Episode 1. Tak Terima Ditolak

1726 Kata
HABIS... Larasati sedang membalik gantungan kertas bertuliskan kata itu. Pertanda dia sudah menutup warung baksonya. Gadis cantik berpenampilan tomboy, pekerja keras tapi sebatang kara itu bersyukur sekali, baksonya hari ini habis terjual semua. Apalagi cuaca sore ini sedang mendung tebal, sepertinya hujan akan turun deras. Dia ingin segera pulang sebelum hujan turun. Beristirahat dengan nyaman dan tenang di rumah. Melepas penat dan lelah setelah kerja seharian. Mbak Surti asistennya, sudah dia surung pulang sejak tadi. Setelah Laras melihat baksonya tinggal sedikit saja. BRAK... BRAKK.. Laras kaget bukan kepalang. Tidak ada angin kencang. Hujan juga belum turun. Tiba-tiba saja kursi-kursi plastik yang masih tertata di halaman depan warung, beterbangan terlempar hingga ke samping kanan kiri dia berdiri sekarang. “Ada apa ini?” sebutnya kaget. “Perasaan nggak ada angin, hujan juga belum turun, kok tiba-tiba kursinya pada beterbangan begini, sih,” “Aneh sekali,” Larasati, membalikkan badan melihat ke halaman depan warungnya. Dilihatnya seorang pemuda tampan berbadan kekar tegap, berjaket kulit hitam dengan kaos berwarna putih, dipadu dengan celana jins dan sepatu warna hitam juga, berkacak pinggang sambil menaruh sebelah kaki kananya di atas kursi, menatap Laras dengan sorot mata tajam penuh kemarahan. Di belakangnya sebuah mobil sport mewah berwarna merah berhenti di tepi jalan. Laras tahu siapa dia. Dia adalah Ryan (baca Raiyen) Raharja, pewaris tunggal Raharja Group. Putra satu-satunya Darmawan Raharja, salah satu billionaire kenamaan negeri ini. Ketenarannya tidak kalah dengan selebritis papan atas. Banyak gadis yang memujanya bak pangeran saja, bermimpi suatu hari nanti bisa dipersunting olehnya. “Hei... Apa kamu yang menendang kursi-kursiku ini?” tanya Laras sambil berjalan mendekat ke arah pemuda itu. “Ya... Itu hanyalah kursi murahan seperti pemiliknya, tentu saja pantas ditendang,” jawabnya dengan angkuh. JLEBB... Bukan hanya kursi tapi Laras juga turut dihina nya. Cukup mengagetkan bagi Laras, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Ryan. Sikapnya ini, sangat bertolak belakang dengan yang selalu diperlihatkan di depan publik. Ryan selalu tampil di masyarakat tak ubahnya pangeran berjiwa kesatria. Tampan, kaya, baik hati, juga punya jiwa sosial tinggi. “Oh ya.. Terima kasih, kamu telah menghinaku,” ucap Laras sinis. “Jadi inikah wajah aslimu? Sungguh, aku tidak menyangka, ternyata kelakuanmu seperti preman pinggir jalan yang biasa aku temui,” ejek Laras. “Iya benar, inilah wajah asliku. Kau mau apa?” tanya Ryan. “Oh... tentu saja aku mau memberitahumu, biarpun murahan tapi kursi-kursi itu milikku yang sangat berharga, kamu tidak berhak untuk menghancurkannya, ngerti!” tegas Laras kesal. Ryan menurunkan sebelah kakinya dari kursi, mendekati Larasati. “Tidak, kenapa aku harus mengerti dirimu. Tujuanku kemari memang ingin menghancurkanmu dan barang-barangmu,” kata Ryan datar. “Kalau begitu aku akan melaporkan mu ke polisi, hah?!” ancam Laras kemudian. “Laporkan saja, aku tidak takut,” sahut Ryan santai. “Aku juga bisa melaporkan balik dirimu karena telah melakukan tipu daya pada orang tuaku. Kau telah memainkan sebuah drama kan, untuk mengambil simpati papa, sehingga dia berniat menikahkan aku dengan dirimu,” jelas Ryan sambil menunjuk-nunjuk Laras. “Tidak... Aku tidak melakukan tipu daya atau pun memainkan drama pada orang tuamu,” jawab Laras tegas. Tapi dia juga bingung. Bagaimana bisa Ryan berpikir kejauhan, jika dirinya telah melakukan tipu daya pada tuan Darmawan ayahnya itu. Dia dapat informasi dari siapa atau pemikiran negatif itu dari mana, pikirnya. Tiba-tiba Laras malah tertawa terbahak-bahak di hadapan Ryan karena menurutnya ini sangat menggelikan sekali. Tampangnya saja yang macho, cool, gagah perkasa. Ternyata