"Kamu kenapa, Sum?" tanya Mas Kunto setelah kami beres makan, Deni nampak sibuk belajar untuk tes masuk SMA tujuannya, tekad anak itu benar-benar luar biasa, sedangkan Diki dan Dika memilih mencoba dan memainkan alat alat gambar yang kami dapat dari maminya Riska beberapa waktu lalu.
"Ah, rapopo, Mas, kelilipan, tadi ada debu masuk ke mataku," jawabku, berbohong, aku khawatir mas Kunto bertanya lebih lanjut.
"Yo wiss kalau gitu, mas mau lanjut betulin kursi goyang ibu dulu, nanti mas pinjam hapemu ya, ta telpon mas Jono biar besok bawa ibu ke sini," ujarnya, langsung kembali bekerja memperbaiki kursi goyang rusak itu.
Hati terasa perih.
Berat rasanya mengatakan yang sebenarnya, aku benar-benar tak tega.
Hampir satu jam aku mondar-mandir tak tentu arah, pekerjaan pun tak bisa kukerjakan dengan sempurna.
Gelas-gelas plastik bekas air mineral yang biasanya bisa kubersihkan sekian karung dalam satu jam, kini hanya bisa beberapa buah saja, itu pun tak terlihat rapi.
Tentu saja mas Kunto bisa menerka kekhawatiranku.
Dia mendekat lalu mengajakku ke kamar.
"Sum, ada apa sih, kamu kayaknya lagi ada yang dipikirkan, ayo katakan pada masmu ini, jangan dipendam sendirian," ujarnya, sambil menariku duduk di sampingnya.
Aku menghela napas berat.
Lidahku kelu, entah apa yang harus kukatakan saat ini.
"Sum ...!"
"Iya, Mas," jawabku terbata.
Huffffhhh!!!
Akhirnya aku memilih menjelaskan semuanya, dari pada membiarkam suamiku berharap yang tidak akan jadi nyata.
"Mas, jangan marah ya, janji!" Kataku.
"Loh kamu kenapa toh, Sum? Pake nanya jangan marah segala?" Dia justru tersenyum melihat tingkahku.
"Anu ... anu Mas,"
Ya Allah, kenapa berat sekali menceritakan apa yang terjadi pada mas Kunto?
"Mas," kuraih tangannya, menggenggam tangan kasar penuh kapalan itu dengan erat, menciumnya perlahan dan berulang, lalu dengan pelan kukatakan semuanya.
"Ibu sudah pulang ke Jawa, mas Jono tadi ke sini, mengantarkan surat ini untukku," kutunjukan surat yang tadi kusimpan di saku daster usang yang kupakai.
Mas Jono meraih surat itu, lalu membacanya tanpa suara.
Sekian detik, tak ada reaksi!
Tapi kemudian dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, menarik napas berat.
Lalu kulihat bahu kokoh itu berguncang.
Ya Allah, duniaku serasa runtuh, lelaki hebat itu menangis karena terluka.
Aku mendekapnya erat.
"Kenapa kita harus seperti ini, Sum? Apa salahku pada mereka? Kenapa adik-adikku berubah? Apa aku bukan kakak yang baik, Sum?" tanyanya, serak dan pilu.
"Bukan Mas, semua bukan salahmu, semua terjadi karena keadaan kita, karena kita miskin, Mas, miskin!" ucapku memeluknya.
Kami menahan tangis, dan suara, agar anak-anak tak mendengar semuanya.
Aku tak pernah sesakit ini, perihnya hidup, kemiskinan ini tak pernah membuatku menangis, semua sudah menjadi hal biasa bagiku, tapi ketika melihat suamiku terluka, hati ini terasa bagaikan disayat ribuan sembilu, begitu pedihnya, seandainya bisa mas, akan kuberikan nyawaku untuk kebahagianmu dan anak-anak.
Kami luruh dalam tangis dan pilu malam itu.
Hanya Allah dan aku yang tau betapa pria sabar itu terluka oleh sikap adik-adiknya.
.
.
.
Hari terus berjalan, kami semakin giat usaha, mencari barang-barang bekas untuk dikumpulkan dan dijual pada pemborong.
Tapi kali ini aku tak ikut bekerja dengan mas Kunto, kebetulan tetanggaku ada yang tengah kena musibah, suaminya tertabrak angkot saat mulung di pasar, aku bantu-bantu di rumahnya, mas Kunto bekerja setelah ikut membantu dan acara pemakaman selesai.
Ngenes memang, pemilik angkot itu kabur entah kemana, tinggalah istrinya yang kalang kabut, mencari uang untuk kematian suaminya, kudengar untuk biaya ambulan saja dia berhutang pada pak RT.
Astagfirullah!
Nyawa orang miskin seperti kami memang tak ada harganya.
Aku kembali ke rumah setelah menenangkan Marni, walau bagaimana pun hidup harus terus berjalan, apalagi mereka punya dua balita yang harus tetap makan.
Tak tega rasanya meninggalkan wanita yang terus menangis itu, tapi aku harus pulang karena Diki memanggilku, katanya di rumah ada Bang Jamil yang hendak mengangkut barang-barang rongsokan kami.
Alhamdulillah, kali ini barang diangkut cepat, kebetulan sekali kami memang tengah butuh uang untuk biaya sekolah anak-anak.
"Sum, barang abang angkut semua ya, uangnya nanti kuberikan pada Kunto," katanya sambil memerintahkan anak buahnya mengangkut puluhan karung barang bekas ke dalam mobil pick up.
"Iya, Bang," jawabku.
"Tiga puluh tiga karung ya, Sum, abang angkut semuanya," ucapnya lagi.
Aku mengiyakan.
Lalu terdengar suara mesin mobil dinyalakan.
"Sum, abang pergi dulu ya, bayarannya langsung abang kasiin Kunto saja," katanya dengan suara keras.
Kulihat sebelum pergi dia memberikan selembar uang sepuluh ribuan pada Diki yang tengah bermain di depan rumah kami.
Lalu suara mobil pun perlahan menghilang, pertanda bang Jamil dan anak buahnya sudah pergi.
.
.
"Bu, nanti tambahin uangku ya, besok aku mau ikut cari sekolah dengan temanku," ucap Deni.
"Kurang berapa, Le?" tanyaku.
"Kurangnya banyak Bu, tapi gak harus sekarang, kita cicil saja membeli kebutuhannya," jawab anakku bijak.
"Baguslah, nanti bilang ayahmu saja, Le, alhamdulillah barang bekas punya kita hari ini sudah diangkut semuanya, mungkin ayahmu ada sedikit rejeki, pinta saja, sekalian jatah ibu juga," jawabku.
Deni tersenyum lalu berkata.
"Kalau jatah ibu diambil, nanti kita makan apa?"
"Ibu tiga hari ke depan ada pekerjaan lain, Le, bantu bu Shadikoh di rumahnya, kebetulan ART yang biasa pulang kampung, cuman masak dan beresin rumah saja, setengah hari kerjanya, sebelum duhur ibu sudah pulang, katanya selain upah, ibu juga boleh bawa makanan yang ibu masak," jawabku dengan wajah senang.
"Masak di rumah bu Shadikoh kan banyak bu, dia punya banyak karyawan toko, pasti ibu capek," ujar Deni.
"Lah, masak doang sih ibu kuat, Le, lagian mana ada kerja yang gak capek, lah tidur aja juga capek, iya kan Le?" Aku membesarkan hati anakku.
"Nanti kalau Deni sudah bekerja, lunya banyak uang, ibu dan ayah, juga adik-adik tidak boleh ada yang capek bekerja, semuanya Deni yang nanggung, ibu, ayah tinggal saja di rumah, mendoakan Deni," ucap anakku itu dengan penuh pengharapan.
Aku mengaminkannya.
Bahagia sekali mendengar niatan anak sulungku ini, mudah-mudahan Allah mengabulkan doanya.
Tak berapa lama mas Kunto datang, dia kaget saat melihat barang-barang sudah tidak ada.
"Siapa yang angkut barang kita, Sum?" tanyanya sambil membuka baju.
"Biasa, Mas, bang Jamil," jawabku.
"Kok dia ndak bilang sama mas ya, Sum?"
"Lah kok ndak bilang, katanya mau dibayar sama mas saja barangnya?" Aku mendelik, mulai cemas.
"Tadi aku ketemu dia di ujung g**g saat mau belok ke jalan raya, tapi bang Jamil ndak ngomong apa-apa, mas pikir itu bukan barang kita," ucap Mas Kunto pelan.
Wah ada yang tidak beres sepertinya.
Hm!
"Barang kemarin saja masih belum lunas, yang ini diangkut tapi ndak dibayar lagi," gumam mas Kunto.
"Jadi barang yang kemaren belum lunas Mas?" tanyaku geram.
" Iya, Sum, dia bilang duitnya dipake operasi kanker istrinya dulu, ya mas ndak bisa maksa, dia juga janji mau lunasin semuanya minggu ini," jelas suamiku.
Kurang ajar bang Jamil kalau gitu ceritanya, wajahku berubah.
"Wah, kurang ajar kalau begitu urusannya, cari mati dia, dikasih hati minta jantung, sekalian goloknya saja kita kasih, Mas, biar kucakar muka jeleknya itu," dengusku, kasar.
"Yo wiss, Sum, ndak usah marah, ndak baik, nanti cepat keriput loh," mas Kunto buru-buru menggodaku, karna melihat rautku yang muali memerah karna emosi.
"Awas saja kalau dia benar-benar nipu, akan aku kejar kemana pun!" Geramku.
Mas Kunto hanya terbatuk kecil mendengarnya.
Aku makin yakin bang Jamil memang sedang cari masalah dengan kami.
Aneh saja, orang susah kok ditipu, dasar manusia tak punya hati!
Awas saja kamu, Bang, aku tidak akan tinggal diam, jangan panggil aku Sum, mantan preman pasar induk ini!
Pasti momi momi gak nyangka,kalau mbak Sum ini dulunya preman pasar Induk?
Baca lanjutnya nanti ya moms, jangan lupa subscribe dan follow, eh iya, kasih love ya biar semangat Mba Sumnya untuk nyari mas Jamil yang kurang ajar itu.