Aku tak percaya awalnya, kalau Wulan akan mempercayai dan juga setuju dengan rencanaku semudah itu. Aku berharap dan juga berekspektasi, kalau aku akan melakukan perdebatan yang sangat sengit sekaligus menegangkan dengannya. Namun malah ternyata, dia benar-benar menyanggupinya seperti seorang anak kecil yang diajak di taman bermain.
Sebelumnya, aku sendiri pernah mendengar kalau memang Wulan sangat ingin sekali untuk bisa pergi dan juga mengunjungi tempat di mana dukun Lavesta itu berada sekarang. Dia sangat menggemarinya sampai tak henti-hentinya menunjukkan klip tentang apa yang dia lakukan di layar kaca. Aku hanya berpura-pura tersenyum, tertarik dengan apa yang dia beritahukan kepadaku.
Aku juga awalnya tak tahu kemana aku harus pergi sekarang, aku benar-benar buta. Tak tahu kemana atau siapa seseorang yang akan kuhubungi nantinya. Pengetahuanku hanya sama seperti mereka mencoba untuk mengetahui apa yang dia lakukan di layar kaca itu benar-benar sesuatu yang nyata atau sesuatu yang sebuah rekayasa. Entah kenapa, walaupun aku tahu kalau itu palsu, aku akan kecewa jika itu palsu.
Untungnya, Wulan sudah mengirimkan beberapa nama dan juga alamat yang bisa aku kunjungi untuk bisa mengetahui atau memang mencari keberadaan tentang Dukun Lavesta. Di dalam layar televisi, dia selalu menggembar-gemborkan kalau dirinya adalah sosok yang benar-benar misterius penuh dengan keberadaan mistis. Tak ada yang tahu dimana keberadaannya yang sebenarnya sekarang.
Walaupun nyatanya, saat mengetikkan namanya di internet terlihat dengan sangat jelas dimana dia tinggal beserta dengan alamatnya. Aku, mungkin tak membutuhkan bantuan Wulan untuk mencarikanku alamat tentang dukun ini sekarang. Aku hanya membutuhkannya untuk menemaniku yang benar-benar buta akan hal mistis ini tentang sesuatu di sana sekarang juga.
Dan sebenarnya, mirip seperti sebuah klinik, kami memerlukan sebuah antrian atau janji untuk bertemu.
Bahkan, ada sebuah website untuk mendaftar antrian dan juga nomor di sana. Aku heran, mungkin instansi pemerintahan perlu menerapkan sesuatu yang sama seperti apa yang telah diterapkan dukun santet ini. Walaupun secara kultural peradaban mereka lebih mundur, namun teknologi mereka jauh lebih maju daripada orang-orang di pemerintahan itu sekarang.
Aku membiarkan Wulan untuk menerima antriannya, karena aku tahu segala sesuatu yang aku sentuh akan berakhir sebagai sebuah bencana, mala petaka, atau mungkin sebuah kutukan nantinya. Dengan satu sentuhan jarinya, kami mendapatkan nomor. Nomor yang digadang-gadang menjadi nomor keberuntungan oleh banyak budaya dan juga kepercayaan di berbagai belahan dunia. Nomor 7
Aku tak tahu, nomor ini termasuk nomor antrian yang paling awal atau mungkin juga paling terakhir. Aku tak mungkin bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana sebelum aku benar-benar datang menghampirinya. Namun hanya saja, Wulan terlihat sangat bahagia sampai melompat-lompat saat mendapatkan nomor itu di ponselku.
Mungkin, aku harus merasakan perasaan yang sama dengan Wulan sekarang, bahagia dan benar-benar bersyukur dengan nomor dan angka yang sedang kuraih. Aku mungkin tak bisa berkata lebih jauh lagi, karena jika memang aku mendapat antrian yang lebih awal, maka itu berarti kalau aku juga mungkin akan dapat menyelesaikan masalahku lebih awal. Mengetahui identitas dari pria itu nantinya!
