Suamiku Menghilang Setiap Malam
Bab 2 : Pintu Belakang
Dengan suara yang tertahan dan lutut yang gemetar, aku berusaha membalik badan untuk melihat siapa yang ada di belakang. Sebuah tangan masih terasa memegang pundakku, akan tetapi ternyata tak ada siapa pun yang ada di belakang, hanya ada udara yang terasa aneh yang membuat bulu kuduk terasa berdiri.
“Agghh!!!” jeritku tiba-tiba saat melihat sebuah bayangan hitam melesat masuk ke dalam rumah.
Ya Tuhan, benda apa yang tadi itu? Jantung jadi berdebar tak karuan, dengan tubuh yang gemetar karena menahan takut, napas jadi memburu cepat. Aku berusaha menguasai diri agar tak pingsan di sini.
‘Brakkk’
“Agghh!!!” Aku kembali terkaget-kaget dengan memegangi d**a.
Aku segera menoleh ke belakang, ternyata pintu belakang tertutup dengan sendirinya dan di depan pintu ada seorang anak laki-laki. Aku tak bisa melihat dengan jelas sosok pucat itu, wajahnya mirip Niko, putra sulung suamiku.
“Ni—Niko .... “ seruku dengan terbata-bata.
Tanpa menjawab perkataanku, dia melangkah melewatiku dan tubuh ini seperti tertarik untuk mengikuti langkahnya menyusuri lorong untuk menuju ke dapur.
Saat tersadar, ternyata aku sudah berada di depan anak tangga untuk menuju ke lantai atas.
“Niko!” panggilku dengan sambil celingukan, mencari sosok Niko yang tadi menuntunku untuk sampai di sini.
Tak ada siapa pun di sini, bulu kuduknya tak hentinya meremang, tubuh ini semakin panas dingin. Aku memegangi d**a, berusaha mengatur pernapasan. Sebaiknya aku kembali ke kamar saja. Besok pagi akan kutelusuri halaman belakang itu sebab aku sangat yakin kalau Mas Gilhan menuju ke sana tadi.
Dengan tergesa-gesa, aku menaiki anak tangga dan semakin mempercepat langkah saat terasa ada yang mengikuti langkahku. Napas ini masih terasa memburu cepat, debaran jantung masih tak beraturan. Kuseka keringat yang ternyata sudah membanjiri dahi saat membuka pintu kamar dan segera masuk. Dengan langkah lemas, aku melangkah menuju tempat tidur.
“Mas Gilhan!” seruku saat melihat suamiku ternyata sedang tertidur di sana.
Eh, kapan ia kembali? Aku sangat yakin kalau tadi ia menghilang.
“Mas, kamu tadi ke mana?” Kugoyang pelan pundaknya.
Mas Gilhan membuka perlahan matanya, dan berkata, “Sayang, kamu kenapa? Ayo tidur!”
Aku tak bisa melanjutkan pertanyaan lagi kepadanya sebab dia sudah menarikku untuk berbaring di sampingnya, terpaksa akan kusimpan kembali rasa penasaran ini sampai besok.
***
Pagi ini, aku terbangun saat melihat jarum jam di dinding menunjuk ke arah 06.25. Mas Gilhan sudah tak ada lagi di sampingku, mungkin ia sedang mandi sebab terdengar suara guyuran air dari arah kamar mandi.
Aku segera bangkit dari tempat tidur lalu duduk di depan meja rias untuk menyisir rambut. Taklama kemudian, suamiku keluar dari kamar mandi dan tersenyumke arahku.
“Selamat pagi, Sayang,” sapanya dengan melangkah mendekat menuju lemari pakaian.
“Selamat pagi juga, Mas,” jawabku dengan memaksakan senyum.
Kubiarkan pria bertubuh tegap itu untuk memasang pakaiannya terlebih dahulu, sambil menyiapkan pertanyaan yang akan kutanyakan kepadanya.
“Mas, tadi malam kamu ke mana? Aku melihatmu menuju pintu belakang, lalu menghilang .... “ Aku yang memang memiliki tingkat penasaran yang tinggi tak dapat lagi menahan untuk tak menanyakan hal aneh ini.
Mas Gilhan terlihat mengerutkan dahi, ia mendekat kepadaku.
“Maksud kamu apa sih, Sayang? Aku nggak ada ke mana-mana, sepanjang malam tidur di sampingmu saja,” jawabnya dengan memelukku.
Aku terdiam, sedikit pun tak percaya dengannya. Sepertinya suamiku ini menyimpan suatu rahasia. Dia memang agak tertutup, apalagi kami hanya berpacaran sebulan saja hingga ia mengajak menikah. Memang sih, aku sudah dua tahunan bekerja di kantornya, tapi cuek saja saat teman-teman bilang si bos kayaknya naksir aku sebab pas awal masuk kerja, aku masih berpacaran dengan pria lain. Hingga pada akhirnya, aku patah hati dan dia langsung mendekatkan diri denganku dengan mengajak makan siang juga tumpangan pulang. Aku yang saat itu memang membutuhkan seorang pelarian, langsung menerima saja ajakan untuk pacaran walau aku tahu ia seorang duda sebab aku trauma dengan pria bujangan yang ternyata menghamili beberapa wanita, seperti mantan pacarku itu, Kenzo.
“Sayang, kok bengong saja? Ayo kita sarapan ke bawah!” ujar Mas Gilhan seraya merangkul pinggang ini yang membuat lamunanku langsung buyar.
“Eh, iya, Mas,” jawabku dengan gugup.
Kami melangkah bergandengan, menuruni anak tangga yang lumayan panjang hingga menuju dapur. Tiga anak tiriku ternyata sudah duduk di depan meja makan. Bik Ana terlihat menatapku dengan sengit. Kenapa dia? Sepertinya dia tak senang denganku, wajahnya selalu masam saja jika melihatku apalagi saat aku mersa begini dengan Mas Gilhan. Apa dia iri atau cemburu, entahlah.
“Selamat pagi anak-anak, ayo sararapan sama-sama!” ujar suamiku kepada tiga anak-anaknya.
“Iya, Pa,” jawab Niko dengan menundukkan wajah saat aku menatapnya.
“Ayo, Sayang, kamu duduk di sini!” Mas Gilhan menarikkan kursi untukku.
Aku menurut lalu duduk di samping dua putri kembarku itu, dan berhadapan dengan Niko, remaja tanggung yang saat ini sedang duduk di kelas VIII SMP. Sejak dari tadi, ia hanya menundukkan kepala saja dan tak mau menatap ke arahku, ia terlihat makan dengan cepat lalu pamitan kepada kami untuk berangkat duluan.
“Mas, aku mau antar Niko ke depan, ya,” ujarku dengan bangkit dari kursi.
Mas Gilhan hanya mengangguk saja. Aku langsung mempercepat langkah untuk mengejar Niko yang kini terlihat sudah menuju teras.
“Niko, tunggu! Mama mau bicara sebentar,” ujarku dengan memegang pundaknya saat ia sudah naik ke motor mini yang terlihat seperti sepeda mesin itu.
Dia menoleh ke arahku.
“Nik, yang tadi malam di dekap pintu belakang itu kamu ‘kan?” tanyaku.
“Maksud Tante apa?” Dia malah balik tanya.
Aku menggaruk kepala, apa mungkin dia lupa? Hmm ... dia masih saja memanggilku dengan sebutan ‘Tante’ dan belum mau memanggilku ‘Mama’ seperti Naura dan Nayla.
“Hmm ... tadi malam ... yang berdiri di dekat pintu belakang lalu berjalan di lorong gelap yang bersebelahan dengan dapur itu, kamu ‘kan?” tanyaku sekali lagi.
Niko menggelengkan kepala lalu melepaskan tanganku dari pundaknya. Dia pergi begitu saja tanpa pamit denganku lagi. Ada dengannya? Aku yakin, yang tadi malam itu dia, walau pun yang malam itu wajahnya pucat dengan mata memerah.
Bersambung ....