Srikandi Tanpa Medali

Srikandi Tanpa Medali

book_age4+
10
IKUTI
1K
BACA
stepfather
like
intro-logo
Uraian

Kesabaran dan keikhlasan suamiku yang selama ini membuatku diam atas penghinaan kalian padaku, tapi saat kalian menginjak-nginjak.harga diri suami dan anak-anakku, maka aku tidak akan terima begitu saja.

Dia Ikhlas sebagai Kakak, tapi tidak denganku sebagai istrinya, perempuan yang membersamai pria ya g hanya berprofesi sebagai pemulung itu, maka detik ini juga kuharamkan apa yang sudah kalian terima darinya!

chap-preview
Pratinjau gratis
Melawan Penghinaan
Hujan turun dengan deras, kepulangan para tamu menyisakan piring kotor dan beberapa pekerjaan yang cukup berat di rumah adik iparku ini, kini rumah mulai agak lengang, hanya tinggal keluarga saja yang masih tinggal, baik dari keluarga suamiku dan suami adik iparku Leni. Nampak di halaman, ditengah derasnya guyuran hujan, suamiku tengah sibuk membersihkan got di depan rumah Leni yang mungkin mampet, kulihat ada juga beberapa orang warga yang tengah melakukan hal yang sama. Padahal dia baru saja membetulkan listrik dan merapikan gajebo di halaman belakang rumah. Ah, kasian sekali suamiku itu, kenapa dia malah jadi tukang di rumah adiknya sendiri, sedangkan saudara yang lain malah ongkang-ongkang kaki semuanya. Padahal dia baru minum kopi dan makan seiris kue bolu yang kuberikan. Ingin rasanya aku memanggilnya dan membuatkannya teh hangat, tapi tatapan tajam Leni dan adik-adiknya yang lain mengurungkan niatku itu. "Bu, boleh tidak aku minta itu?" Dika menunjuk beberapa potong brownis bertabur keju di lodor panjang, sisa tamu yang tadi kubereskan. "Nanti ibu ambilkan, satu potong saja ya, Nak," kujulurkan tangan untuk mengambil kue brownis tersebut. "Ee ... ee ... ada yang diam-diam ombal-ambil makanan tanpa ijin loh!" Tiba-tiba Tri adik Mas Kunto yang bungsu muncul, matanya menatapku penuh selidik. Kubatalkan niat untuk mengambil kue tersebut, mendekap tubuh mungil Dika. "Siapa Mba? Moso di rumah saudara kok berani-beraninya main ambil sembarangan, gak sopan," kini Leni ikut bicara, dia lah si pemilik rumah, sebagai adik kedua dari Mas Kunto. "Jangan-jangan, di dalam tasnya udah penuh sama kue hasil comot tanpa ijin tuh," mata Tri dan Leni saling bertatapan, lalu menyeringai sinis padaku. "Astagfirullah, Dek, demi Allah, kami tak mengambil apapun, tadi Dika pengen kue itu, saya pikir tak apa-apa, karena itu kue sisa, para tamu pun sudah pulang, acara juga sudah beres," jawabku, memberanikan diri. "Enak aja, pake bilang kue sisa, sengaja disisain untuk mama mertuaku tau!" Rutuk Leni, kasar. Aku mengusap d**a. "Ada apa ini?" Ibu muncul, seolah paham aku tengah di posisi seperti ini. "Itu mantu ibu, main comot kue tanpa ijin," tukas Tri. "Lah memangnya kenapa? Ini kan rumah kamu, adik iparnya, masa kue aja harus ribut," kata ibu mendekat padaku dan Dika. "Dika mau ini?" Ibu mengambil sepotong kue dan menyodorkannya pada anakku. Tapi bocah itu menggeleng, dia mungkin tau jika yang punya rumah tak mengihklaskan kuenya untuk dimakan olehnya. "Ra popo nduk, ini kuenya dimakan yo," kembali ibu menyodorkannya, tapi Lagi-lagi anakku menggelengkan kepala. "Hm, giliran dikasih gak mau, caper aja jadi orang, udah susah lagunya banyak," dengus Leni. Aku ingin menjawab perkataan adik iparku itu, tapi wajah Mas Kunto melintas, seolah berkata kalau aku harus sabar. "Yo wiss, mandi dulu sana, Sum, ajak anak-anakmu mandi, ganti bajunya, ujar Ibuku, menengahi keadaan. Kumandikan Dika dan Diki, anak-anak memegang perutnya yang nampak kempes. "Dika belum makan bu, tadi pagi cuman nyobain lemper abon dari Dani, enak banget, kapan ibu bikin kue enak kayak gitu?" Mata bulat itu menatapku. "Nanti ibu buat yang banyak untuk kalian," jawabku, mengusap kepala keduanya. "Untuk Abang juga kan bu?" Diki bertanya. "Iya abang juga," jawabku tersenyum. Tanganku membuka kantong kresek merah dimana aku meletakan pakaian ganti kami, tapi bungkusan itu kosong, yang tersisa hanya koran bekas pembungkusnya. "Loh kok bajunya enggak ada! Kemana pakaian kita?" Segera kusibakan selimut sprei, khawatir terselip di bawahnya. Tapi nihil. Mataku berkeliling mencari pakain yang sangat aku ingat jika ada di dalam kresek itu, kuletakan di atas tempat tidur, di sevelahnya ada tas usang milikku, dimana aku menaruh dompet dan ponsel jadulku. "Mana bajunya Bu?" Dika bertanya, dia ikut mencari. "Kalian tunggu di sini ya, ibu tanya mbok Iyam dulu." Segera aku ke luar kamar, menghampiri asisten Rumah tangga Leni yang tengah membawa ember, rupanya dia akan membersihkan teras. "Mbok, liat pakaian gantiku dan anak-anak tidak? Itu loh yang saya taruh di kresek merah?" Wanita tua itu mengerutkan dahi keriputnya. "Pakaian ganti? Yang di kresek merah?" Dia malah bertanya balik padaku. "Iya, yang saya bawa kemarin itu loh mbok," "Sebentar," mbok Iyam menarik tangaku ke arah belakang rumah. "Itu bukan ya? Kata nyonya itu baju bekas, tadi saya pake buat bersih bersih dapur, maklum hujan deras, lantai di belakang basah jadi di keringkan pake itu," mbok Iyam menunjuk pada tumpukan pakaian basah dan kotor di bawah pohon mangga di belakang rumah Aku terpaku, mataku basah. "Cukup sudah kalian menghina kami, tak akan kudiamkan kali ini," kukepalkan tangan, gigiku gemelutuk. Mbok Iyam menatapku gusar. "Ikut saya Mbok," kutarik tangannya menuju ruangan di mana Leni dan keluarga yang lain tengah berkumpul. "Siapa yang berani membuang baju kami heh?" Suaraku menggelegar. Semua menatapku, ibu yang tengah menyuapi Fikri anaknya Tri nampak kaget melihat perubahan sikapku hari ini. Tak ada yang menjawabnya. "Jangan bohong kalian, sini mbok ayo katakan yang sebenarnya, biar keluarga ini tau betapa jahat dan culasnya mereka!" Kutarik tangan Mbo Iyam ke hadapan semuanya. "Ayo bicara mbok, siapa yang menyuruh mbok menjadikan baju kami kain pel?" Mataku menatap ART itu dengan tajam. "Kata Bu Leni bajunya udah jelek, jadiin kain pel saja, untuk mengeringkan ruangan belakang yang kebanjiran," ujar Si Mbok terbata-bata. Aku menyeringai. Ibu nampak kaget, lalu menatap Leni. "Apa benar itu Len?" tanyanya gusar. "Iya, memang aku yang nyuruh, lagian malu-maluin aja, baju usang gitu masih dipake, gamis buluk pantesnya ya jadi kain pel, jadi lap saja, iya kan Tri?" Leni tersenyum ke arah Tri. Rupanya keduanya memang kompak untuk mempermalukan kami. "Oh, jadi karena baju itu jelek, buluk, hingga kalian pikir pantas untuk membuangnya," geramku. Lalu dengan lantang aku bicara kembali. "Lihat di sana! Siapa dia? Dia suamiku, ayah dari anak-anakku, kakak kandung kalian, yang kalian anggap hina, kalian anggap mempermalukan keluarga karena hanya jadi pemulung di Jakarta, tapi apa kalian lupa siapa yang dulu membelikan kalian pakain bagus? Membayar uang sekolah kalian? Sudah lupa juga pada siapa kalian merengek saat ingin sepatu dan seragam baru, hah? Pada dia, si pemulung yang kalian hina, lelaki yang tak pernah memikirkan dirinya, nasibnya, bahkan perutnya hanya karena ingin adik-adiknya hidup layak, perutnya kenyang, pakainnya bagus, tapi sekarang setelah kalian sukses, kalian lupa padanya!" geramku. Semua terdiam, mata Leni dan Tri saling berpandangan. Ibu mulai menangis. "Pria itu ikhlas, ridho, apa pun yang kalian katakan padanya, baginya kalian adalah harta terbesarnya, gelar yang kalian sandang adalah kebanggaan, kebahagiaan kalian adalah cita-citanya, tapi aku sebagai istrinya tidak! Mulai saat ini kuharamkan apa yang telah suamiku berikan pada kalian, biar jadi penyakit yang bisa membuat kalian sadar, bisa mengingat ada perjuangan, keringat dan air mata seseorang dalan kesuksesan yang kalian raih saat ini, camkan itu!" Kutinggalkan besar itu dengan tergesa. Kembali ke kamar, mengganti pakain anak-anakku dengan yang tadi dipakainya, walaupun kotor dan sedikit basah, tak apalah asal mereka tidak t*******g saja. Kukemasi semua barangku, tanpa pamit lagi kutinggalkan rumah ini dengan kemarahan yang meluap. Mas Kunto hanya menatapku heran saat kutarik tangannya untuk segera pulang. Kami tak peduli baju dan badan yang basah kuyup. Biarlah air hujan ini mendinginkan hati dan memadamkan api kemarahan yang membara di d**a. Cukup sudah sabar itu, memang benar, orang yang mengalah kadang disangka kalah, lalu ditindas kembali. Dan tak akan lagi kubiarkan itu terjadi.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
9.1K
bc

Terjebak Pemuas Hasrat Om Maven

read
39.1K
bc

Petaka Semalam di Kamar Adik Ipar

read
7.0K
bc

Rayuan Sang Casanova

read
4.1K
bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
31.5K
bc

Desahan Sang Biduan

read
41.8K
bc

Benih Cinta Sang CEO 2

read
19.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook