Bab 42

1965 Kata
Washington, D.C (US) “Wilayah Washington, D.C yang diperkirakan aman dari gelombang dingin ternyata juga terkena imbas dari badai es yang menerpa Manhattan. Beberapa wilayah di Washington, D.C diterpa oleh angin dingin, bahkan di beberapa tempat ditemukan bongkahan es yang terbawa oleh angin. Seluruh warga diharapkan tetap tenang dan tidak meninggalkan rumah untuk beberapa waktu ke depan” Charlotte mendengarkan siaran berita yang sedang menayangkan keadaan Washington, D.C selama beberapa jam belakangan ini. Tidak ada kerusakan serius yang disebabkan oleh gelombang angin dingin yang beberapa waktu lalu menerpa Washington, D.C, tapi suhu udara di wilayah ini semakin menurun dengan drastis. Berulang kali Charlotte mengambil selimut tambahan untuk membungkus tubuhnya yang mulai kedinginan, tapi ternyata lapisan selimut tidak banyak membantu. “Apakah ada kabar dari Alfred? Aku khawatir padanya..” Kata Charlotte dengan pelan. “Terima kasih..” Kata Hugo sambil menerima segelas kopi yang Charlotte buat beberapa saat lalu. Bukan hanya untuk Hugo, Charlotte juga membuat kopi untuk Austin yang tampak sangat sibuk dengan layar komputernya. Pria itu terus mengamati hasil foto satelit yang sedang menampilkan wilayah San Fransisco. Kebekuan total sudah menerpa wilayah tersebut, menurut berita yang beredar, ada banyak warga San Fransisco yang masih hidup karena mereka mengurung diri di dalam rumah, tapi kemungkinan besar mereka akan lebih banyak menemukan mayat daripada manusia hidup. Kenyataan tersebut memang sangat sulit untuk diterima, tapi bencana ini sungguh tidak terduga sebelumnya. Tidak ada yang tahu jika benua Amerika akan ditutupi oleh salju, bahkan San Fransisco dan Manhattan sudah dipastikan membeku karena diterpa gelombang dingin. Di akhir tahun, apalagi saat menjelang natal, salju memang biasa turun di berbagai wilayah yang ada di belahan dunia. Tapi kali ini hujan salju turun lebih lebat dari biasanya. Charlotte tidak bisa memungkiri jika dia merasa sangat kedinginan padahal ia berada jauh dari pusat kebekuan di Manhattan. “Aku membuatkan kopi untukmu..” Kata Charlotte sambil memberikan segelas kopi di samping meja komputer Austin. “Terima kasih.” Jawab Austin tanpa mengalihkan tatapannya dari komputer. “Beberapa warga yang memberikan signal darurat melalui pemancar radio di wilayah San Fransisco kini sudah berhasil dievakuasi. Suhu perlahan mulai naik sehingga proses evakuasi akan mulai dilakukan besok pagi. Meskipun begitu, sampai saat ini masih belum bisa diperkirakan berapa banyak orang yang mampu bertahan hidup di wilayah San Fransisco. Tenda darurat dan juga tempat pengungsian di perbatasan kota ikut diterpa oleh gelombang dingin sehingga semua orang yang berada di tempat tersebut ditemukan tewas karena hipotermia..” “Oh Tuhan, ini sangat buruk..” Charlotte menutup mulutnya dengan tidak percaya. Tenda darurat dan tempat pengungsian justru menjadi tempat terbanyak penemuan mayat yang telah kaku karena membeku. Sejak pagi, Charlotte terus mendengarkan kabar buruk dari wilayah San Fransisco, semoga saja dia tidak lagi mendengar kabar buruk di sisa harinya. “Pemerintah mengambil keputusan bodoh, lihatlah berapa juta manusia yang mati sia-sia karena mengikuti peraturan pemerintah. Negara ini dipandang tinggi oleh negara lain, tapi sistem pemerintahannya tidak jauh berbeda dari negara yang baru saja mendeklarasikan