***
Kami berdua naik mobil, untuk menuju ke tempat dimana dukun Joko Valesta menerapkan praktiknya. Hanya saja, aku merasa kalau tempat yang kami sedang turuni dan juga kunjungi sekarang merupakan tempat yang salah. Aku tidak merasa kalau tempat yang aku lihat di depan mata itu adalah tempat dimana seorang dukun mencoba untuk menawarkan keahliannya kepada para pasiennya.
Jika biasanya, rumah seorang dukun akan penuh dengan bau kemenyap, asam hitam mengepul, dan juga ornamen-ornamen kuno dan unik. Menambah keseraman dari tempat itu sendiri. Namun sedangkan dengan rumah ini, semuanya terlihat sangat ceria, berwarna-warni cat melindungi dinding. Sementara bunyi burung berkicau bersahut-sahutan dengan sangat ramai-ramai.
“Wulan, apa kau yakin kalau tempat ini adalah tempat dimana dukun itu berada? Aku tidak pernah mengetahui kalau seorang dukun memiliki selera yang sangat unik seperti ini sebelumnya.” Bisikku, berjalan di belakang Wulan yang ada di depanku. Meskipun rumah itu tak menakutkan sama sekali, aku masih ketakutan dengan apa yang akan mungkin terjadi di sini.
“Apa yang kau katakan Sabrina! Kau pikir, seorang dukun tidak boleh memiliki cat yang warna-warni dan juga ornamen normal! Kau telah menyalahi aturan untuk menjadi manusia Sabrina! Apa hakmu melarang-larangnya untuk melakukan sesuatu seperti ini sekarang?!” Jawabnya, mengagetkanku. Padahal, aku tidak bermaksud untuk menyinggung Valesta ataupun Wulan sama sekali. Tapi dia tampak marah.
“Kau mungkin tak paham dengan apa yang coba aku katakan sekarang Wulan. Tapi aku tidak berkata kalau apa yang dia lakukan dengan rumah ini adalah sesuatu yang tidak normal! Walaupun memang sebutan bagi seseorang sepertinya adalah paranormal, tapi tetap saja, situasi seperti ini benar-benar tidak normal meskipun bagi paranormal!” Ucapku membentak, agar dia tahu perasaan dan juga ucapanku.
“Ya, aku tahu apa yang kau katakan. Karena, kau mungkin memang tidak mengenal siapa dukun Joko Valesta sebenarnya seperti diriku! Dia adalah dukun yang mendukung kesetaraan hak dari berbagai gender di Indonesia. Walaupun aku memang tahu kalau itu tidak lazim, kau sendiri yang bilang kan kalau mereka paranormal? Ayo, kita harus segera bergegas!” Ucap Wulan berada di depanku.
Aku berjalan perlahan-lahan melewati halaman depan yang kosong hanya diisi oleh rerumputan hijau di sana. Walaupun hari tampak sangat terang dengan matahari turun menyiramiku, tetap saja aku merasa kalau ada sesuatu yang aneh dengan tempat ini. Sesuatu yang berbeda dari biasanya. Aku memang tak bisa merasakan hal-hal supernatural, tapi akal dan juga sistem pertahanan diriku bekerja.
Selain rumput, di sana juga terpasang tiang-tiang yang tertancap di tanah berbentuk dua buah di antara mereka. Para sangkar burung pun dicantolkan di antara dua lengan tiang itu sekarang. Mereka mencoba untuk memanggil dan menyerukan nama kami. Aku memang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun aku mengira kalau itu pasti bukan burung normal.
Saat masuk ke dalam ruangan rumah itu, ruangan setengah terbuka dengan bagian atas tertutup oleh kayu sehingga kami bisa meneduh sebentar, ada banyak sekali bangku panjang dan juga kursi roda di sana. Hanya saja, tampak sangat kosong dan juga tidak ada seseorang pun mengisinya. Bangku panjang itu seperti dibuat untuk mengantisipasi lonjakan peserta atau pasien.
“Wulan, kenapa tidak ada siapa-siapa di sini? Aku sepertinya harus mengurungkan niatku. Tidak ada salahnya jika kita ke Starbuck dan memberi minuman kan?” tanyaku dengan ragu-ragu dan sedikit ketakutan. Tapi Wulan tetap terus menyemangatiku. Karena memang kami tidak bisa mundur lagi.
