NOVIA SANTA = Pengantin Suci
***
TIDAK mudah hidup berkalung dosa dan dibesarkan dalam lembah hitam rumah bordil di kawasan kota Roquetas de Mar. Anak perempuan yang baru dilahirkan beberapa minggu lalu itu bahkan belum diberi nama ketika ayah dan ibunya menjualnya pada seorang bunga latar karena terdesak hutang judi. Entah rasa iba seperti apa yang terlintas dalam benak Paloma sehingga membeli bayi itu dan membesarkannya meski ia tidak sepenuhnya bisa berlakon sebagai ibu. Ia hanya menyediakan makanan, pakaian, dan sececap pendidikan sekolah dasar untuk anak itu.
Anak belian itu berusia 8 tahun ketika perang antar gangster terjadi. Ledakan drum mesiu menimbulkan kebakaran hebat, meruntuhkan kota kecil Roquetas de Mar. Gadis kecil yang tidak mengerti apa yang terjadi, tahu- tahu ia berada di jalanan pinggiran kota Cudillero, kota kecil yang berada di garis Pantai Amalfi, Spanyol. Kota itu sangat cantik oleh arsitektur bangunan berpetak- petak berwarna warni pastel berjejer di sepanjang bukit dan pantai indah yang membentang luas.
Angin malam yang dingin berembus kencang, menusuk hingga ke tulang dalam tubuh mungilnya yang berpakaian compang- camping serta berselaput jelaga bekas kebakaran. Susah mengenalinya sebagai anak manusia di kegelapan malam itu, tetapi sepasang suami istri yang cukup berumur memasukkannya ke rumah mereka. Rumah mungil bertingkat dengan cat warna coral muda. Hangat dan nyaman.
Suami istri yang lama menyepi mendapatkan kesibukan baru. Mereka memandikan si gadis kecil, memberikannya pakaian bersih dan menghidangkan untuknya sepiring paella lezat, panganan terbuat dari nasi bercampur rebusan tiram dan udang. Makanan terbaik yang pernah dirasakan gadis kecil itu seumur hidupnya.
Mereka tidak tahu namanya dan gadis itu tidak bisa bicara. Mereka akhirnya memberinya nama Coraima Aldevaro, memakai nama dan identitas putri mereka yang telah meninggal dunia. Tidak ada yang bisa diceritakan gadis itu mengenai kehidupannya sebelum tiba di Cudillero dan dua orang tua kesepian itu pun tidak ingin anak baru mereka diambil sehingga mereka tidak mempermasalahkan identitas masa lalunya.
Pasangan Aldevaro membawa Coraima terapi dan diketahui kemampuan bicaranya menghilang karena terkejut akibat bunyi yang terlalu keras. Setelah rutin terapi, Coraima bisa bicara sedikit- sedikit dan berangsur- angsur normal. Coraima mendapatkan kasih sayang dan perlakuan yang layak. Dia tumbuh menjadi gadis yang berbahagia.
Belasan tahun berlalu, Coraima menjelma sebagai gadis dewasa yang sedang menebar pesona. Berenergi, mandiri, dan punya pekerjaan yang bagus sebagai juru masak di dapur Hotel Reyes Cudillero. Dia berusia 25 tahun dan akan segera menikah dengan kekasihnya, sang pemilik hotel, bernama Godfreido Reyes.
Coraima berlutut di depan ayah dan ibunya yang duduk bersantai di teras menikmati pemandangan deburan ombak dan angin sepoi- sepoi. Gadis berambut cokelat gelap itu semringah seraya memperlihatkan cincin bertatah berlian mungil di jari manisnya. "Mami, Papi, Señor Reyes sudah memberiku cincin. Ia melamarku menjadi istrinya!" ucap Coraima bersama kegembiraan yang terlihat jelas di wajahnya.
"Wah, cantik sekali! Bellezza, dulce bebe!" seru Juanita Aldevaro. Ia meraih tangan Coraima untuk mengamati lebih dekat perhiasan mungil itu. Meskipun penglihatannya kabur, tetapi ia tahu itu benda yang sangat indah.
"Sí, Mami!" Coraima semringah.
Armando Aldevaro mengusap lembut rambut bergelombang Coraima. "Semoga kau berbahagia, dulce bebe," ucap pria tua itu penuh kasih.
Gadis itu menyahut riang, "Sí, Papi!"
Gereja Iglesia de San Antonio de Los Alemanes, Madrid, tempat mereka melangsungkan pernikahan. Sebuah gereja Katolik Roma berarsitektur Baroque, dinding beserta langit- langit dipenuhi lukisan sakral orang- orang suci dalam taman damai surga dan langit biru cerah. Di depan altar utama —Godfreido Reyes— pria tampan berusia 34 tahun itu menunggu antusias pengantinnya.
Coraima masuk digandeng sang ayah yang tampak gagah hari itu. Gaun putih bersih yang indah melekat sempurna di tubuhnya. Di balik kerudung putih itu, ia tersenyum berdebar- debar oleh sesaat lagi ia akan menikahi pemuda impiannya. Ia bisa melihat kekasihnya tersenyum saat menyambut uluran tangannya. Bersama mereka berlutut di altar.
Berhadapan dengan Pastor, Coraima dan Godfreido menumpangkan tangan mereka di atas kitab suci dan menerima sakramen perkawinan.
Coraima mengucapkan janjinya lebih dulu. "Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua, para saksi, maka saya, Coraima Aldevaro, dengan niat yang suci dan ikhlas hati telah memilihmu, Godfreido Reyes menjadi suami saya. Saya berjanji untuk selalu setia kepadamu dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan juga sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan juga menghormatimu sepanjang hidupku. Saya bersedia menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya dan akan mendidik mereka secara Katolik. Demikian janji saya demi Allah dan Injil suci ini, semoga Tuhan selalu menolong saya."
Godfreido mengucapkan perkataan yang persis sama. Ia menatap lekat kekasihnya yang semakin memesona berdandan jelita khusus untuknya. "Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua, para saksi, maka saya, Godfreido Reyes, dengan niat yang suci dan ikhlas hati telah memilihmu , Coraima Aldevaro menjadi istri saya. Saya berjanji untuk selalu setia kepadamu dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan juga sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan juga menghormatimu sepanjang hidupku. Saya bersedia menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya dan akan mendidik mereka secara Katolik. Demikian janji saya demi Allah dan Injil suci ini, semoga Tuhan selalu menolong saya."
Cincin pengikat ikatan suci mereka disematkan di jari manis masing-masing lalu kecupan mesra antar sepasang pecinta itu disambut tepukan meriah hadirin. Konveti kelopak bunga berwarna putih dan pastel bertaburan, sepanjang jalur karpet mereka jalani sambil bergandengan tangan, saling tatap, dan berbalas senyum.
"Aku mencintaimu, Coraima," ucap Godfreido saat sinar matahari di teras gereja menerangi puncak kepala mereka.
Coraima membalas perkataan pria bermata biru itu sambil terpana. "Aku juga mencintaimu, mi amor." Mereka saling menyapukan bibir lagi, di bawah taburan kelopak bunga, kemilau matahari dan tatapan menyentuh hati semua orang.
Pesta jamuan mewah merayakan penyatuan dua hati itu dilaksanakan di Hotel Reyes Madrid. Semua orang menikmati suasana bahagia dan makanan lezat yang disajikan. Tua, muda, anak-anak, pelayan dan undangan, para karyawan, serta rekan kerja Coraima di bagian dapur, semuanya bergembira ria kala itu. Mereka menaruh harapan besar dan doa kebahagiaan tulus untuk pasangan muda yang sudah berkencan selama 2 tahun. Suara tawa canda dan percakapan ramah membahana di penjuru ruangan.
Coraima dan Godfreido berdansa mesra mengikuti musik yang mengalun lembut. Dekapan erat tidak pernah lepas dan belaian lembut sepanjang waktu di tubuh Coraima menunjukkan betapa memujanya Godfreido pada istrinya. Cumbuan ringan kerap dilancarkannya menggelitik saraf Coraima sehingga tertawa bersamanya.
"Bagaimana kalau kita ke kamar, cariño mío?" bisik Godfreido.
Wajah Coraima merona dan tertunduk menyembunyikan senyum malu-malunya. Ia melepaskan diri dari dekapan suaminya. "Biar aku bicara dengan Mami dan Papi dulu. Mereka bilang ingin pulang ke Cudillero hari ini juga."
"Oh? Tidak mau menginap? Padahal aku sudah menyediakan kamar dan layanan khusus untuk mereka." Godfreido mengiringi Coraima menuju meja ayah dan ibunya.
"Mereka sudah tua dan tidak pernah meninggalkan rumah, tentunya mereka tidak bisa tenang jika tidak berada di kursi malas atau tempat tidur mereka sendiri," kata Coraima merasa prihatin, tetapi juga tidak bisa berbuat apa- apa karena akan sukar baginya mengurus orang tuanya selama bersama Godfreido.
Armando memegangi tangan Juanita, membantunya bangkit dari kursi karena mereka hendak pergi. Melihat putri mereka mendekat, keduanya berseru gembira. "Oh, dulce bebe, kebetulan sekali, kami mau pamit."
Coraima mendadak berderai air mata yang tidak bisa ditahannya karena itu akan jadi momen perpisahan resmi mereka. Ia memeluk keduanya. "Sí, Mami, Papi. Tidak bisakah kalian tinggal barang semalam saja?"
Juanita terisak haru, tidak bisa berkata-kata. Armando yang lebih kuat menepuk-nepuk punggung Coraima dan menyenangkannya. "Tidak, bebe. Kami sudah tua dan beristirahat di rumah lebih menenangkan kami. Ini hari penting bagimu. Yang kami perlukan adalah kau hidup bahagia dan bergembira bersama orang yang kau cintai."
Armando melepaskan pelukan Coraima. Gadis itu mengusap air matanya hati- hati karena menjaga riasan. Godfreido memeluk Armando. "Selamat menikmati malam pengantin kalian," canda Armando sambil menepuk- nepuk punggung pemuda itu.
"Sí, señor. Terima kasih," ucap Godfreido.
Pesta belum usai di aula. Para undangan masih asyik bergaul dan makan-makan. Coraima dan Godfreido mengantar Juanita dan Armando ke mobil APV yang akan mengantar mereka ke Cudillero. Perlu 5 jam perjalanan darat dari Madrid ke Cudillero, mobil dan sopir suruhan Godfreido menyediakan perjalanan yang nyaman bagi keduanya.
"Telepon aku kalau kalian sudah sampai di rumah, Mami," pesan Coraima.
"Tentu, dulce bebe. Kami harap itu tidak mengganggu malam pertamamu," ledek Juanita. Putrinya tersipu- sipu lagi. Godfreido adalah kekasih pertama dan akan menjadi pria pertama bagi Coraima. Tentunya, gadis itu mengharapkan malam romantis seindah di telenovela.
"Tidak, Mami. Tolong, telepon aku kapan saja kalian tiba, agar aku tidak kepikiran," ujar Coraima.
Mereka saling rangkul dan mengecup pipi salam perpisahan. Mobil melaju meninggalkan emperan hotel. Coraima melambai sampai mobil itu tidak tampak lagi. Coraima masih terpaku di teras hotel, kalau saja Godfreido tidak mengangkatnya dan menggendongnya ke dalam hotel. Ekor gaun dan kerudung pengantinnya menjuntai ke lantai.
"Aah, mi amor, kau membuatku terkejut," rengut Coraima, memukul manja pundak suaminya, lalu melingkarkan tangannya ke leher pria itu. Sangat menyenangkan memiliki pria yang sanggup membawamu menuju kamar tempat kalian akan memadu cinta.
Sambil berjalan mengangkat mempelainya, Godfreido membalas rengutan Coraima dengan kecupan mesra. "Aku harap kau tidak akan terkejut ketika menemukan kita satu kamar dan tidur bersama dalam keadaan bugil," godanya.
Coraima kembali merona, pipi bersemu manis bagai bias coral merah muda. "Untuk pertama kali aku akan terkejut, selanjutnya kurasa aku akan terbiasa," balas Coraima.
***
GODFREIDO tertawa seraya menggosok hidungnya ke puncak hidung Coraima. Gadis yang sangat dicintainya dan terjaga kesuciannya sekarang resmi menjadi miliknya. Ia akan menjadi pria yang memiliki Coraima seutuhnya. Ia membisiki gadis itu dengan suara serak. "Sebentar lagi akan kubawa kau menuju surga, cariño mío ...."