kemerdekaan..” Kata Hugo. Charlotte melangkahkan kakinya ke arah jendela. Dia melihat jalan yang sudah dipenuhi oleh salju. Biasanya Charlotte akan memasak sup setiap kali salju turun. Charlotte tidak pandai memasak, jadi dia melihat resep dari internet. Sering kali Charlotte melupakan beberapa komponen penting seperti garam dan gula sehingga akhirnya hasil masakannya terasa sangat aneh. Meski begitu Alfred akan tetap mengapresiasi usahanya, tidak pernah sekalipun pria itu menolak masalah Charlotte yang kadang terasa tidak enak. Alfred menghargai setiap usaha yang Charlotte lakukan. Bukan hanya memperhatikan jalan raya, Charlotte juga menatap ke arah langit yang tampak sangat gelap padahal sekarang masih siang hari. Natal tinggal satu pekan lagi, tapi tidak ada hiasan lampu warna-warni yang dipasang di sepanjang jalan. Tidak ada pohon natal yang dihias dengan lampu kristal yang indah, juga tidak ada toko penjual kue kering yang biasanya diserbu oleh pengunjung. Kota ini terlihat seperti kota mati yang kehilangan penduduk dalam waktu yang sangat singkat. Washington, D.C terasa sangat sunyi. “Temukan saja akar masalah dari semua ini, jangan mengkritik pemerintah secara berlebihan. Mereka melakukan kesalahan, sepertinya mereka sudah sangat menyesal..” Kata Austin. “Pemerintah tidak sadar jika mereka melakukan kesalahan. Sepertinya memang tidak ada yang peduli dengan nyawa jutaan orang di San Fransisco yang melayang karena kesalahan pemerintah. Kita masih belum mendengar kabar dari New York. Aku yakin besok televisi akan dipenuhi oleh berita yang menayangkan jumlah korban di Manhattan..” Kata Hugo. Charlotte memejamkan matanya dengan perlahan. Berapapun banyaknya jumlah korban yang meninggal karena badai di wilayah Manhattan, Charlotte berharap tidak ada nama Alfred di dalam daftar tersebut. Semenjak bertemu dengan Alfred, Charlotte sadar jika ada banyak perubahan di dalam hidupnya. Pria itu tidak pernah mengatakan kata cinta, juga tidak pernah menciptakan suasana romantis layaknya pasangan pada umumnya, tapi Charlotte sadar jika dia tidak sanggup kehilangan Alfred. Tidak, Charlotte tidak perlu memikirkan hal tidak jelas seperti ini. Alfred akan kembali dengan selamat. Bukan hanya Alfred, tapi Felix dan Aurora juga akan ikut bersama dengan pria itu. “Charlotte!” Charlotte tidak tahu apa yang akan terjadi jika Aurora bertemu dengannya, tapi Charlotte berjanji akan membuat Aurora merasa nyaman di tempat ini. “Charlotte!” Charlotte menolehkan kepalanya dengan gerakan terkejut. Dia menatap Hugo yang juga sedang menatapnya dengan kebingungan. “Apa yang kau lakukan? Kau membuatku terkejut!” Charlotte memukul bahu Hugo dengan kesal. “Ada sesuatu yang... yang harus kukatakan kepadamu..” Jantung Charlotte berdetak dengan kencang ketika dia mendengar suara serius Hugo. “Ada apa?” Tanya Charlotte. *** “Maaf karena aku yang harus menyampaikan semua ini kepadamu..” Kata Charlotte dengan suara pelan. Tangannya menggenggam gagang telepon dengan sangat erat. Charlotte tidak bisa memungkiri jika saat ini dia sangat gugup. Berulang kali Charlotte menolehkan kepalanya ke arah Hugo yang tampak penasaran, tapi seperti biasanya Hugo akan langsung membuang muka ketika Charlotte menatapnya. Berbeda dengan Hugo, Austin justru terlihat sangat santai. Bukan santai, pria itu sama sekali tidak tertarik untuk mengetahui apa yang sedang Charlotte bicarakan. “Katakan..” Suara