Episode 6

2069 Kata
Sebuah Perkotaan Tua, Malam Hari. Aku ada di sudut kota, menikmati tiap lampu gemerlapan yang menempel di tiap-tiap dinding gedung. Hanya aku yang ada di sini sekarang, tanpa ditemani oleh siapa pun berdiam diri di sana. Melihat genangan ombak yang gelap dan juga berdesir dengan panjang. Namun yang terpenting, aku tak tahu apa alasanku berada di tempat ini saat ini. Pria dengan bertopi fedora itu, membuka topinya di hadapanku. Memperlihatkan rambut pirangnya yang benar-benar menawan sekaligus cocok dengan mukanya sekarang. Aku teringat dengan pria itu, dia adalah orang yang kutemui sebelumnya di dalam mimpi! Ingatanku kembali sekarang, aku sedang berada di dunia mimpi saat ini! “Kenapa Nona? Kenapa kau bertindak sangat kaget saat melihatku sekarang? Apakah aku terlihat seperti hantu atau monster mengerikan bagimu? Karena jika iya, kumohon maafkan aku. Bukan maksudku untuk duduk di sini dan juga menakut-nakutimu. Aku hanya ingin untuk menemanimu di satu malam ini saja.” ucapnya dengan mulut manis entah mengandung racun atau tidak. Tapi sungguh dia benar-benar sulit untuk dilupakan dengan raut wajah tampannya. “Hentikan! Aku mengingat siapa dirimu sekarang! Bagaimana kau bisa masuk ke dalam mimpiku! Apa yang kau inginkan dariku sebenarnya! Kenapa kau datang lagi ke dalam mimpiku sekarang!” Tanyaku dengan keras sampai berteriak-teriak walaupun aku yakin tidak akan ada yang menyahutiku ataupun terganggu dengan ucapanku. Karena memang hanya ada kami berdua di sini sekarang. “Ohh... kau sudah mengingat diriku? Kalau begitu, biar kutanya kepadamu. Siapa diriku?” balik tanyanya kepadaku sekarang. Aku hanya diam, sepertinya ucapanku salah untuk memergokinya. “Tidak! Bukan itu yang kumaksud! Aku mengenalmu! Kau adalah orang yang kemarin masuk ke dalam mimpiku! Tapi, bagaimana mungkin ini terjadi? Kau pasti bukan orang biasa, kau tidak mungkin bisa masuk ke dalam mimpi orang-orang dengan seenaknya seperti itu! Katakan kepadaku. Siapa dirimu yang sebenarnya!” Ucapku kepada pria itu dengan raut wajahnya yang selalu tersenyum meskipun kubentak. “Haha... Sabrina. Kau memang wanita yang benar-benar sudah kuduga akan berkata seperti itu. Ternyata pilihanku memang tepat, kau memang benar-benar mirip seperti dia.” Ucap pria itu kepadaku. Aku melangkahkan kakiku untuk mundur perlahan-lahan, tak paham apa yang baru saja dia ucapkan. Aku, bahkan sama sekali belum pernah memperkenalkan diriku sendiri kepadanya. Tapi bagaimana mungkin dia dapat mengenalku dengan semudah itu? Mantra sihir apa yang telah ia gunakan sampai bisa masuk ke dalam dunia mimpi yang seharusnya tak bisa dijamah oleh siapa-siapa di sini? “Tidak, tidak mungkin mundurlah. Mundur! Keberadaanmu di sini hanya akan bertambah buruk. Aku ingin pulang! Otak! Tolong bangunkanlah kepalaku sekarang! Aku ingin bangun dari mimpi buruk ini sekarang! Aku perlahan-lahan mungkin akan menjadi gila saat berada di tempat ini sekarang juga!” Ucapku kepada langit dan juga bintang-bintang di atas sana. Aku tahu kalau ini hanyalah sebuah mimpi belaka. Pria itu kemudian duduk kembali di bangkunya, menaruh topinya kembali ke atas kepalanya membuatnya menjadi sangat rapi dan juga bagus. Mungkin dia tak ingin untuk menyakiti hatiku sekarang, makanya sampai berbuat seperit itu. Tapi tetap saja, aku masih ingin tetap keluar dari mimpi buruk ini. “Maaf Sabrina jika aku menakutimu. Tapi sungguh, aku ingin menemanimu, di dalam malam