Audrey berjalan mengikuti Jason sambil menyembunyikan auranya agar tidak ketahuan. Jika saja bukan karena identitasnya, ia tak bisa bersabar seperti itu. Tapi karena permintaan Caroline yang menjadi prioritas utamanya, maka gadis tersebut melatih kesabaran.
Sampai di sebuah gua, Jason masuk begitu saja. Meskipun ada medan sihir yang jelas, namun tak begitu kuat. Langkah kaki pria itu berhenti, lalu menoleh ke belakang. Audrey pun langsung menyembunyikan tubuhnya dengan kekuatan yang dimiliki.
“Pria itu benar-benar sangat peka,” gumam Audrey setengah kesal. Saat melintasi lorong, ada cahaya berwarna ke-emasan yang tampak mencorong. Audrey kaget karena melihat patung Gold Dragon yang melegenda di tempat itu.
“Apa yang dia lakukan?”
Jason berdiri di depan patung tersebut. Audrey ingat betul kalau naga tersebut sudah dikalahkannya.
“Tidak mungkin dia akan membangkit naga itu.”
Perasaannya semakin cemas kala pikiran negatif datang menyerbu. Jika naga itu bangkit, kemungkin besar kejayaan Hazelmuth akan berakhir. Usahanya selama beratus tahun melindungi semua orang akan berakhir sia-sia.
“Sial! Aku tak bisa membiarkan itu terjadi!” geramnya tertahan.
Jason memandang naga itu tanpa ekspresi sama sekali. “Aku tahu kau hanya memanfaatkanku untuk membebaskanmu.”
Kau sadar juga.
Suara itu tampak familiar di telinga Audrey. Bagaimana bisa Jason berhubungan dengan Gold Dragon? Wajah syoknya masih terlihat jelas dan gadis itu tak bisa berkata apa-apa lagi.
“Tapi aku bukanlah orang bodoh yang bisa kau manfaatkan. Anakku sudah berada di duni ini, jadi aku tinggal menggunakan darahnya untuk membuka harta gunung suci.”
Kedua tangan Audrey langsung mengepal kuat. Bahkan kebenciannya kepada Jason terus saja bertambah.
Kau terlalu angkuh dan serakah sebagai manusia, Jason.
“Apa bedanya denganmu. Lagi pula sebentar lagi purnama. Dan di malam itu, aku akan menusuk jantung Caroline.”
Idiot mana yang tega melakukan hal keji untuk darah daginya sendiri? Jason lah seornag i***t itu. Dan itulah kenapa Audrey begitu membencinya. Rasa benci tersebut bahkan sampai tebus ke tulang belulang, hingga darahnya juga ikut mendidih.
“Aku pergi untuk membuat kenangan terakhir bersama anakku.”
Jason balik badan, meninggalkan gua itu karena tak mau berlama-lama, takutnya Caroline akan curiga. Saat sudah berada di depan gua, mata pria itu mengarah pada sebuah pohon besar.
Ada orang lain. Aku harus mengaktifkan sihir ilusi.
Ketika mulai berjalan, langkahnya berhenti karena merasa cemas. Perasaan yang jarang terjadi membuatnya berpikir bahwa Caroline pasti menyadari sesuatu.
Gawat, batin Jason bergegas kembali ke gubuknya. Audrey masih menunggu di depan gua itu untuk sekedar bertemu dengan ornag dibalik pohon besar.
“Berhati-hatilah..., kau bisa terjebak.”
Keith yang menggunakan topengnya tertegun. Awalnya ia mengira kalau persembunyiannya berjalan dnegan sempurna. Beruntung saja pria itu melakukan pengintain sendiri. Jika orang lain, pasti sudah ketahuan.
“Aku tak bisa menggunakan topeng ini lagi. Lebih baik meminta Rian untuk kembali ke markas.”
Keith berjalan sedikit menjauh untuk bersiul. Tidak lama setelahnya ada burung terbang menghampiri. Ia merogoh sesuatu dibalik jubahnya, yaitu sebuah surat yang akan ditujukan untuk Rian.
Setelah burung pergi, mata Keith mengarah pada tiga orang yang dikenalnya. Pria itu hanya tak menduga kalau Eugene dan Derich sudah sampai secepat itu. Saat hendak balik badan, suasana di dalam hutan tampak berubah.
Keith merasa terjebak karena hutan itu tampak gelap dan juga berhawa dingin. Bisa dipastikan kalau dirinya terkena ilusi.
“Sial....! Kenapa harus disaat seperti ini!” erangnya dengan sangat frustasi. Jika dirinya terjebak lama, Caroline pasti dalam bahaya.
Benar saja, Jason tahu kalau Caroline telah masuk ke dalam kamarnya. Bahkan tanpa basa-basi dia langsung menerjang pintu ruangan milik gadis itu.
“Kelancangan apa yang kau lakukan?” sentaknya cukup keras membuat gadis itu terperanjak kaget. Ia tak menyangka kalau sang ayah bisa menampakkan wajah penuh amarah seperti barusan.
“Apa yang ayah katakan? Aku tak mengerti sama sekali,” dusta Caroline tanpa kebimbangan. Jason menyisir rambutnya kebelakang sambil melepas tudung yang sudah menemaninya bertahun-tahun.
Gadis itu tampak terkejut melihat rambut Jason yang sangat putih dan juga ada bekas luka di dahinya.
Padahal baru kemarin rambut putih dibagian belakang. Kenapa dalam waktu singkat bisa berubah menjadi putih semua.
Perlu diketahui, bahwa ciri-ciri penyihir adalah rambutnya yang berwarna putih. Hal itu menandakan bahwa mereka menggunakan kekuatan sepenuhnya.
“Aku tak tahan melihat sikap munafikmu yang persis dengan Sarah!”
Bola mata Caroline melotot sempurna, ditambah mulut menganga lebar. Keterkejutan itu mendadak membuat tubuhnya kaku, bak patung hidup. Ayah yang selalu dinantikan selama sepuluh tahun, ternyata sosok dingin tanpa rasa kasih sayang sama sekali.
“Kenapa?” Derain air mata Caroline lolos sudah.
Jason pun berjalan angkuh, menatap Caroline sangat tajam. Audrey yang baru saja sampai langsung menarik jubah milik pria itu, sehingga tubuhnya terpental ke beberapa barang hingga pecah.
“Dasar b*****h!” teriak Jason sangat lantang. Audrey menghadang jarak pandang pria itu kepada Caroline.
“Nona pergi dari sini! Secepatnya!”
Tawa Jason pecah, dan Caroline mencoba untuk melompati jendela. Sayangnya, ada sebuiah tanaman rambat yang melilit tubuhnya. Audrey yang tak siap langsung diberikan cairan pelumpuh oleh Jason, sehingga pingsan seketika.
“Audrey!” Suara Caroline cukup keras, sehingga membuat burung-burung yang ada di udara langsung terbang seketika.
“Percuma saja kau memanggil bocah ingusan sok kuat itu. Dia benar-benar tak perdaya.” Jason tak menyangka bahwa ada penyihir muda yang sedang dalam masa pertumbuhan. Sayangnya, dia bukan penyihir suci yang dicari.
“Kenapa kau melakukan ini?” tanya Caroline dengan wajah dingin, seolah pandangan jijik tertanam pada wajah Jason.
“Jika bukan wanita bodoh itu, kita bisa hidup bahagia dan nyaman, Caroline. Kepintaran dan ketangkasanamu adalah turunan dariku.”
Jason mengehela nafas cukup panjang, “Jadi, berikan darahmu padaku. Aku akan membuat segala dunia ini menjadi milik kita berdua.
Gila, itulah kata yang terbesit dalam otak Caroline. Dari mana sifat serakah Jason tumbuh. Kenapa semua usaha yang dilakukan olehnya sia-sia. Pantas saja Bryan tak memberitahu keberadaan Jason.
“Apakah aku bukan anakmu?”
Entakh kenapa perasaan getir menyelimuti dirinya. Melihat Jason yang tertawa renyah di atas penderitaan orang lain sungguh sangat kesal setengah mati.
“Kau darah dagingku. Makanya aku butuh darahmu untuk membuka permata yang ada dibawah kaki Gunung Suci.”
Ah, rasanya Caroline sudah tak punya keinginan untuk hidup lagi. Yang dilakukan sekarang hanya menundukkan kepala dengan sangat dalam, tersenyum akhibat kebodohannya sendiri.
“Rasanya aku benar-benar muak.” Gadis itu mendongak, menatap manika Jason dnegan tajam. “Apakah kau melakukan hal yang sama dengan ibu.”
“Itulah sebabnya aku menikahinya.”
Jawaban Jason membuat darah Caroline mendidih. Kenapa ada manusia yang keji melakukan hal kejam terhadap istrinya sendiri hanya karena kepuasan dunia? Sungguh, ia sangat tak mengerti sama sekali.
“Sayangnya kekuatan sihirnya hampir lenyap, dan terpaksa aku mengembalikannya ke tempat ini. Namun, dia malah memilih dibakar hidup-hidup.”
Caroline tak tahu harus berkata apa lagi. Kekejaman yang dilakukan Jason sangat membuatnya terguncang. Bahkan pandangan matanya mulai tampak kosong. Gadis itu sangta frustasi, sampai pikiran-pikiran negatif masuk ke dalam otaknya.
Haruskah aku membunuhnya? Jika aku membunuhnya, apa perbedaanku dengan ayah? Aku malu darahnya mengalir disetiap pembuluh darahku? Ibu..., apakah ini yang kau rasakan? ucap Caroline di dalam hati.
Audrey meneteskan air mata karena pilu dengan kehidupan Caroline. Gadis kecil yang ceria, tapi harus mengalami garis nasib yang miris. Karena terkena cairan pelumpuh, ia perlahan mengumpulkan energinya kembali.
Caroline melirik sekilas ke arah Audrey, lalu tertawa menggelegar bak kesetanan sampai memenuhi ruangan.
“Bagaimana kalau kau membunuhku saja?”
Jason terkesiap, lantas menoleh ke arah lain. Tak lama kemudian, ia bersemirik. “Ide yang sangat bagus.”
Aku kecewa padamu, ayah, kata Caroline di dalam hati seraya menangis pilu.