Di depan pintu, aku bisa mengetahui kalau pintu itu tidak terkunci ataupun tertutup dengan rapat. Hanya saja, Wulan tidak berani untuk langsung masuk di dalamnya. Dia seperti menjadi ragu-ragu dan tidak ingin untuk langsung masuk ke dalam dengan buru-buru sekarang. “Ayo Wulan! Kenapa kau mengulur waktu seperti sekarang ini?! Ada apa denganmu sebenarnya?” Teriakku kepada Wulan.
“Sabrina, tolong katakan kepadaku kalau kau tidak sedang melihat sesuatu yang sedang kulihat sekarang. Katakan kepadaku, apakah yang ada di sana adalah sesuatu yang nyata? Atau hanya sekedar khayalan belaka?” tanya Wulan kepadaku. Dia pun menunjuk sesuatu kepadaku, membuatku ingin menjadi ikut penasaran dengan apa yang sebenarnya dia maksud di sana.
Dan ternyata memang benar, di balik pintu itu ada sebuah mata menggantung melihat menusuk dengan jauh di antara kami berdua. Dia seperti sedang mengawasi kami berdua, tidak ingin kami untuk masuk ke dalam tempat itu lebih dalam. Anehnya, kami berdua tak tahu apa yang sedang dia lihat dengan kami berdua, melayang-layang di atas udara tanpa memiliki tujuan yang jelas.
“Ayo Wulan! Apakah kau tidak bisa menggerakkan kakimu! Cepat melangkah! Apakah kau ingin untuk selamanya ditatap dengan mata penuh kebengisan itu di sana?” tanyaku kepadanya. Wulan pun memberanikan diri untuk terus melangkah di depanku. Walaupun memang satu tangan kirinya sedang dia rentangkan ke belakang mencari pegangan dengan tangan kananku sekarang.
Ternyata, mata itu hanyalah sebuah properti, dibiarkan menggantung di sana dengan tujuan untuk menakut-nakuti kami berdua. Dan mungkin kepada para tamu yang telah datang di sana. Hanya saja, mata itu digantung menggunakan tali yang diikat dan juga memiliki rongga untuk bisa masuk ke sana. Aku tidak mungkin bisa tahu bila sejak awal kalau mata itu hanyalah sebuah mata mainan atau buatan.
Sekarang, kami berada di dalam kediaman Sang Dukun Lavesta. Tampak, tidak ada sesuatu yang aneh di dalam interior rumah ini. Malahan, kami seperti bisa menebaknya hanya dengan menengok apa yang menjadi suasana dan juga pemandangan dari luar rumah ini. Sang pemilik rumah, memang memiliki obsesi untuk memiliki hidup berwarna-warni dan juga sangat kontras di dalam hidupnya.
Di dalam ruangan ini juga, ada banyak sekali bangku panjang dan juga tempat duduk, aku mengira kalau para tamu dan calon pasien yang akan mengalami pertemuan akan duduk di sana. Dengan santai sambil melihat banyak sekali properti aneh sekaligus unik terpasang di dinding itu sekarang. Hanya saja, tidak ada tamu lain di tempat ini selain kami berdua.
Ujung area dari rumah ini, ada sebuah daerah loket dengan seseorang yang menunggu sambil mengantuk dan memakan sebuah kacang di dalamnya. Itu adalah seorang wanita, berambut panjang dan mengecatnya dengan warna pirang. Dia bahkan setengah tertidur, membuat kami berdua merasa tidak enak jika harus membangunkan tidur siangnya itu sekarang di sana. Tapi Wulan tak memiliki rasa sungkan sepertiku.
“Halo Mbak!” Ucap Wulan mengetuk pintu loket kaca itu. Sang perempuan itu kemudian membuka matanya, kaget, melihat ke arah kami. Seperti melihat sesosok hantu. Padahal, aku tahu kalau dia mungkin telah banyak melihat hantu di tempat ini. Dan tidak mungkin ada hantu secantik kami berdua pernah ia lihat sebelumnya berkeliaran di sini.
“Ahh... Iya. Selamat datang di klinik Joko Valesta. Adakah yang bisa kami bantu?” ucap penjaga loket itu sambil mengelap air liur yang kering di sekitar mulutnya. Nada bicaranya benar-benar lemas, dan juga tidak bersemangat. Dia seperti tidak diberi makan selama satu minggu ataupun juga jiwanya ditarik dari tubuhnya menuju ke dunia astral sekaligus dunia lain secara bersamaan.
Wulan membuka ponselku, menunjukkannya nomor antrian yang ada adi sana kepadanya. “Kami ada pertemuan dengan Dukun Joko Valesta. Di antrian nomor 7. Kapan kami bisa menemuinya?” tanya Wulan dengan sopan kepadanya. Namun, perempuan itu bahkan tidak menengok sama sekali ke arah ponsel yang Wulan telah berikan kepada kasir itu sekarang.
“Hei Mbak!!” Wulan menggedor-gedor pintu dan juga loket kaca itu sekali lagi. Karena wanita itu memiliki fokus setara dengan marmut. Gampang untuk menghilang-hilang walau ditinggal dalam waktu sekejap saja. “Hei Mbak! Aku ingin berbicara denganmu! Apakah kau memang memiliki waktu dan juga tenaga hanya untuk mendengarkan kami sekarang? Apakah ini pekerjaan yang ku lakukan sehari-hari?”
Dengan tatapan malas, wanita itu menulis sesuatu di atas kertas. Dia pun merobek kertas itu dan memberikannya kepada kami. “Kalian adalah antrian pertama dari klinik ini selamat. Silahkan masuk ke dalam ruangan sekarang. Dukun Joko Valesta akan menyambut kalian dan menyuruh untuk masuk sekarang.” Ungkap Wanita itu kepada kami. Membuatku bingung tentang beberapa hal.
“Hah? Urutan pertama? Bukankah kami mendapat antrian nomor 7? Bukankah kami bukanlah yang pertama dari klinik ini? Apakah yang sebenarnya terjadi dengan klinik ini? Apakah kau memang bekerja dengan baik?” tanyaku mencoba mempertanyakan apakah mungkin wanita ini memang sedang mabuk.
“Dengar, jika kalian tidak ingin masuk dan segera pulang itu urusan kalian. Aku tidak peduli. Aku tidak akan menjelaskan apa pun kepada kalian dengan apa yang terjadi di sini. Aku sudah cukup muak mencoba untuk memberi tahu seseorang yang telah mengganggu tidurku!” Bentak wanita itu kepada kami. Pelayanannya sangat tidak ramah, aku pasti akan memberinya rating bintang satu nantinya!
“Sudahlah Sabrina, dia mungkin sedikit gila dan memiliki hari yang buruk. Ayo kita segera bergegas menuju ke ruangan itu. Kau ingin mengakhiri ini semua untuk selamanya kan?” Bisik Wulan dengan pelan-pelan kepadaku. Aku sebenarnya tidak sedang emosi, namun aku membutuhkan penjelasan untuk sesuatu yang tidak masuk akal di sini. Dan bisa-bisanya, perempuan itu dengan mudah tertidur kembali sambil duduk dan menutupi mukanya menggunakan topi koboynya itu sekarang.
Ruangan dari klinik aku bisa menduga adalah ruangan yang berada di depanku sekarang. Di luar pintunya ada tulisan, “Dokter Joko Valesta” yang aku ragukan entah darimana dia mendapatkan title ataupun gelar itu. Apakah dia bersekolah di hogwarts, mendapatkan sertifikat dan juga dilatih oleh seorang kakek berjenggot bernama Dumbledore? Aku tidak tahu, dan aku tidak merasa kalau aku perlu mengetahuinya.
Wulan masih berada di depanku sekarang, membuka pintu itu perlahan-lahan, tak terkunci dan tidak ada sesuatu yang menahannya di sana. Di depan kami, ada seseorang dengan memakai baju hitam, berambut gondrong, dan memakai kacamata hitam, menyambut kami sambil berdiri dan tersenyum dengan lebar di sana. “Selamat datang wahai nona-nona cantik. Apakah ada sesuatu yang bisa saya bantu?”