Keith mengerahkan seluruh pasukan elit untuk mencari keberadaan Caroline yang telah pergi darinya. Dia juga meminta Rian untuk menyebar para bawahan ke seluruh penjuru Ibu Kota. Tidak hanya itu, pria tersebut juga mengirim surat ke empat desa perbatasan.
Kehebohan malam itu tentu membuat Reta tak habis pikir. Apa pesona Caroline sehingga membuat Keith begitu nekat mengerahkan seluruh kekuatannya?
“Gadis itu benar-benar membawa malapetaka bagi keluarga ini.” Reta mengaplakn tangannya cukup kuat, pergi menutup pintu kamarnya.
Sementara Keith, sudah tak bisa menunggu lama lagi untuk mendapatkan balasan dari empat desa itu.
“Tenanglah..., Tuan. Jika Anda seperti ini, semuanya akan berantakan,” kata Jeff berusaha menenangkan diri.
“Aku harus pergi sekarang. Kau jadi aku,” tunjuk Keith kepada Rian yang sedang istirahat karena baru sampai.
“Tuan, kenapa harus saya lagi?”
“Turuti apa kataku!” Suara Keith begitu keras, membuat suasana ruangan menjadi heing mencekam. “Jangan membantah! Atau kau kena akhibatnya.” Baru kali ini, pria itu bertindak kurang rasional.
Jeff dan Rian hanya bisa menundukkan kepala dengan wajah ketakutan. Sepertinya, Caroline membawa pengaruh besar kepadanya.
“Tunggu surat balasan dari semua desa, Tuan,” cicit Jeff memberanikan diri.
“Hah!” desah Keith duduk dengan kesal. Percuma marah dan melampiaskan kepada mereka. Jika ia pergi sekarang, semuanya akan sia-sia. Tapi untuk menunggu balasan dari semua desa, juga membutuhkan banyak waktu.
“Desa mana yang di tuju Caroline.” Ingin rasanya Keith mengurung gadis itu agar tak bisa kabur lagi.
Suasana kembali normal, dan dua pria itu mulai mengangkat kepalanya perlahan. Kakak beradik itu pun saling pandang satu sama lain. Tak lama kemudian, empat burung datang dalam waktu yang sama.
Satu jam sudah mereka menunggu, akhirnya jawaban akan ada di depan mata. Keith langsung membaca satu persatu surat balasan itu.
“Sialan!” Amarahnya berkobar lagi karena jawaban dari mereka. “Kemana dia pergi? Kenapa tak ada satu desa yang mereka singgahi!” teriak Keith menggema di seluruh ruangan.
Lantas, untuk mereka bertiga yang sedang kabur sedang beristirahat di dalam gua. Setelah menggunakan kekuatannya, Audrey mengalami hipotermia.
Ada penyesalan di wajah Devon karrena telah memberikan obat tidur untuknya. Karena kekuatan yang dipaksakan Audrey, tubuh mungilnya berubah menjadi gadis dewasa.
“Apa yang terjadi?” tanya Caroline sambil mundur ke belakang. Gadis itu kaget melihat perubahaan itu kala sedang memberi selimut untuk Audrey.
“Dia sangat cantik, bukan?” puji Devon sambil memperbesar api unggun.
“Aku kaget karena tubuh Audrey tiba-tiba membesar.” Caroline menatap wajah cantik bak boneka itu. Hidung mancung, bibir tipis menggoda dan juga wajah yang mungil.
“Cih, pantas kau menyukainya,” cibir Caroline kesal. “Aku kecewa.” Gadis itu tidur berbaring disamping Audrey. “Kenapa kau tak memberitahuku? Bukankah kita dekat, Audrey?”
“Ada alasan dibalik itu semuanya. Pasti dia akan bicara jujur.” Devon duduk di samping Audrey. “Dia membantuku tanpa pamrih. Padahal aku bukan saudaranya.” Caroline tak habis pikir, kenapa Audrey rela mempertaruhkan nyawanya begitu saja?
“Karena kau penolongnya,” Asumsi Devon dengan asal. “Besok, kita harus bergegas. Besar kemungkinan sekarang Keith telah mencarimu di semua desa perbatasan.
Ada untungnya mereka istirahat, karena keberadaan mereak bisa menjadi pengecoh . Setelah mendapatkan kabar dari desa, kemungkinan besar Keith tak akan mencari mereka lagi. Statage kawan Keith sungguh luar biasa.
“Dev, setelah aku pulang nanti, kau harus menjaga Audrey.” Caroline menatap Audrey dengan penuh kasih sayang. “... dia banyak menderita. Dan aku hanya bisa percaya padamu.”
“Kau seperti tidak akan kembali saja.”
Devon masih tak tahu kalau Caroline dari dunia lain. Makanya ia berkata asal seperti itu. Jika pria itu mengetahuinya, pasti omongan tersebut akan disaring.
“Sudahlah..., aku malas bicara denganmu.” Menutup mata untuk istirahat lebih baik dari pada membahas perihal pulang dengan Devon.
Caroline pun memunggungi Audrey yang masih tidur. Dunia yang dipijaki sekarang seolah menelannya hidup-hidup. Sangat enggan untuk kembali karena perasaan masih tertinggal.
Apakah aku benar-benar jatuh cinta dengan dia?
Gadis itu dilema, takut kalau mencintai seseorang di dunia itu membawa dampak besar baginya. Lagi pula kehidupan di sana adalah angin lalu, ibarat orang hanya mampir untuk istirahat.
Devon pun yang melihat punggung mungil itu hanya menghela nafas panjang. Ah, Keith pasti sangat marah besar. Tanpa disadari, ia terbaring menatap langit gua.
Pria kejam di medan perang seperti Keith baru pertama kali menyukai seseorang, dan itu adalah Caroline. Jika dia tahu kalau ia yang membantunya untuk kabur, pasti hukuman berpihak padanya.
Lagi pula, dia yang memintaku untuk pergi ke perbatasan.
Namun perbatasan mana, Devon sendiri yang memilihnya. Masih ingat saat adu pedang di halaman beberapa waktu lalu. Lantas, apakah Keith baik-baik saja?
Jawabannya tidak? Kekecauan di Ibu Kota terdengar sampai ke telinga para menteri. Mereka langsung melapor kepada raja saat Veto hendak memberikan informasi mengenai Caroline.
Begitu perwakilan menteri yang lapor keluar, Veto masuk ke dalam ruangan kerja Augene.
Ada raut wajah kemarahan yang tercetak jelas di sana, sehingga yang dilakukan Veto hanya bisa menundukkan kepala.
“Menteri mulai bertindak,” kata Eugene mengepalkan tangan dengan kuat.
“Apa yang harus saya lakukan, Yang Mulia?”
“Ibu Kota dalam kekacauan karena Keith mencari seseorang. Apakah kau tahu siapa yang dicari olehnya?”
“Menjawab, Yang Mulia. Nona Caroline.”
Eugene tersenyum tipis lantaran jawaban bagus dari Veto. Ia tak menyangka kalau Caroline akan pergi diam-diam. Itu artinya, mereka bisa bersama.
“Cari tahu keberadaan Caroline. Dan juga, minta Keith untuk datang. Aku yakin sebentar lagi Derich juga akan datang kemari.”
Belum sampai satu menit, Derich sudah masuk ke ruangan Eugene tanpa permisi. Dia tampak senang dengan apa yang terjadi.
“Bravo..., penurunan pangkat jenderal untuk Keith sebentar lagi.” Derich bahkan sampai membawa sebotol anggur yang mahal untuk merayakan.
“Veto, kau boleh keluar.”
Veto mengangguk, segera pergi menemui Kieth seperti yang diperintahkan. Setelah dia pergi, Eugene pun duduk di depan Derich.
“Apakah kau senang kalau pamor Keith turun?” tanya Eugene dengan santai.
“Tidak juga. Dia itu temanku. Jadi, apa keputusanmu. Pasti para menteri mendesakmu.”
Melihat gelagat Derich, pasti dia belum mengetahui kalau Caroline telah pergi dari mansion milik Keith.
“Jika aku menurunkan gelar Kieth, itu artinya para b***k akan terus menderita. Dia memintaku untuk membuat desa untuk mereka.”
“Pikiran dia sudah sangat jauh. Dia pantas disebut jenderal pangkat emas,” puji Derich sambil menaruh botol anggur. “Jika mereka di keluarkan dari pertambangan, takutnya pemberontakan akan terjadi. Kau tahu apa yang terjadi?”
“Perang,” jawab mereka berdua serempak.
Jumlah para b***k tidaklah sedikit, melainkan ratusan orang. Mereka bisa saja bersatu untuk mulai perang. Dan Keith bisa menjadi penghianat kerajaan.
Eugene pun memperlihatkan berkas kepada Derich. “Baca...! Itu berkas yang berhubungan dengan Keith.”
Derich tidak menyangka kalau Eugene telah menyelidiki pergerakan Keith selama ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah raja sudah mulai curiga?
Setelah membaca, ekpresi wajah Derich hanya tersenyum saja. “Rumah Madu dibeli oleh Keith. Pasti untuk mengecoh para menteri.”
Terkadang otak Derich sangat encer karena bisa menebak pemikiran Keith. “Apakah kau yakin? Dia hanya berniat mengecoh saja?”
“Eugene, kau adalah raja. Sudah sepatutnya raja dikendalikan oleh diri sendiri. Keith hanya ingin kau lebih berpikiran luas. Selama ini, para mentri sudah mengendalikan semuanya. Sebentar lagi, aku yakin pernikahanmu akan dikendalikan.”
Ucapan Derich ada benarnya juga. Memang selama ini, pemerintahannya selalu berada dikendalikan oleh para menteri.
“Aku akan melakukan penangkapan untuk Keith. Tugasmu adalah pergi ke pertambangan, cari tahu apa yang terjadi? Kalau bisa, kau menyamar jadi seorang b***k. Untuk menangkap tikus, kau harus merendahkan diri,” perintah Eugene yang sudah menjadi keputusannya.
“Sialan! Aku tak suka menjadi b***k. Kenapa tidak kau saja? Maksudku kita berdua.”
“Aku raja, dan aku tak berani meninggalkan tahta lebih lama. Para menteri akan curiga. Jadi, aku menyerahkan semua ini kepadamu.”
Mau tak mau, Derich menyetujui permintaan Eugene karena merupakan keharusan. Lagi pula, apa yang dilakukan juga demi kerajaannya.