Dasar predator sinting! geramnya penuh amarah.
Insting predator playboy itu pasti terlalu kuat!
Biasanya, pria tipe macam itu disertai dengan ego dan gengsi yang kelewat tinggi.
Kenapa ia bisa setuju untuk menolong lelaki itu sedari awal? Harusnya ia tak menerimanya meski ia bersikap sopan sesaat. Apakah ia buta dengan kesehariannya? Toh, orang seperti dia akan melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang diinginkannya meski harus berpura-pura membuang harga dirinya sejenak.
"Huh! Emang lelaki itu punya harga diri? Playboy itu?" cemooh Misaki setengah jijik.
Padahal, awalnya semua baik-baik saja.
Apa keputusannya untuk mulai terbuka menerima kehadiran lelaki itu adalah sebuah kesalahan lainnya? Ingin sembuh dari phobia apaan?! Rasanya dirinya sekarang mau hancur berkeping-keping!
Kenapa pula dulu ia mulai bersikap ramah dan sopan sebagai tetangga padanya? Lelaki itu akhirnya mulai meliriknya, kan? Tapi! Apa itu semua benar salahnya? Si playboy itu bisa saja mengabaikannya, kok! Bukan seleranya, kan?!
Geram juga Misaki memikirkan lelaki roller coaster itu. Tidak jelas maunya apa!
Telinga Misaki tiba-tiba berdenging memikirkan semua kepenatan itu, pandangannya menjadi agak berkunang-kunang.
"Ugh! Sa-sakit..." tangannya menekan-nekan pelipis kanannya, ponsel yang digenggamnya meluncur jatuh ke lantai kamar.
Misaki terkejut, kepalanya berputar cepat ke segala arah mencari sang pemilik suara.
"Siapa?"
Kembali, dengingan cepat, tajam, dan singkat menyerangnya hingga rasa sakit terasa menusuk tepat bukan hanya di otak, tapi juga di jantungnya.
Pandangannya kabur. Pendengarannya perlahan menurun. Tubuhnya hampir jatuh mendadak, cepat-cepat tangan kanannya meraih sisi lemari geser.
Tubuh Misaki melemas, wajahnya pucat pasi. Kakinya berusaha berjalan menuju tempat tidur, dan jatuh berlutut di lantai kehilangan kekuatan pijakan.
"Ingatan apa ini? Siapa yang berbicara?" satu tangan Misaki menahan tubuhnya di lantai, satu lagi mencengkeram sebelah wajahnya, meringis kesakitan.
Ia menggeleng cepat.
"Siapa? Siapa yang berbicara?" Misaki megap-megap, pandangannya kembali kabur.
Ia merangkak pelan berusaha menuju tempat tidur, sekujur tubuhnya semakin lemas, napasnya sulit diatur.
"Siapa? Siapa dia? Apa yang sedang dibicarakannya?"
Misaki terjatuh, tangannya bertumpu pada meja lesehan yang menahan beban tubuhnya, lalu sadako mini market itu jatuh dengan wajah menghantam lantai.
"Si-siapa?" bisiknya pelan, matanya berubah sayu, air matanya menetes membasahi tatami.
Jantung Misaki terasa sesak.
Bukankah yang terakhir itu adalahnya dirinya yang tengah berbicara? Kenapa? Kenapa ia berkata demikian? Apa itu potongan ingatannya pada pria yang dicintainya di masa lalu? Seberapa besar ia mencintai lelaki itu hingga berkata hal berlebihan semacam itu?
Entah kenapa Misaki merasakan kesedihan luar biasa menyerang hati dan pikirannya, seolah dirinya telah kehilangan sesuatu yang begitu berarti baginya. Sakit, perih, menusuk, berpilin di jantungnya.
Perasaan meluap-luap itu membuat otaknya nyaris lumpuh seketika. Rasanya ia ingin berteriak sekencang dan sekeras mungkin saat ini!
Sekali lagi Misaki berusaha bangkit, kedua kakinya gemetar hebat, tapi kembali jatuh berlutut.
"Aku tidak ingin mengingatnya! Tidak mau..." ia memejamkan mata kuat-kuat, keningnya berkerut.
Gelombang kesedihan dan kepedihan entah dari mana menyerbunya bertubi-tubi tanpa henti.
Sosok pemilik suara tadi perlahan muncul samar-samar di ingatannya dari balik kabut hitam.
Lelaki itu berdiri memegang sebuah pistol, tepat diarahkan padanya yang berada dalam pelukan seseorang.
Suara lelaki itu terdengar mengancam, dingin, tegas, dan tak ada belas kasihan.
"Tidak... tidak... aku tak mau mengingat apapun... Ini hanya mimpi... mimpi..."
DOR!
Suara tembakan terdengar jelas di telinganya diiringi jeritan histeris oleh orang yang memeluknya, suara seorang lelaki.
Air dingin seolah menghantamnya bak air bah.
Lelaki itu menembaknya....
Lelaki yang semula berkata manis dan penuh cinta itu menembaknya dengan kejam!
Siapa?
Siapa dia?
Apa dia yang merusaknya?
Siapa lelaki yang memeluknya itu?
Siapa?
SIAPA???
Kepalanya berdenyut hebat, rasanya mau pecah dan meledak saja!
Misaki mencengkeram erat kedua sisi kepalanya. Sambil menahan sakit, perlahan tangan kiri Misaki berusaha meraih punggung bagian kanannya, perasaannya kacau balau!
"Lu-luka... Luka tembak?"
Apa itu hanya halusinasinya? Tapi, di punggungnya memang ada sesuatu berbentuk lingkaran?! Apa yang terjadi sebenarnya? Apa sebaiknya ia mulai mencari tahu masa lalunya yang mengerikan itu? Bayangan ibunya yang menangis tersedu-sedu tiap kali ia meminta penjelasan membuatnya menggeleng cepat.
"Tidak masuk akal... aku hanya terlalu lelah karena Toshio," ujarnya lemah, senyum tipisnya sangat pucat.
Dengingan kembali menghantamnya untuk kesekian kalinya.
Kali ini serbuan potongan-potongan ingatan membanjiri pikirannya, cepat dan acak hingga ia tertegun. Luapan emosi dan informasi dadakan itu menguras habis energinya.
Ketakutan menjalar naik ke hatinya, bulu kuduknya merinding.
Samar-samar, Misaki mengingat wajah lelaki yang menembaknya. Lelaki itu mengenakan kemeja putih lengan pendek. Rambut merahnya agak panjang sebatas pipi, baik poni maupun kedua sisi rambutnya berlayer tipis, ia sangat muda, terlihat lugu dan manis tapi tatapan matanya yang tajam dan tegas membuat figurnya terlihat begitu dewasa.
Sepanjang mata sebelah kiri hingga ke mulutnya berlumuran darah, tersenyum puas seraya berbisik padanya yang terkulai lemas dalam pelukannya.
Kebingungan melandanya dengan potongan-potongan ingatan yang saling berlawanan tersebut.
Misaki menjerit histeris, tubuhnya roboh seketika ke lantai.
Pingsan.