wanita yang berada di ujung telepon kembali terdengar. “Beberapa jam lalu aku sudah menghubungi Alfred. Dia mengatakan jika mobilnya berhenti bergerak karena mesin dan bensinnya membeku. Alfred sedang berada di rumah sakit yang jaraknya tidak terlalu jauh dari hotel tempat Aurora menginap. Di sana terjadi badai es sehingga Alfred tidak bisa datang menemui Aurora..” “Dia tidak menemui Aurora?” Charlotte menganggukkan kepalanya dengan kaku. “Ya, dia tidak bisa menemui Aurora dalam waktu dekat ini” Aurora akhirnya bersuara ketika dia dia menyadari jika telepon suara tidak akan bisa menyampaikan anggukan kepalanya. “Alfred mengatakan jika dia sudah berhasil menghubungi Aurora. Dia akan segera menemui Aurora setelah badai berhenti..” Kata Charlotte dengan tenang. Tatapan mata Charlotte terarah pada sebuah foto yang terpasang di meja kerja Alfred. Senyuman manis seorang anak perempuan berusia 12 tahun selalu menjadi penyemangat Alfred ketika dia sedang melakukan penelitian yang sulit. Satu-satunya foto yang Alfred pasang di meja kerjanya adalah foto Aurora. Di apartemen mereka, Alfred juga mencetak foto Aurora berukuran besar sehingga siapapun yang melewati ruangan tengah akan langsung menatap ke arah foto Aurora. Charlotte tidak pernah keberatan jika Alfred mendekorasi meja kerjanya dengan foto Aurora, Charlotte justru merasa sanggat bangga kepada pria itu. “Dia kembali berbohong. Seharusnya Alfred tidak berhenti mencari Aurora. Dia adalah pria pembohong yang tidak akan pernah bisa berubah!” Charlotte menjauhkan gagang telepon dari telinganya. Teriakan Abigail membuat Charlotte sedikit terkejut. Entah berapa kali Charlotte berusaha meyakinkan dirinya sendiri jika dia memang benar-benar berbicara dengan Abigail, mantan istri Alfred. Sampai saat ini Charlotte masih tidak percaya jika mereka akhirnya bisa saling berbicara. Ya, walaupun Abigail tentu tidak tahu jika dia sedang berbicara dengan kekasih dari mantan suaminya. “Dia akan segera menemukannya..” Kata Charlotte dengan pelan. “Seharusnya aku tidak mempercayainya! Dia seorang ayah yang buruk, dia tidak akan mau mempertaruhkan hidupnya untuk menemukan Aurora!” “Dia melakukannya! Dia mempertaruhkan hidupnya dan kau masih berusaha untuk mencari kesalahannya?!” Charlotte menjawab dengan suara keras. Napasnya berhembus dengan tidak teratur. Charlotte juga merasakan emosi yang meluap dari dalam hatinya. Dia bisa menerima setiap kalimat hinaan yang dikatakan oleh Abigail. Entah kenapa Charlotte tidak bisa menahan dirinya sendiri.. “Kau tidak mengenalnya! Dia pasti memilih untuk kembali pulang—” “Lalu apakah kau mengenalnya? Apakah kau mengenal bagaimana Alfred?” Charlotte kembali memotong kalimat Abigail. Mata Charlotte terpejam untuk sesaat ketika dia menyadari kegilaannya. Dia membentak Abigail? Oh Tuhan, dia pasti sudah gila. Selama ini Alfred selalu diam setiap dia mendapatkan kalimat kasar dari Abigail. Charlotte tahu segalanya sekalipun Alfred sangat jarang menceritakan kehidupan rumah tangganya di masa lalu, dia tahu jika Alfred adalah tipe pria yang akan memilih diam daripada membuat keributan dan menimbulkan luka di hati putrinya. Atas segala hal yang terjadi dalam hidupnya, Alfred selalu mengutamakan putrinya. “Siapa kau?!” Charlotte tertawa pelan. Haruskah dia mengatakan dengan suara lantang jika dia adalah kekasih Alfred? Sambil menghembuskan napasnya, Charlotte berusaha untuk kembali menguasai emosinya. Charlotte seharusnya sadar jika Abigail hanyalah seorang wanita yang sedang khawatir pada keadaan putrinya. “Kita sedang membicarakan Aurora, bukan? Jadi tidak perlu membahas hal lainnya..” Kata Charlotte dengan suara yang kembali tenang. “Kekasihnya?” “Apakah itu penting? Bukankah aku sudah memberi tahu semua informasi yang kuketahui mengenai Aurora dan Alfred. Jadi, bisakah kututup sambungan telepon ini? Ada banyak orang yang terus menghubungi kantor kami untuk meminta kejelasan dari hasil penelitian Profesor Alfred Bernadius” Charlotte berbicara dengan suara setenang mungkin. “Kau kekasihnya?” Apakah Abigail adalah tipe wanita yang membenci mantan pasangannya tapi tetap ingin tahu mengenai kehidupan mantan suaminya? Charlotte tersenyum lalu menutup sambungan telepon secara sepihak. Dia cukup terkejut dengan apa yang baru saja ia lakukan. Menutup sambungan telepon tanpa persetujuan adalah hal yang tidak pernah Charlotte lakukan sebelumnya. Sejak awal pembicaraan, Charlotte berusaha untuk berbicara dengan sopan. Tidak ada informasi yang Charlotte lebih-lebihkan, tapi dia juga tidak mengurangi satupun informasi yang ia ketahui. Sayang sekali Abigail memberikan respon yang cukup buruk, Charlotte merasa kecewa karena wanita itu menghina Alfred. “Kau ingin menghubunginya, bukan? Sekarang justru kau terlihat sangat kesal..” Kata Hugo. “Ternyata dia wanita yang cukup menyebalkan. Pantas saja Alfred selalu menolak setiap kali aku memintanya menghubungi ibunya Aurora..” Kata Charlotte sambil menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. “Kau meminta Alfred menghubungi mantan istrinya? Apakah kau sudah gila?” Tanya Hugo. “Apakah kalian bisa berhenti membicarakan hal yang tidak berguna? Aku sudah mengatakan kepadamu untuk segera membuat salinan gerakan udara di atas New York untuk mengajukan laporan kepada pemerintah!” “Maafkan aku..” Charlotte berbicara sambil menundukkan kepalanya. “Pemerintah tidak membuka salinan laporan yang aku kirimkan sejak satu jam yang lalu. Apakah kau pikir mereka mau mendengarkan kita? Mereka membuat keputusan mereka sendiri!” Kata Hugo. “Alfred meminta kita tetap bekerja untuk membuat perubahan, Hugo! Ada banyak orang yang sedang berharap pada hasil penelitian yang kita buat!” Kata Austin. Charlotte mulai merasa tidak nyaman. Sepertinya dia harus keluar dari kantor ini agar Hugo dan Austin bisa bekerja dengan tenang. “Bukan salahku jika pemerintah tidak mau membuka salinan laporan yang kukirim!” “Hei, jangan berdebat.. Kurasa sebaiknya aku keluar dari ruangan ini agar kalian bisa lebih konsentrasi saat bekerja..” Kata Charlotte dengan tenang. Dia menatap Hugo yang tampak emosi, juga menatap ke arah Austin yang tetap terlihat serius saat mengamati foto-foto satelit wilayah San Fransisco. “Kau tahu jika tidak ada tempat lain yang bersedia menampungmu. Jalan raya ditutup, kau akan pergi kemana?” Tanya Hugo. Charlotte menghentikan langkahnya dan memikirkan jawaban yang tepat atas pertanyaan yang diajukan oleh Hugo. “Aku akan menunggu di luar—” “Aku tidak mengusirmu, Charlotte. Tetaplah berada di sini..” Kata Austin. Charlotte menarik napasnya dengan pelan. Berbicara dengan Austin terasa sama seperti berbicara dengan Alfred. Mereka terlalu serius sehingga membuat orang lain bingung harus bersikap seperti apa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN