truk untuk meminta Kitara menjadi miliknya.
Mama mengangguk dan memberikan Kitara pada monster itu, dan monster berkepala buaya yang juga memiliki aroma bangkai itu memberikan sejumlah uang kepada mama.
"Tapi, mengapa Mama melakukan hal kejam seperti itu! Sialan!?" Aku langsung mencengkram kerah baju Marcell disertai mata yang menahan keluarnya air mata.
Tentu saja aku masih belum mempercayai omongan Marcell tanpa bukti, tapi mendengar penjelasan itu, entah kenapa, membuatku ingin menghajar wajah monster yang membawa Kitara.
"Niko! Kendalikan dirimu!" Liona memisahkanku dengan Marcell, gadis itu menarik tubuhku untuk menjauh dari lelaki berkaca mata tersebut. "Maaf, Marcell, aku masih belum percaya pada penjelasanmu, jadi janji kami yang bersedia untuk membantu misi anehmu itu tidak akan kami penuhi."
☆☆☆
Keesokan harinya, dentuman lonceng kembali terdengar, tapi entah kenapa, aku sedang malas keluar kamar untuk sarapan.
Pikiranku masih terombang-ambing mengingat cerita yang dikatakan oleh Marcell kemarin. Aku masih tidak rela Kitara diberikan pada monster berkepala buaya itu, kedengarannya memang tidak masuk akal, tapi sorot mata Marcell saat menceritakan hal itu bukanlah pancaran mata kebohongan.
"Kitara ...," Aku juga masih mengingat gadis berambut hitam bergelombang itu yang dulu selalu mengajariku menggambar komik, dia memang pandai menggambar, bahkan tanpa melihat objek yang dia gambar pun, Kitara mampu menggambarnya dengan hasil yang bagus. "Hey, Kitara, kau pernah berjanji padaku 'kan? Suatu saat kau akan mengunjungi Antaroza dengan keluarga barumu 'kan? Kira-kira, kapan kau datang ke sini, padahal baru seminggu kau pergi, tapi aku sangat merindukanmu, Kitara."