Coraima tersenyum lalu menyambut kecupan ringan bibir Godfreido. Mereka memasuki lift yang sebentar saja membawa keduanya ke lantai VVIP tempat kamar pengantin mereka. Cum.buan ringan dan tawa kecil tidak berhenti di sepanjang selasar hingga tiba di depan pintu sebuah kamar. Godfreido menyandarkan Coraima ke dinding. Ia menggunakan sebelah tangan merogoh kartu akses di sakunya, lalu pintu terbuka dan ia kembali menggendong Coraima memasuki kamar.
Kamar yang luas, dilengkapi seperangkat kursi tamu, perapian, serta perangkat ranjang dan lemari- lemarinya berdekorasi senada. Godfreido menjatuhkan Coraima di ranjang, seraya membungkuk menghujaninya dengan sesapan ringan. Gadis itu tidak bisa berucap apa pun karena sibuk menangani bibirnya. Godfreido melonggarkan kerah dan lengan baju, akan tetapi ketukan keras di pintu membuyarkan perhatiannya. Ia menarik diri dari Coraima yang mengerjap- ngerjap nanar. "Sebentar, cariño mío, mungkin ada sesuatu yang penting," katanya.
Godfreido menuju pintu untuk menemui pengunjungnya. Coraima duduk di tepi ranjang, membenahi gaunnya. Terdengar sayup- sayup percakapan Godfreido dengan Demetrio, asisten pribadinya, bahwa ada tamu penting datang untuk mengucapkan selamat padanya. Godfreido menoleh ke dalam kamar lalu bersuara agak nyaring pada Coraima. "Cariño mío, aku pergi sebentar. Ada orang yang harus kutemui." Tanpa menunggu jawaban Coraima, Godfreido pergi. Pintu tertutup rapat dan Coraima seorang diri di kamar itu.
Terasa senyap dan tidak terdengar suara apa pun karena setiap kamar dilapisi peredam suara. Coraima melangkah ke jendela, menyibak sedikit tirai agar ia bisa melihat jelas bias kemerahan matahari terbenam. Coraima tersenyum tipis, senang bisa menikmati matahari terbenam di kota Madrid, hari pertama ia menyandang status sebagai Nyonya Reyes. Coraima mengelus cincin di jari manisnya dan lagi- lagi ia tersenyum sendiri mengingat betapa repotnya Godfreido memilihkan cincin untuknya hanya karena ucapannya, "Entahlah, mi amor, semuanya tampak indah."
Ia tidak paham mengenai perhiasan dan berlian. Baginya semua tampak indah, lagi pula ia tidak pernah menggunakan perhiasan sepanjang waktu karena akan mengganggu pekerjaannya saat memasak. Padatnya pekerjaan di dapur juga membuatnya jarang berdandan. Rambut harus terikat rapi, baju tertutup, dan kuku tidak boleh panjang. Telunjuk kanannya sedikit kasar oleh kapalan karena sering bergesekan dengan peralatan dapur. Coraima tersenyum lagi teringat Godfreido mengusap tangannya dan tidak sampai hati melihat kapalan itu. Pria itu berkata, "Berhenti jadi chef. Jadi istriku saja 24 jam penuh, seumur hidupmu."
Brak!
Coraima tersentak karena pintu dibuka kasar, lalu beberapa pria bersetelan tuksedo memburu masuk ke dalam kamar sambil menyeret Godfreido yang wajahnya babak belur oleh lebam bekas pukulan. Demetrio ada bersama mereka, didorong di bawah todongan senjata api. Coraima membalik tubuhnya menghadap orang- orang itu. Matanya terbuka lebar dan tubuh langsung gemetaran melihat semua orang memegang senjata api, mengarahkannya pada Godfreido dan Demetrio. Coraima langsung membisu, tidak bisa bersuara apa pun. Pita suaranya tercekat. Tangannya yang gemetaran mencengkeram rok gaun pengantinnya.
