"Wah! Ayah mah parah!" racau Jeni saat mereka memasuki mobil.
"Ayah juga gak tahu kalau itu anaknya, teman ayah lumayan, istrinya juga oke," ayah bicara bingung sambil mulai menstarter mobil.
"Haduh! Dia pikir hidup di tahun berapa sih? Gayanya, potongan rambutnya, tebel kacamatanya, dan orangnya.. argh!" Jeni greget sendiri membayangkan saatnya bersama dengan pria tadi di halaman.
"Tapi kamu gak apa-apain dia kan? Kok keliatannya dia jadi aneh gitu setelah ketemu kamu?" tanya ibu melirik kebelakang pada Jeni menyelidik.
Jeni hanya tertawa tak jelas yang juga membuat ayahnya takut-takut, apalagi yang telah dilakukan sang anak, "Kamu apain lagi anak orang?"
"Oh!? Aku gak apa-apain kok, aku cuma bicara apa adanya ke dia. Dia orangnya kritis banget, waktu aku bilang hobyku pergi ke konser-konser artis korea sambil teriak-teriak saking gantengnya tuh artis. Aku suka stalker sosmed mereka dan aku suka hangout bareng temen-temen cuma sekedar seneng-seneng. Dia langsung ceramah, tapi ya akunya ngeyel, trus dia ilfeel sendiri aja," jelas Jeni kembali tertawa membayangkan ekspresi pria tadi saat ia jingkrak-jingkrak mempraktekkan dance asalnya.
"Apa coba salahku waktu ngandung nih anak?" ibu geleng-geleng kepala sambil menyenderkan kepala ke jendela mobil.
"Syukurlah..itu tak separah yang kamu lakukan sebelum-sebelum ini," ayah mendesah lega sambil mulai menancap gas.
"Kamu kan udah mau wisuda nih, kamu coba dulu kerja tempat ayah ya?" ayah memulai pembicaraan saat mereka tengah berada di perjalanan.
"Ayah..aku udah taken kontrak sama perusahaan lain," balas Jeni lelah, ini bukan pertama kalinya ia memberi tahu hal ini pada sang ayah.
"Ayah bisa aja ngebatalin kontrak kamu itu, jika disana kamu bakal mulai dari bawah,"
"Biarin, kalau emang nantinya aku berakhir di perusahaan ayah, aku udah punya pengalaman, jadi orang lain pada gak bisa merendahkanku hanya karena perusahaan itu milik ayah. Tapi aku sebisa mungkin gak ke tempat ayah,"
Ayah hanya menggaruk kepala bingung dengan usahanya membujuk Jeni yang tak pernah berhasil.
"Kalau emang begitu, ya ayah mesti terus usaha cari calon suami untuk kamu," lanjut ayah santai.
"Cari aja, aku juga punya banyak cara bikin cowok-cowok itu nyerah," balas Jeni santai menantang ucapan sang ayah.
Ayah tersenyum miring lalu berbisik pada sang istri yang duduk disampingnya,
"Kita keluarkan yang terakhir, jika yang ini masih gagal, baru kita berhenti buat cariin calon buat Jeni,"
Ibu tampak agak ragu dengan rencana ayah, "Serius? Yakin kita mau mempertemukan mereka?"
"Jeni tidak mempan dengan pria biasa. Jeni itu keras kayak batu, kita datengin aja tukang batunya, dia bakal paham harus apain batu itu biar bagus,"
Ibu menahan tawa sambil melirik Jeni kebelakang yang tengah sibuk dengan ponselnya, "Tampaknya ini akan menyulitkan Jeni,"
"Kita liat, apa Jeni bisa ngelawan yang ini?"
"Kita pertemukan mereka setelah Jeni wisuda,"
*** *** *** *** ***
"Sayang, nanti pulang kerja kamu langsung pulang ya..," ujar ibu pada Jeni yang sedang memakan roti isi sebagai santapan paginya.
"Emangnya kenapa?" tanya Jeni santai.
"Itu, ada yang mau ketemu sama kamu," balas ibu menuangkan air minum pada ayah.
Jeni melirik sang ayah dengan tatapan menyelidik, "Jangan katakan ini perjodohan lagi, kupikir ayah sudah kapok karena akhir-akhir ini gak kenalin aku sama siapapun,"
"Uhm, ya gimana ya?" ayah hanya senyam senyum asal.
"Kalau aku gak mau gimana?" tantang Jeni mengancam.
"Ayah bakal jodohin kamu terus sampai kapanpun, tapi kalau nanti malam kamu datang, ayah pastikan itu terakhir kalinya ayah jodoh-jodohin kamu," tawar ayah santai sambil mengambil koran dihadapannya.
Mendengar itu kontan saja membuat Jeni kaget, "Serius nih ayah? Aku juga gak bakal dipaksa masuk ke kantor ayah!?" Jeni memastikan dengan wajah sumringah.
Ayah mengangguk cuek, "Ayah lama-lama capek juga maksa kamu terus, tapi ya syaratnya semua harus seperti pria sebelumnya,"
"Maksudnya??" Jeni bingung dengan syarat baru yang disodorkan sang ayah.