kelabu ini”. Aku mendekati pria itu, memegang kedua kain di bahunya erat-erat. Aku berteriak di depan mukanya dan berkata, “Hei! Kau ingin menemaniku bukan? Bisakah kau membantuku? Untuk keluar dari tempat dimana pun aku berada sekarang? Aku tidak ingin menjadi gila dan juga tidak waras sekarang inI!” Pintaku kepadanya dengan sangat entengnya. “Baiklah, aku akan membantumu. Tapi untuk pulang, aku tidak bisa menjawab apakah aku bisa melakukannya atau tidak. Kau pikir, kemana rumah yang kau maksud itu sebenarnya? Apakah rumah tempatmu tinggal dan juga dibesarkan? Rumah tempatmu mendapatkan rezeki dan juga dirimu bahagia? Atau rumah tempatmu tidur dan beristirahat melenyapkan semua keraguan di dunia? Rumah yang mana?” “Mana saja, yang penting, aku bisa pulang dan menjauh dari dirimu.” Ucapku kepadanya. Pria itu bahkan tidak mencoba untuk melepaskan cengkraman tanganku yang kusadari semakin lama semakin keras seperti mencoba untuk mencekiknya. Jika saja dia manusia biasa, mungkin dia akan mati karena menahan rasa sakit dan napas selama itu sekarang. Namun sudah kuduga, dia bukan manusia. “Ah... rumah tempat dimana kau bisa bersantai dengan nyaman ya, Tapi begini, bagaimana biar kukatakan kepadamu. Kalau semua rumah yang kau sebutkan itu, ada di sini sekarang. Kenyamanan, kedamaian, ketertiban, semuanya ada di sini. Hanya tergantung perspektif dimana kau harus melihatnya.” Ucapnya lagi dengan mudahnya. Kalimatnya seperti mengandung kata-kata filosofis yang aku tak bisa pahami. Aku pun secara reflek memeluk pria itu. Bersandar di dadanya seraya menangis dengan hebat membasahi baju trench coat yang ia kenakan sekarang. “Ini tidak terasa adil bukan... Kau seperti mengerti semua hal tentang diriku. Namun aku tidak mengerti apa-apa sama sekali tentang dirimu. Aku bahkan tak tahu kalau kau ini adalah manusia asli atau bukan. Kumohon... katakan siapa dirimu yang sebenarnya.” Ucapku sambil menangis tersedu-sedu sekarang. Pria itu kemudian membalas pelukanku dengan erat. Terus saja tangisan itu keluar dari mataku, walaupun sebenarnya aku sendiri tak tahu kenapa aku menangis seperti sekarang. Aku merasa kalau aku menjadi orang yang benar-benar cengeng, mudah menangis akan suatu perkara yang jika dilihat oleh orang lain sama sekali tidak menyedihkan. Apa yang sebenarnya aku lakukan di tempat ini sampai seperti ini? Pikiranku benar-benar kacau tak teratur ataupun tersusun sekarang. “Jangan khawatir, menangislah sebanyak atau pun sederas yang kau mau. Aku tahu kau pasti mengalami hari yang berat tadi. Jika kau mau, jadikanlah diriku tempat tersandar sampai beban yang ada di hatimu terasa ringan ataupun terangkat dengan sendirinya sekarang. Dan entah kenapa, saat aku memeluknya memang benar-benar terasa hangat dan juga ringan di kepalaku. “Memangnya, kau tahu apa soal hari-hari yang telah kulalui? Kau tidak tahu apa-apa soal diriku! Kau hanya tahu kulit dan juga diriku dari luar! Tanpa tahu apa-apa yang sebenarnya soal diriku.” “Ayolah Sabrina, aku tidak ingin kita memulai sebuah pertarungan adu argumen sekarang. Apa kau memang ingin benar-benar menganggap kalau aku adalah seorang penguntit?” jawabnya. Aku bahkan sama sekali tak berharap kalau dia mengatakan itu sekarang. “Aku hanya tahu apa yang sedang kau keluhkan, kau pikirkan, dan kau khawatirkan. Aku tak ingin menyebutnya, namun aku ingin kau percaya akan nasehat yang akan kuberikan kepadamu. Jangan khawatir dengan sesuatu yang