isi otaknya udang, pikirannya dipenuhi dengan hal-hal yang berbau paranoid. Mungkin kekayaannya membuat dia jadi merasa insecure sendiri, setiap ada orang yang mendekat jadi takut dan curiga mereka akan mengincar hartanya, “HAHAHA... ” “Lucu sekali.. Tampang saja superman tapi otak parnoman,” ejek Laras sambil petentang - petenteng di depan Ryan. Gadis berambut panjang sebahu, selalu diikat ke belakang itu kemudian menepok jidatnya sendiri, “PLOKK” Sedangkan Ryan hanya mendengus kesal. Sebenarnya dia merasa muak melihat Laras makin banyak tingkah dan banyak omong itu. Namun harus ditahan. Ryan ingin melihat sejauh tingkah mana gadis yang telah menjatuhkan harkat dan martabatnya di hadapan papanya. Sebelum dia menghancurkannya karena berlagak sok menolak seorang Ryan Raharja. “Kamu salah paham tuan muda congkak,” bantah Laras. “Dengarkan baik-baik ya, jaga mentalmu jangan sampai jatuh atau kamu jadi tidak percaya diri” tuturnya. “Cuiihh... Nggak usah sok kamu!” kata Ryan “Aku tidak pernah melakukan tipu daya atau pun memainkan drama pada orang tuamu. Tapi yang benar itu, justru aku telah menolak pinangan orang tuamu untuk menikah denganmu. Kalau kamu tidak percaya tanya saja pada papamu,” jelas Laras panjang lebar penuh percaya diri melotot pada Ryan. “Sudahlah nggak usah ngeles nona. Aku tidak akan mempercayai kata-katamu. Aku tahu persis maksud dan tujuanmu dibalik penolakan itu. Sebuah trik murahan orang miskin,” sahut Ryan. “Tidak, aku tidak ngeles... Aku juga tidak menggunakan trik... Ini kebenarannya... Aku yang menurutmu jelek dan murahan seperti kursi-kursiku itu, memang benar-benar telah menolakmu!” jelas Laras kesal sambil mengarahkan jari telunjuknya pada kursi - kursinya yang telah bergelimpangan. “Meskipun kau tampan, kaya dan populer, banyak gadis seantero negeri ini bertekuk lutut padamu, aku sama sekali tidak tertarik padamu, jelas!” perjelas Laras dengan bangga. “DIAM KAU!” bentak Ryan murka bak suara petir yang mulai menyambar-nyambar saat ini. Amarah Ryan pun membuncah. Kursi yang masih tersisa tak luput dari tendangan kaki kananya hingga terpental jauh menabrak dinding depan warung. Darahnya naik ke ubun-ubun dengan cepat sehingga tidak bisa menahan diri untuk marah. Dia merasa begitu terhina dan tidak terima mendengar kata penolakan atas dirinya yang baru saja keluar dari mulut Laras. Sampai di usia dua puluh delapan tahun, belum pernah dia ditolak oleh siapa pun. Bahkan dari papanya sendiri. “Jangan katakan kau menolakku atau tidak tertarik padaku,” kata Ryan seraya mendekatkan mukanya yang merah padam ke muka Laras. Hingga membuat gadis itu untuk sesaat merasa bergidik ngeri, menatap matanya. “Itu salah Nona,” Laras sedikit mundur ke belakang tapi Ryan pun terus maju selangkah demi selangkah sambil mendorong-dorong bahu Laras, membuat gadis itu tidak punya pilihan lain selain terus mundur hingga berhenti di dinding bagian depan warungnya. Ryan seketika menarik kerah baju Laras dan mendekatkan mukanya ke muka Laras dengan gigi gemeretak seakan ingin mengunyah gadis itu. Tapi Laras berusaha menunjukkan muka santai. Meskipun sedikit merasa sesak, dia tidak berusaha meronta-ronta melepaskan diri. Percuma saja, kekuatannya tentu tak sebanding dengan kekuatan Ryan yang kekar. Tentu saja, sambil mencari akal untuk melepaskan diri. Kemudian Ryan melanjutkan kata-katanya “Karena Ryan tidak suka ditolak. Meskipun Ryan tak pernah menyukaimu, hanya Ryan lah yang boleh menolakmu,” Sungguh, dongkol rasanya, mendengar ucapan Ryan yang terkesan semena-mena ingin Laras langsung kebakaran jenggot tidak terima. Dia mendongakkan wajahnya seolah melanggar haknya. “Eeeehh.. Enak saja...Tidak bisa! Siapa kau? Apa kamu pikir karena kamu anak billionaire, konglomerat, lantas kau bisa larang-larang orang seenaknya. Memang kenapa kalau aku menolakmu atau tidak tertarik