"Ya kayak biasa, kalian gak lanjut karena cowoknya yang nyerah, bukan kamunya yang nolak,"
Jeni terdiam sejenak, memang seperti itu biasanya yang terjadi, "Itu aja?? Yaudah ok,"
"Deal??" ayah meletakkan korannya dan menyodorkan tangan pada Jeni.
Dengan semangat Jeni menyambut tangan sang ayah, "Deal! Aku akan datang malam ini,"
Ibu hanya tersenyum melihat perjanjian itu, entah bagaimana nanti hasilnya, entah suaminya atau sang anak yang akan menang.
**
Jeni tampak terburu-buru merapikan tasnya, seperti yang ia janjikan, ia akan pulang cepat.
"Bergegas banget pengen pulang Je??" sapa Farah yang kebetulan lewat di depan meja Jeni.
"Iya, ini terpaut hidup dan mati!"
Mendengar itu Farah langsung mendekat karena ucapan Jeni, "Maksudnya apaan?"
"Ini calon terakhir yang ayah sodorin padaku, haha," Jeni kembali bahagia mengingat janjinya dengan ayah.
"Ayah kamu masih ngejodohin kamu?"
"Ya gitu..tapi dia udah janji ini yang terakhir," Jeni tersenyum lagi.
Farah terdiam sejenak memikirkan sesuatu,"Tapi Je, kalau ayah kamu berani bilang ini yang terakhir, berarti ini calon yang berbeda,"
Jeni mengangguk menyetujui ucapan sahabatnya sejak jaman kuliah yang tahu persis aksi perjodohan ini, "Ya aku mikirnya juga demikian, tapi tenang...aku udah siapin banyak senjata untuk malam ini,"
"Semangat aja deh, tapi jangan keterlaluan kamu, jangan sampai bikin anak orang masuk rumah sakit,"
Jeni langsung tertawa mendengar kekhawatiran Farah, "Yaelah, itu cuma sekali kok Far dan gak maksud juga. Lagian aku kapok, ayah marah besar waktu itu,"
Farah tertawa jika ingat kejadian itu, "Yaudah, Semangat aja buat kamu, tapi kalau cowoknya oke terima ajalah Je, nolak mulu juga ga baik,"
Jeni hanya menyengir kecil, "Tetap aja dijodohin namanya, gak nyaman mas bro! Bye ya Far, aku cepet pulang siap-siap buat nanti malam," dan Jeni mulai berdiri dan bergegas keluar.
Farah hanya geleng-geleng dan menuju mejanya untuk siap-siap pulang juga.
***
Jeni POV
Dan sampailah aku ditempat penentuan, aku memasuki restoran ini sambil celingak-celinguk cariin meja. Katanya sih nomer 27.
Setelah beberapa saat, aku dapetin meja yang dimaksud, tapi tunggu! Ini seriusan meja 27?
Aku kembali merogoh ponsel didalam tas memastikan nama restoran dan nomor meja yang dikatakan ayah, ah! Ini beneran??
Aku tetap gak gerak dari tempatku berdiri sekarang, itu yang dimeja orang yang bakal dijodohin denganku atau bapaknya? Kok brewokan gitu? Parah nih si ayah kalau memang ini orangnya.
Yaelah, daripada bengong disini, mending aku samperin aja, mana tahu tu orang bodyguard, badannya gede begitu. Hm..mungkin.
Dan aku sudah sampai di meja itu, tepat di depan si cowok yang sibuk dengan ponsel ditangannya, dia gak ngacuhin cewek cantik di depannya sama sekali!
"Ehm!" aku pura-pura sakit tenggorokan.
Dia mengangkat kepalanya melirikku, aku udah bisa lihat wajah nih cowok, uhm..untuk ukuran bodyguard lumayan lah.
"Ada apa?"
Kampret nih orang! Cuek banget sumpah! Dia pikir aku mau ngapain coba!?
Aku menghela nafas menenangkan diri, "Aku memiliki janji dengan seseorang dimeja ini,"
Dia ngangguk gitu aja dan menyimpan ponselnya, "Disana tempatmu," balasnya mengisyaratkan kursi yang ada dihadapannya, dan ekspresi datarnya, aish! kepengen kubegal!
Aku lagi-lagi menenangkan diri, tenang Je, pastikan malam ini berjalan sesuai apa yang lo inginin.
Aku duduk didepannya dan ngelirik-lirik siapa yang bakal jadi korbanku malam ini, tapi gak ada tanda-tanda siapapun mendekat, aku melirik om om dihadapanku yang ternyata masih duduk tenang,
"Jadi yang ada janji denganku mana om?" tanyaku dengan polosnya.
Si om cuma menatapku yang entahlah.. aku tak tahu maksudnya, dan dia ngejulurin tangannya padaku, eh ini si brewok mau ngapain!?
"Kenalkan, saya Juan Arka Gendala,"
"rj*do*%2alS+&kdo¢©¡¡¿"
WHAT THE!???!?!????
Gue dijodohin dengan OM OM!?
Ayaaaaaaaaaahhhhhhhhh!!!!!!