Saat ku sendiri, kulihat foto dan video.
Bersamamu yang telah lama kusimpan.
Hancur hati ini melihat semua gambar diri.
Yang tak bisa, kuulang kembali....
Ku ingin saat ini, engkau ada di sini.
Tertawa bersamaku, seperti dulu lagi.
Walau hanya sebentar, Tuhan tolong kabulkanlah.
Bukannya diri ini tak terima kenyataan.
Hati ini hanya rindu....
(Andmesh - Hanya Rindu)
Suara emas milik penyanyi kenamaan salah satu jebolan acara pencarian bakat di sebuah stasiun televisi swasta itu kini tengah mengudara di seisi ruangan pribadi seorang lelaki. Tanpa memedulikan baterai ponsel yang sudah nyaris habis, ia pun tetap memutar lagu tersebut seolah tak mengenal kata bosan.
Setelah sekian lama, perasaan rindu itu telah kembali melanda relung hati dan pikirannya. Namun, entah sedang apa sosok yang dirindukannya sekarang. Sudah dua tahun, dia bahkan tidak pernah berkomunikasi lagi semenjak sosok yang dirindukannya itu memutuskan untuk pergi dari kehidupannya demi menimba ilmu di luar negeri sana. Dan sekarang, mendadak lelaki itu teringat dengan nama dan segala kenangan yang pernah dilalui bersamanya. Sungguh, menahan rindu merupakan suatu hal yang paling membebani.
Tok tok tok,
"Kak Gerrald!" Di tengah perenungannya yang ditemani oleh suara Andmesh Kamaleng, tiba-tiba saja sebuah suara ketukan pintu berikut seruan bersuara nyaring seketika merusak suasana sendu yang tercipta.
Ketukan yang bahkan sudah berubah menjadi sebuah gedoran itu pun kini semakin mengusik ketenangan si pemilik kamar. Teriakan demi teriakan yang tak henti diserukan pun telah berhasil menumbuhkan perasaan kesal di hati si lelaki yang tak lain adalah Gerraldi Hutama. Menarik diri dari posisi berbaringnya, lelaki itu pun lantas menuruni tempat tidur dan menyeret kedua kakinya guna menghampiri pintu setelah sebelumnya ia mematikan lebih dulu playlist musiknya.
"Kakak! Kak Gerrald!!" ulangi suara yang sama terus memanggil di balik pintu sana.
Sampai ketika Gerrald berdiri di hadapan pintu dan mulai menarik pegangannya hingga terbuka, terpampanglah adik perempuannya yang tak lain adalah Jesika.
"Ya ampun, Kak Gerrald belum mandi?" pekik Jesika kala mendapati sang kakak masih berantakan.
Untuk sesaat, Gerrald pun mengembuskan napas kasar seraya berkata, "Ini kan masih pagi. Lagipula Kakak ada jadwal kuliah agak siangan. Ada apa sih? Gangguin orang mulu deh masih pagi juga," tatap cowok itu setengah kesal.
Mendengar ucapan yang Gerrald lontarkan, sontak membuat Jesika berdecak jengah. Kemudian, tanpa diduga ia pun mencubit lengan atas sang kakak sesuka hatinya.
"Aduh! Kenapa kamu cubit Kakak?" protes Gerrald memelotot horor. Tak lupa, ia pun mengusap bagian yang terkena cubitan sambil misuh-misuh tidak jelas.
"Kak Gerrald pikun apa amnesia sih? Masih muda juga ingatannya udah melempem kayak lampu yang mau abis masa menyalanya. Kakak lupa? Pagi ini kan Kakak janji mau anterin Jesika ke sekolah. Motor Jesika kan lagi di bengkel, Bunda juga lagi repot sama pekerjaannya. Lagian, bukannya tadi malem Kakak udah deal mau anterin Jesika ke sekolah pagi ini?" cerocos gadis itu sedikit mencak-mencak.
Dalam sekejap, Gerrald pun menepuk dahinya spontan. Dia lupa, kalau semalam sudah berjanji pada sang adik hendak mengantarnya ke sekolah. Maka, diiringi dengan rasa bersalah, Gerrald pun meminta maaf pada adiknya tersebut.
"Kakak lupa. Ya ampun, bentar deh ... Kakak mau cuci muka dulu ya, Jes," pamit cowok itu sambil bersiap melangkah ke luar kamar.
"Dih, gak sekalian mandi?" seru Jesika bertanya.
"Nanti aja lah. Gak mandi juga tetep ganteng," sahut Gerrald sembari berlalu.
"Yee, ganteng-ganteng jorok!" balas Jesika mendengkus. Namun tak dihiraukan lagi oleh kakaknya yang mungkin sudah melangkah lebih jauh menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur.
Sementara kakaknya sedang berniat mencuci mukanya dulu, Jesika yang sudah berseragam putih abu dengan atribut lengkap yang ia kenakan pun melangkah masuk ke dalam kamar kakaknya. Seketika, aroma parfum khas yang sering Gerrald pakai pun menguar sempurna menusuk indra penciumannya.
Tanpa sengaja, Jesika menemukan sesuatu yang cukup berhasil membuat keningnya mengernyit. Sambil celingukan, dia pun berjalan menghampiri meja belajar kakaknya guna mengamati apa yang tak sengaja ia temukan agar bisa dilihatnya secara jelas dari jangkaun yang lebih dekat. Spontan, Jesika pun terperangah kaget luar biasa. Pasalnya, ia menemukan sebuah gambar sketsa wajah cantik seseorang yang sampai sekarang masih Jesika ingat siapa namanya. Tidak disangka, rupanya kakaknya itu masih memikirkan gadis itu. Padahal, dua tahun sudah berlalu, tapi ternyata sosok masa lalunya masih begitu kentara melekat dalam ingatannya.
"Lagi apa kamu?" Tiba-tiba, Jesika terkesiap kaget ketika mendengar suara kakaknya yang sudah kembali. Menoleh spontan, gadis itu pun mengerjap panik di tengah keterkejutannya.
"Eh, eng ... ini, Jesika lagi mau cari pena, Kak. Tadi emm--"
"Cari pena apa kepoin gambar yang ada di meja belajar Kakak," sela Gerrald seolah bisa menebak apa yang baru saja adiknya itu lakukan di dekat meja belajarnya tersebut.
Mendadak, Jesika pun menjadi malu sendiri karena ternyata kakaknya bisa menebak dengan tepat. Menyadari hal itu, Jesika pun hanya mampu meringis lebar sembari menggaruk kepalanya yang tidak benar-benar terasa gatal.
Menggelengkan kepala di tengah dengkusan pelannya, Gerrald pun berjalan santai menuju lemari pakaiannya.
"Kak, Jesika boleh tanya sesuatu gak sama Kakak?" lontar gadis itu meski awalnya ragu-ragu.
"Tanya aja. Selagi Kakak bisa jawab, Kakak gak mungkin abaikan pertanyaan kamu kok," sahut cowok itu sembari membuka lemari pakaiannya dan mengambil salah satu kemeja kotak-kotak kesukaannya belakangan ini.
"Sebenarnya, Kak Gerrald masih ngarepin Kak Diary balik ke sini kan?" cetus Jesika yang sontak membuat pergerakan Gerrald terhenti. Mendengar nama yang Jesika sebutkan, diam-diam getaran aneh pun menelusup ke dalam hatinya.
Sedetik kemudian, Gerrald pun kembali melanjutkan kegiatannya yang sedang menukar pakaian. Sementara Jesika, dia masih bertahan di posisinya dengan pandangan yang terfokus lurus ke arah kertas HVS yang berisi gambar sketsa wajah milik mantan kekasih kakaknya tersebut.
"Emangnya kenapa? Kok kamu tiba-tiba nanya soal itu?" lontar Gerrald membuka suara.
"Ya gak apa-apa sih, Kak. Kalo pun iya Kak Gerrald masih mengharapkan Kak Diary kembali, itu hak Kak Gerrald. Tapi, Kakak pun harus ingat ... Kakak udah milih Kak Caca sebagai pengisi hati Kakak yang baru. Menurut Jesika, gak pantes loh kalo Kak Gerrald masih ngarepin cewek lain di saat Kak Gerrald sendiri udah punya gandengan. Kasian Kak Caca, Kak. Nanti kalo dia tau, dia bisa--"
"Yuk berangkat!" seru Gerrald sedikit meninggikan suaranya.
Seketika, membuat Jesika refleks menoleh dan menemukan rahang sang kakak yang terlihat sedikit mengeras. Jesika rasa, kakaknya itu sedang berusaha menahan diri untuk tidak mengeluarkan emosinya. Artinya, pembahasan yang sempat Jesika bicarakan barusan, sudah cukup berhasil mencuatkan sisi emosinya yang nyaris naik lagi ke permukaan.
Demi agar suasana hati Gerrald tidak semakin buruk, Jesika pun bertekad untuk tidak melanjutkan pembicaraan sebelumnya. Tampaknya, bahasan soal masa lalu yang secara tidak langsung masih menggandrunginya hingga saat ini, menyebabkan Gerrald berada di zona tidak nyaman. Maka, demi mengendalikan kondisi hati sang kakak supaya tidak meledak di waktu sepagi ini, pada akhirnya Jesika pun mengangguk mengiyakan ajakan kakaknya sebelumnya.
Lagipula, sudah waktunya juga bagi Jesika berangkat ke sekolah. Jika tidak ingin datang terlambat, maka sudah seharusnya ia bergegas pergi sekarang juga.
***
Ku hanya diam,
Menggenggam menahan segala kerinduan.
Memanggil namamu di setiap malam,
Ingin engkau datang dan hadir, di mimpiku.
Rindu....
(Virzha - Tentang Rindu)
Gerrald tidak mengerti, kenapa pagi ini terasa sangat melow bagi dirinya. Apalagi setelag mendengarkan kembali lirik lagu bertema rindu. Jika yang ia dengar di kamarnya tadi dengan sengaja ia putar sendiri sesuai keinginannya, maka lagu yang sekarang tak sengaja ia dengarkan melalui suara radio yang sedang diputar oleh pemilik kios kantin di kampusnya pun telah berhasil membuat hati Gerrald tertohok.
Jika boleh jujur, cowok itu memang sedang merasakan kerinduan yang tak berbalas. Tapi apa yang bisa perbuat? Toh yang dirindukannya saja belum tentu merindukannya juga. Membayangkan hal itu, rasanya Gerrald ingin tenggelam saja di rawa-rawa.
"Dor!" seru sebuah suara tiba-tiba mengagetkan.
Meski tak sampai menyebabkan Gerrald terperanjat dalam duduknya, tapi tetap saja, tepukan kecil yang baru saja menyentuh bahunya cukup berhasil memusatkan perhatian Gerrald ke belakangnya. Didapatinya, sosok pacarnya lah yang kini datang menghampiri sembari melemparkan senyuman termanisnya seperti di hari-hari sebelumnya.
"Kamu dari kapan mejeng di sini? Gak asik banget gak ajak aku. Kenapa sih kamu gak kabarin aku dulu kalo mau datang ke kampus lebih awal? Kan kalo tau begini, aku gak akan leha-leha juga di rumah sejak pagi," celoteh gadis bermata sipit itu. Dia adalah Carissa, gadis yang sudah hampir mendekati satu tahun ini menjadi pacarnya sekaligus penggantin sang mantan yang kini entah masih mengingatnya atau tidak.
Seperti biasa, Gerrald akan memutar bola matanya jengah kala mendengar cerocosan gadis itu yang tidak tahu kenapa, hobi sekali dia berbicara panjang lebar.
"Eh iya, kamu duduk di sini udah pesan makanan atau belum? Kalo belum, aku pesanin sekalian ya. Kebetulan, aku juga laper nih. Tadi di rumah Mama gak masak, aku malah jadi kelaperan gara-gara gak nemu makanan yang bisa aku pake buat ganjel perut keroncongan ini. Hehehe," kekeh Carissa di akhir rangkaian kata yang sudah diucapkannya.
"Masak sendiri dong. Kamu kan udah gede," cetus Gerrald sedikit menyindir.
"Ya ampun, Ger. Justru, di rumah lagi gak ada bahan apapun yang bisa aku masak. Mungkin Mamaku belum sempat belanja lagi. Terus, karena keburu mager ... jadinya Mama gak masak juga deh. Masa ni ya, Mamaku malah nyuruh aku buat beli makanan aja ke warteg sebelah. Kan gak asik. Masakannya gak enak. Mending masakan Bunda kamu kemana-mana deh daripada masakan warteg sebelah rumahku," tukas Carissa misuh-misuh. Lagi-lagi, membuat Gerrald mendadak ingin sekali menulikan saja pendengarannya.
Gerrald tahu, gadis itu memang sangat suka sekali berbicara. Tapi ayolah, setidaknya ... satu hari saja, berikan waktu ketenangan untuk Gerrald. Telinganya mendadak risi jika sudah mendengar celotehan demi celotehan yang gadisnya lontarkan. Seandainya saja Gerrald punya sedikit keberanian untuk menghardiknya, maka sudah ia lakukan sejak dulu. Sayang, Gerrald terlalu ragu untuk mempraktikannya. Apalagi, Carissa itu tipikal gadis yang sedikit bebal dalam mendengarkan nasihat orang. Maka sepertinya, sekeras apapun Gerrald menegurnya, itu tidak akan membuat Carissa patuh apalagi sampai membungkam mulutnya untuk supaya tidak lagi banyak berbicara.
"Ger, Jesika pulang sekolah suka jam berapa sih?" tanya cewek itu membuka topik pembicaraan yang lain.
"Gak tau. Mungkin agak sorean kali," jawab Gerrald mengangkat bahu tak acuh.
Sejenak, Carissa pun memonyongkan mulutnya di tengah anggukan kepalanya. Kemudian, ia pun siap beranjak untuk mendatangi dulu salah satu kios penjual yang bisa ia pesan makanannya.
"Bentar ya, Ger. Aku mau pesan makanan dulu. Perutku suka gak bisa diajak kompromi soalnya kalo udah laper banget. Jadi, kamu diam-diam aja dulu di sini. Selagi itu, aku mau ke kios siomay dulu. Kamu mau sekalian?" tawari Carissa menatap penuh binar. Seperti biasa, gadis ini memang selalu menggebu-gebu dalam berbicara.
"Gak usah. Aku gak begitu laper kok," geleng Gerrald tak bersemangat.
"Yakin?"
"Iya."
"Ya udah, aku pesan sendiri aja deh kalo kamu gak mau. Tunggu sebentar ya!" seru Carissa sembari berlari kecil.
Melihat sikap Carissa yang sedikit kekanakkan, seketika menumbuhkan perasaan penuh sesal yang mencuat di relung hati cowok itu. Padahal, usianya sudah bukan lagi remaja labil, tapi perilakunya malah masih mencerminkan kalau dirinya seperti anak SMA yang sedang banyak tingkah. Sungguh, Gerrald tidak tahu harus berbuat apa. Rasanya, Gerrald ingin kembali saja ke satu tahun yang lalu. Hari di mana Gerrald seharusnya tidak menerima pernyataan cinta Carissa yang tanpa diduga menembaknya duluan sepulang mereka dari menonton bioskop.
"Ger, boleh bicara sesuatu gak?" Di tengah Gerrald yang sudah siap melangkah meninggalkan halaman rumah gadis itu, tahu-tahu, Carissa pun menghentikan pergerakan Gerrald sembari menyentuh pergelangan tangan cowok tersebut.
Menoleh, Gerrald pun menyorotkan tatapan penuh pertanyaannya pada sang gadis.
"Ada apa, Ca?" tanya cowok itu kemudian.
Sepintas, Carissa pun menundukkan kepalanya di tengah keseriusannya yang sedang mengumpulkan keberanian. Hingga beberapa detik selanjutnya, gadis itu pun kembali mengangkat wajahnya seraya menatap cowok di hadapannya dengan sangat mantap.
"Aku, cinta sama kamu, Ger. Setelah satu tahun kita adain pendekatan, sekarang ... kamu mau gak jadiin aku sebagai pacar kamu?" cetus Carissa menatap harap. Menantikan jawaban dari si cowok yang saat ini sedang tercenung dalam keterdiamannya.
Carissa memang benar, rupanya memang sudah ada satu tahun sejak perkenalan dulu mereka mengadakan pendekatan. Akan tetapi, malam ini, perempuan itu justru menyatakan perasaannya secara gamblang. Di saat Gerrald masih belum siap untuk menjalani hubungan yang baru meski setahun sudah berlalu, tapi justru, Carissa malah memintanya agar menjadikannya sebagai pacar. Lalu bagaimana? Haruskah Gerrald terima permintaannya itu? Ataukah ia tolak saja?
"Aku tahu ini gak mudah buat kamu. Membuka hati untuk menerima gadis baru di tengah perasaan kamu yang masih kadang-kadang terpaut ke bekas pacarmu itu. Tapi, Ger ... gak baik juga kalo seandainya kamu terus terlarut dalam rasa ketidakpastian yang selama ini kamu alami. Untuk itu, malam ini aku mau ajak kamu buat membuka lembaran baru. Seenggaknya, beri aku kesempatan buat mengisi kekosongan hati kamu selama ini. Kalo kamu bersedia, maka aku akan menerima semua kekurangan kamu tanpa banyak mengeluarkan keluhan...." tandas Carissa penuh percaya diri.