Godfreido didorong ke tengah ruangan dan dibiarkan terjatuh, mengesot di lantai. Pria itu juga tidak berkata apa pun, hanya menatap tajam kepada para penyanderanya. Tidak ada satu pun yang dikenal Coraima. Di belakang para pria itu, datang seorang lagi laki- laki yang membawa hawa paling mencekam di antara siapa pun. Seorang pria gagah perkasa, berwajah keras, setengah cacat oleh bekas luka bakar di bagian dahi hingga tulang pipi kirinya. Pria yang bahkan membuat kaki orang- orang gemetaran hanya dengan mendengar namanya. Salvador Torres, Sang Penyelamat.
Pria itu berdiri santai di depan Godfreido, menyulut cerutunya dengan wajah tersengih mencemooh. Tangannya berlepotan darah yang berasal dari hidung Godfreido. Batang tembakau berwarna cokelat gelap itu mengeluarkan asap tebal dan aroma khas tembakau Maduro. Asap tebal yang semula mengaburkan wajah sang pembunuh berdarah dingin, kemudian menipis dan terlihat jelas ia menelengkan kepala, sebelah sudut bibir terangkat menyunggingkan seringai penuh kekuasaan.
"Tidak ada seorang pun berani melangkahiku dan bebas melenggang seenaknya seperti dirimu, Godfreido," gumam Salvador di antara sumpalan cerutunya. Ia menyiapkan peluru pistol di tangannya. "Demikian, tidak ada ampunan untuk cecunguk sepertimu."
Dua pria menarik Godfreido agar berlutut dan mendongak pada Salvador. Kedua tangan Godfreido ditekuk ke belakang. Rahang berdarah Godfreido terkantup rapat, menolak berucap apa pun pada Salvador. Salvador pun bukan orang yang suka basa basi. Ia mengangkat pistolnya dan melepaskan tembakan yang tepat meledakkan kepala Godfreido.
Dor!
Suara letusannya sangat nyaring menggema dalam kamar. Coraima yang berdiri di tepi ruangan tersentak keras, lalu gemetaran tidak terkendali. Cairan merah tua terciprat ke wajahnya. Pendengarannya menginging. Di lantai berserakan isi kepala Godfreido beserta darahnya. Mata cokelat Coraima nanar tanpa bisa berkedip. Napas dan suaranya terasa mencekik di tenggorokan. Wajahnya hilang rona, menjadi seputih kapas dalam sekejap. Tubuh pria yang baru menjadi suaminya beberapa jam lalu itu dijatuhkan begitu saja seolah tidak berarti apa pun. Netra biru Godfreido terbuka lebar menatapnya dan air mata mengalir di sudut mata pria itu. Tanpa sadar Coraima berlutut, merangkak ke arah Godfreido, yang wajahnya berantakan nyaris tidak dikenalinya lagi. Coraima memunguti kepingan- kepingan wajah suaminya, kepingan- kepingan isi kepala suaminya, mengumpulkannya dan berusaha memasukkannya ke dalam kepalanya lagi. Cairan merah tua menggenang di lantai, meresap ke gaun pengantinnya.
Demetrio tergagap memanggilnya. "Se... Señora ...."
Coraima menoleh padanya, bola mata berbinar polos dan mengiba sekaligus, lalu kembali menatap tubuh suaminya. Dalam penglihatannya, Godfreido Reyes sebuah patung keramik yang jatuh dan ia hanya perlu mengumpulkan kepingannya untuk menyatukannya kembali.
"Sial, apa yang dilakukan wanita ini?" celetuk salah satu anak buah Torres. Pria itu mengangkat pistolnya dan mengarahkan kepada Coraima. Namun, Salvador menepis tangan pria itu dan menyuruh mundur. Ia berjalan mendatangi sang pengantin wanita yang sedang terganggu jiwanya. Ia menarik lengan perempuan itu agar berdiri dan berucap sesuatu, akan tetapi wanita itu tetap tidak bersuara apa pun. Hanya sorot mata yang tidak respons pada apa yang dilihatnya.
Salvador mendekap erat Coraima dan berujar dingin seraya membelai helaian rambut di kening pengantin jelita itu. "Suamimu telah mengambil sesuatu dariku, Coraima Aldevaro dan sebagai gantinya, aku mengambil semua miliknya, termasuk dirimu." Bibir Salvador tersenyum lebar dan menjilati lekuk telinga gadis itu sambil berkata, "Sambut aku sebagai suamimu, mi corazón. Malam pengantinmu akan diselesaikan bersamaku."