padamu, hah? Kau mau mencak-mencak nggak terima? Harusnya siapapun yang menolak pinangan ini kamu terima saja. Yang penting tidak terjadi pernikahan kan? Pakai otakmu!” jawab Laras sambil menunjuk jidat Ryan yang licin. “Aku berhak menolak siapa pun di dunia ini termasuk dirimu, ngerti!” tegas Laras lagi sambil menginjak kaki sebelah kanan Ryan, dengan maksud agar pemuda itu melepaskan cengkeraman pada kerah bajunya “ AAAUWW... “ teriak Ryan kesakitan. Dan benar saja spontan dia lepaskan cengkeraman tangannya. Fokusnya langsung beralih pada sebelah kakinya yang terasa sakit. “Sialan, dasar gadis licik,” umpat Ryan. “Rasakan!” kata Laras segera menjauhkan diri dari Ryan. Tapi baru beberapa langkah saja, Ryan buru-buru meraih tangan Laras dan berhasil menahannya. Lalu menariknya hingga kembali mendekat dengan badannya hingga membuat Laras kembali tak berkutik. “Eh, mau kemana kau? Urusan kita belum selesai,” kata Ryan sambil mencengkeram kedua tangan Laras kebelakang. Akhirnya hujan turun dengan deras membasahi keduanya. Tak ketinggalan kilat dan petir menyambar kian kemari bergantian. Angin pun berhembus kencang. Laras masih meronta-ronta tak berdaya, berusaha melepaskan kedua pergelangan tangannya dari cengkeraman Ryan. Sebenarnya Ryan sangat tidak menyukai suasana ini. Ingin Rasanya dia segera pulang ke rumah. Tapi apa boleh buat, dia sudah telanjur bikin perhitungan dengan Laras. Dia harus menuntaskan nya lebih dulu. Kalau tidak, dia bisa mati penasaran. DUAARRR.... Sambaran petir yang sangat besar baru saja menyambar di dekat warung bakso Laras. Tiba-tiba saja Ryan melepaskan tangan Laras. Gadis itu segera mengibas-ngibaskan kedua tangannya yang pegal. BRUKKK.... Laras mendengar ada suara yang jatuh ke lantai di belakangnya. Saat menoleh, tampak Ryan sudah terkapar tak berdaya di tanah. Langsung dia berbalik ke belakang dan menghampirinya. “Waduh.. Dia kenapa? Pingsan atau jangan-jangan dia sudah mati?" Laras menyentuh nadi Ryan dan masih berdetak “ Hei, bangun... Kamu ini kenapa?” kata Laras panik sambil menggoyang - goyang tubuh Ryan yang tidak bergerak. “Apa dia tersambar petir tadi ya? Tapi nggak ada tanda baru terbakar,” “Terus, bagaimana ini? Mana hujannya deras sekali. Aku tidak bisa membawanya ke rumah sakit sekarang,” Tanya Laras jadi panik sendiri. Laras mencari saku di jaket atau celana Ryan, berharap bisa menemukan handphone untuk menghubungi keluarga Ryan, “Nggak ada... Masak dia nggak bawa handphone sih? Mungkin tertinggal di mobilnya,” “Tidak, handphone nanti saja, yang penting dia aku bawa ke dalam dulu. Bagaimana kalau ada yang melihat dan salah paham padaku? Bisa-bisa mereka kira aku telah melakukan kejahatan padanya? Apalagi kalau ada yang tahu dia adalah anak orang kaya, bisa-bisa ada yang manfaatin,” gumam Laras. Laras bangkit, lalu menyeret tubuh Ryan dengan cara menarik kedua kakinya ke dalam warung. Sampai di dalam, dia segera menutup pintu, menghidupkan lampu, karena hari sudah gelap. Mencari kain lap untuk mengeringkan badan Ryan yang basah kuyup. “Maa... Mama... Jangan tinggalin Ryan. Kak Sonya... jangan pergi,” sebut Ryan berulang-ulang. Suaranya terdengar bergetar. “Syukurlah.. Dia mengigau itu tandanya dia tidak meninggal. Ku pikir dia terkena serangan jantung karena kaget ada petir tadi,” Laras lalu meraba kening Ryan. “Panas, mungkin itu sebabnya dia jadi demam?" katanya kemudian mengambil taplak meja yang ada di warungnya untuk menyelimuti Ryan yang terbaring dilantai. Dengan sepenuh hati digosok-gosoknya kedua telapak tangan Ryan yang dingin dengan kedua tangannya agar tetap hangat. Bahkan Laras sendiri tidak dirasa pakaian di badannya juga basah. Karena kelelahan tanpa sadar akhirnya dia pun tertidur dengan tubuh bersandar di dinding. Semantara kedua tangannya masih memegang tangan Ryan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN