Caroline memutuskan untuk datang ke rumah Bryan saat malam tiba. Gadis itu berencana mengambil paksa batu yang di maksud. Mengambil paksa dalam artian mencuri. Salah sendiri pria laknat itu tak memberitahu segalanya.
Jangan salahkan tangan jahil yang mempunyai pemikiran untuk menggali info lebih dalam, serta mempraktekkannya.
Bunyi jam kota berdering keras, menandakan kalau pukul sudah menunjukkan dua puluh empat malam. Caroline berjalan memakai hoddie, masker wajah, dan masker hitam, mirip seperti gangster.
Gadis itu berdiri di depan rumah Bryan yang tampak sudah petang. Ia yakin kalau pria itu sudah tidur dengan sangat nyenyak. Caroline sudah mendengar berita, bahwa tiga hari lagi akan ada fenomena alam yang sangat menarik, yaitu gerhana bukan. Nah, sebelum peristiwa itu terjadi, ia harus mendapatkan batu itu.
Caroline menoleh ke segala penjuru arah, memastikan keadaan tampak sepi. Sebelum datang ke kediaman Bryan, gadis itu lebih dulu melumpuhkan kamera pengawas. Jadi, untuk malam yang panjang, ia akan beraksi secepat kilat.
Tak ingin menunda waktu terlalu lama, Caroline memanjat pagar dengan lihai-turun perlahan, lalu berjalan mengendap-endap menuju kamar Bryan. Beruntung kamar pria itu terletak di lantai bawah.
“Lampu sudah mati. berarti dia sedang tidur.” Caroline mengintip ke jendela kaca. Terlihat jelas seorang pria tengah tidur di ranjang. Gadis itu pun berusaha menggeser kaca jendela, dan akhirnya terbuka.
“Dia masih saja ceroboh,” gumam Caroline melangkah masuk ke dalam kamar Bryan, dan matanya langsung tertuju pada almari yang tak jauh darinya berdiri. Gadis itu tahu kalau Bryan selalu menyembunyikan barang berharga di balik lemari lusuhnya.
Tanpa pikir panjang, Caroline langsung melangkahkan kakinya. Akan tetapi tiba-tiba, Bryan bangun dari tidurnya.
“Miliku... milikku!” teriak Bryan dengan keras, lalu tidur kembali. Jantung Caroline terasa copot. Dengan reflekspun tiarap untuk bersembunyi. Setelah tak mendengar suara pria itu, ia bangkit perlahan.
“Dasar! Mimpi saja sampai menginggau. Kau kebanyakan dosa,” kata Caroline sambil meninju Bryan di udara. Gadis itu menghela nafas panjang, dan mulai melangkahkan kakinya lagi.
Saat hendak membuka lemari, ada kecoak yang berada di kakinya. Caroline hendak berteriak, tapi langsung dibekap oleh tangannya sendiri. Kakinya diayunkan berulang kali agar kecoak itu pergi. Ia pun bernafas lega ketika lepas dari hewan itu.
“Sial... Bryan sangat jorok.” Caroline membuka lemari. Di sana ada sebuah kotak berwarna hitam, dan langsung membukanya. Ada batu berwarna merah, kehitaman menjadi satu.
“Apakah ini batunya?” monolog Caroline sambil memasukkan ke dalam saku. Gadis itu berbalik arah, langsung keluar dari kamar Bryan. “Maafkan aku, Bryan. Jangan benci padaku.
Setelah Caroline pergi, Bryan bangun dari ranjang, duduk dengan kepala menatap lantai. Mencegah gadis untuk pergi ke dunia berbahaya semuanya sia-sia, karena rasa ingin tahu dia sangat tinggi.
“Jika aku bicara kenyataannya, pasti kau tak akan percaya padaku.” Walaupun Bryan terlihat seorang playboy yang gonta ganti pasangan, tapi kepeduliannya terhadapa Caroline sangat besar, bukan karena Jason, melainkan karena kebaikan gadis itu.
Caroline sangat baik, sehingga Bryan tak bisa terbuka kepadanya. Ia malu pada gadis itu tentang kelakuan bejatnya selama ini, yaitu menfoto diam-diam karena mencintainya.
Wow, jangan terkejut! Siapa yang tak menyukai Caroline, seorang gadis yang memiliki mental besi dan juga pekerja keras. semua orang suka padanya. Terkadang Bryan cemburu melihat gadis itu bersama pria lain. Padahal mereka hanya berteman.
“Apa yang harus aku lakukan padamu?” tanya Bryan pada diri sendiri sambil mengusap wajahnya dengan kasar.
Beralih ke Caroline yang sedang mengemasi seluruh barangnya. Gadis itu berniat meninggalkan kota untuk menanti bulan purnama. Jika ia tetap tinggal di dalam kota, pasti Bryan bisa menemukannya.
Caroline pun memasukan semua hal yang di perlukan ke dalam tas ransel. Gadis itu mengambil tasnya dengan kasar, sambil menghubungi seseorang. Sayangnya, orang yang di hubungi sedang sibuk.
“Sialan! Apakah Maggie sudah tidur? Jangan-jangan dia sedang melakukan hal tabu.” Caroline keluar rumah-mengunci pintunya. Setekah itu, ia berjalan-masuk ke dalam mobil.
Sedangkan Maggie, gadis itu tengah bersenang-senang dengan seseorang pria yang tak lain adalah Vino. “Apakah kau menyukai minuman ini, Vin?” tanya gadis itu sambil meneguknya perlahan.
Vino mengangguk setuju, “Rasanya sangat luar biasa, Sayang.” Pria itu bangkit, sambil memegang kepalanya yang mulai berputar-putar, tak lama kemudian, dia ambruk. Maggie sangat sennag dengan kondisi Vino.
“Dasar! Kau banyak menyembunyikan rahasia dariku, Vino. Kau harus di beri pelajaran.” Maggie menaruh botolnya di atas meja, lalu bersiul memanggil anak buahnya.
“Bawa di ke kamar. Tapi sebelum itu, bersihkan tubuhnya dulu,” kata Maggie sambil berjalan keluar dari ruangan itu, diikuti kedua pengawal yang sedang membopong Vino.
Beralih ke Caroline yang sudah masuk ke dalam taxi. Gadis itu duduk termenung, menatap jalan yang sangat sepi. Ia melirik ke arah alrojinya, terlihat bahwa pukul sedang menunjukkan angka lima.
“Kemana kita akan pergi, Nona?” tanya sang sopir.
“Jalan saja terus, nanti aku akan memberitahumu.” Caroline menatap ke sepanjang jalan yang dilaluinya, dan terus memikirkan rencana-rencana yang sudah disusun.
“Nona, apakah Anda akan melihat gerhana bulan nanti malam?” tanya sopir itu lagi. Caroline tertarik dengan pertanyaannya, “Kau bisa menebakku, Tuan. Memang aku hendak melihat pemandangan itu.”
“Aku tahu di mana tempat yang dapat melihat fonomena alam itu dengan jelas.” Sopir itu melirik ke kaca depan. “Banyak orang yang yang akan berada di Bukit Cinta malam ini.”
“Bukit Cinta!” seru Caroline dengan antusias.
“Benar... setiap pasangan akan ke sana untuk melihat Gerhana Bulan, dan juga menaruh harapan.” Sopir itu terlihat berbinar saat mengucapkan perkataan tersebut.
“Sepertinya, Anda pernah melakukan itu?” Caroline ikut tersenyum.
“Tebakanmu benar, Nona. Sayangnya, tahun ini aku tak bisa mengajaknya.” Terlihat wajah sendu dari sang sopir.
“Kenapa?” tanya Caroline penasaran.
“Dia sudah kembali ke sisi Tuhan. Dan aku tak bisa melupakannya, Nona,” jawan sopir itu dengan sedih.
“Maafkan aku,” sesal Caroline. Gadis itu tak tahu kalau sopir tersebut memiliki luka yang dalam.
“Iya, Nona. Lagi pula memang aku yang ingin bercerita.” Sopir itu melajukan kendaraannya dengan perlahan. Caroline pun mengambil nafas panjang, dan menatap ke arah matahari yang mulai bersinar. Pemandangan itu sangatlah indah dan menakjubkan, tak henti-hentinya ia kagum.
Seandainya nanti jika sudah sampai ke Dunia Pararel, akankah ada matahari seindah kota London yang setiap hari menemaninya? Caroline menundukkan kepala, mengaikat seluruh jarinya satu sama lain. Gadis itu berharap, perjalannya berjalan dengan lancar, tanpa ada gangguan sekalipun.
“Aku merindukanmu, Ayah,” kata Caroline sambil meneteskan air mata. Sepuluh tahun lamanya, menyimpan rasa rindu yang mendalam. Ingin membenci, tapi tak bisa karena tak ada alasan. Gadis itu tahu tujuan Jason masuk ke dalam Dunia Pararel, yaitu mencari tahu keberadaan Sarah, ibunya. Maka dari itu, ia tak bisa membenci sang ayah.
Bersambung