terjadi di masa depan. Karena segala sesuatu yang akan terjadi di sana, tidak akan terjadi bila kau melakukan sesuatu di masa kini. Fokuslah terhadap apa yang bisa membuatmu bahagia”. Pria ini, seperti benar-benar mencoba untuk membaca pikiranku sekarang, tapi tentu saja aku tahu kalau yang dikatakannya mungkin hanyalah sebuah manipulasi kata-kata yang biasa sering disebutkan oleh laki-laki kepadaku. Aku tak tahu kenapa dia menyebut itu kepadaku. “Hei, kenapa kau selalu menolak saat aku bertanya siapa dirimu? Apakah kau memang seseorang yang ada di dunia nyata? Atau kau hanyalah seorang yang muncul karena imajinasiku saja? Atau aku hanya kebetulan bertemu dengan dirimu secara dua kali di dalam mimpi ini?” tanyaku kepada pria itu. Di dalam pelukannya, dia malah menjitak kepalaku, sambil tertawa tergelak terbahak-bahak. Jitakannya terasa benar-benar sakit, seperit manusia asli. Dan jika dia adalah sesuatu yang lain, tak mungkin hantu bisa menghasilkan jitakan yang benar-benar sakit seperti itu. “Biar kutanya kepadamu, apakah jika aku menyebutkan namaku kepadamu, itu semua akan menyelesaikan masalahmu?” “Tidak, tidak ada masalah yang akan kau selesaikan jika kau menyebutkan namaku. Tapi aku masih tak tahu apa tujuanmu berada di tempat ini bersamaku sekarang. Kau tahu, pertama kali aku bertemu denganmu, aku benar-benar merasa kagum sekaligus terkesan dengan ketampananmu. Tapi kemudian aku tersadar kalau kau hanyalah sebuah mimpi, sebuah angan-angan. Dan pertemuan kedua, aku benar-benar takut melihat wajah rupawanmu, wajah yang tidak pernah aku bisa temui di dunia nyata. Dan sekarang, pelukanmu benar-benar terasa hangat. Aku tak tahu apa yang kurasakan tentangmu sekarang”. “Kalau begitu, kenapa kau tidak anggap pertemuan kita saat ini sama seperti pertemuan pertama kau melihatku? Bukankah aku cukup tampan sampai membuatmu benar-benar terkesima di sana?” Tanya pria itu kepadanya. “Dan juga, aku mungkin tak akan kemana-mana sekarang. Aku mempunyai waktu yang luang untuk bisa selalu bersama denganmu di sini.” “Tidak, kau tidaklah selamanya,” Ujarku kepadanya. Karena memang benar, dia tidak akan bisa selalu bersama denganku. “Kau hanyalah butiran-butiran memori, bunga mimpi, dan juga sisa-sisa debu mimpi ataupun otak yang perlu dihapuskan. Jika aku menyimpanmu terlalu lama di sini, maka aku takut jika diriku di dunia nyata tidak akan mampu untuk melupakanmu. Kau tidak akan bisa bersamaku di sana”. “Ya... Mungkin memang sesuatu seperti itu terjadi, aku sudah tahu tentang itu kok. Tentang dunia kita yang benar-benar berbeda. Aku mungkin adalah salah satu makhluk yang telah kau sebutkan tadi, namun bisa juga tidak.” Pria itu melemparkan pernyataan-pernyataan ambigu yang malah membuatku menjadi semakin pusing dan juga tidak bisa berpikir sekarang. “Tapi yang jelas Sabrina, selama kau berada di sini, aku akan selalu menjadi pelindung, pendengar, dan juga suatu hal yang tidak akan pernah kau miliki di dunia nyata.” Sambung pria itu. Dilanjutkan olehnya melepaskan pelukanku, pergi beranjak dari kursi itu seperti akan hendak melakukan sesuatu sekarang. “Kata-katamu soal sebelumnya, soal kau tidak akan meninggalkanku, kenapa kau melakukannya? Kenapa kau melakukan ini semua? Aku bahkan tidak mengenalmu, apakah kau hanya mencoba untuk melindungiku dengan buta mengingat aku hanyalah seorang perempuan di sini? Apa yang ingin kau buktikan dariku?” Ucapku dengan tanda tanya besar di kepala. Pria itu memakai topinya kembali sekarang. Berniat untuk beranjak dari kursi dan juga tempatnya tinggal sekarang. Dia seperti mencoba untuk menghindariku. “Aku mungkin tidak mengenalmu. Namun aku tidak buta. Aku memilihmu, bukan karena hanya sebuah takdir atau keberuntungan. Aku memang berada di sini hanya untukmu.” Dia pun berjalan, menjauh dariku tanpa mengatakan mau kemana atau apa yang dia akan lakukan sekarang di kegelapan jalanan malam itu. Dia sepertinya ingin memancingku. Mengikutinya untuk pergi kemana pun dia akan pergi sekarang. “Hei, mau kemana kau? Kau berkata akan selalu menemaniku di sini. Kenapa kau malah meninggalkanku sendirian di tempat duduk ini?!” Teriakku dengan lantang. Pria itu menoleh, tersenyum ke arahku. Menaikkan lengannya, menyuruhku untuk ikut dengannya sekarang ini. “Ya, jika kau memang tidak ingin tertinggal dariku, maka angkat kakimu. Aku akan mengajakmu pergi dari tempat ini. Karena memang, aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu. Sekarang di tempat ini. Sesuatu yang aku yakin dengan pasti akan membuatmu kagum. Aku beranjak dari kursi, ikut kemanapun dia pergi sekarang. Dan tiba-tiba, lantai yang kami pijak terbuka. Menciptakan sebuah anak tangga yang turun menuju ke bawah. Aku tak tahu apa itu sebenarnya, tapi pria itu menggenggam tanganku sekarang. Seperti mencoba meyakinkan diriku bahwa aku akan baik-baik saja saat menuruni tangga itu di sini sekarang. “Tidak apa-apa. Tangga ini merupakan tangga yang aman”. Dan saat aku turun perlahan-lahan menuju ke bawah, aku melihat di sekeliling tangga itu bahwa itu bukanlah ruangan yang seperti kuharapkan. Ruangan itu memiliki cahaya warna-warni, berkilau, dan juga anggun di sana. Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun cahaya ini tidak mungkin keluar begitu saja. “Cahaya apa ini?” Tanyaku berdecak kagum. Pria itu tersenyum sambil melihatku dengan tatapan manisnya. “Kau sungguh tidak tahu apa itu? Coba perhatikanlah baik-baik. Kau pasti bisa mengenal mereka satu persatu. Karena memang, mereka adalah bagian-bagian yang membentuk dirimu sekarang”. Aku mengamatinya dengan seksama, ternyata cahaya-cahaya yang berkilauan itu adalah memoriku di masala lalu. Memori-memori indah yang pernah kumiliki selama aku hidup. Aku merasa terkesima melihatnya, mengingat memori indah yang aku bahkan lupa pernah memilikinya. Tempat ini seperti museum, dimana semua hal indah di dalam diriku di simpan dalam tempat ini. “Ini, semua adalah memoriku. Bagaimana mungkin tempat ini dapat menyimpannya? Apakah tempat ini ada di dalam kepalaku?” tanyaku dengan polos dan lugu. Pria itu tidak menjawab, terus saja mencoba untuk membimbingku untuk turun di dalam jalan tangga menurun itu dan mengantarku ke sebuah kolam, danau, entah apa pun itu yang penuh dengan sebuah air di sana. “Mungkin benar katamu, tempat ini mirip seperti sebuah museum. Hanya berisi kenangan-kenangan indah yang pernah kau miliki di dalam hidupmu,” Pria ini lanjut untuk mencoba menarik tanganku, melihatku di depan matanya sekarang. “Dan sekarang, aku ingin meninggalkan sebuah kenangan indah untukmu di tempat ini sekarang juga.” Pria itu, mencium bibirku, sekali lagi, diiringi oleh warna-warna indah di sekelilingku. Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa sekarang ini salah tingkah dibuatnya. Yang aku bisa lakukan, hanyalah menyambung kecupan dari bibir manis miliknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN