Setelah mendapatkan kabar dari Veto, Eugene bergegas pergi ke Mansion Griffin. Tentu saja tujuannya adalah untuk bertemu dengan Caroline. Dan sekarang gadis itu sedang dilanda kebingungan karena tak bisa keluar dari kamar Keith.
Mencoba berbagai akal, ruangan itu sangat tertutup, bahkan jendela pun terbuat dari kaca hitam. Jika berada ditempat itu lebih lama lagi, jelas tak akan ada celah untuk bebas.
“Aku harus segera pergi dari sini.”
Caroline mencari benda tajam di sekitar laci, dan ia menemukan kawat yang cukup panjang. “Buat apa Keith menyimpan benda seperti ini?”
Tidak ingin berpikir panjang, Caroline segera melalukan tindakan membobol pintu. Belum ada lima menit, pintu pun terbuka lebar. Lorong tampak sepi, dan itu menjadi kesempatan emas untuknya pergi.
“Aku harus mencari Audrey.” Gadis itu berjalan mengendap-endap layaknya pencuri.
Hari yang sudah mulai gelap membawa keuntungan besar baginya. Namun detik itu, kesialan yang berada disekitarnya.
Caroline tersentak kaget saat melihat seorang pria berdiri ditengah lorong gelap. “Kemana kau akan pergi?” Suara itu bukanlah suara Keith, melainkan orang lain. Gadis tersebut pun mundur beberapa langkah ke belakang, tapi langkahnya terhenti karena menabrak tubuh seseorang.
Kedua bahunya dipegang oleh tangan yang kokoh. “Berhati-hatilah..., jangan sampai terluka.”
Dia mendongak ke atas, kali ini matanya hendak keluar dari sarang. Buru-buru gadis itu menjauh dari pria itu.
“Kenapa ada di belakangku?” Caroline memeluk tubuhnya sendiri.
Seorang pria yang tadinya berada ditengah lorong langsung mendekati Caroline. “Telingamu cukup sensitif juga, Eugene.”
“Kau pandai memuji, Derich.”
Tujuan Derich datang ke Mansion Griffin adalah untuk membahas perihal perbatasan. Namun siapa sangka, ketika ia sedang berjalan-jalan menikmati susana menjelang malam, malah bertemu dengan Caroline.
Namun kalau berada diposisi Caroline, gadis itu merasa tercekik, tak bisa bernafas dan ingin segera kabur dari tempat itu. Wajahnya saja sudah berubah menjadi suram.
“Aku rasa kalian berdua perlu bicara.”
Tak ingin berlama-lama, Caroline bergegas melanjutkan langkahnya. Akan tetapi, kedua tangannya dicekal oleh pria yang berbeda.
“Apakah ini etiket dari seorang bangsawan.”
Sebisa mungkin Caroline mengendalikan emosinya. Dua pria tampan yang seharusnya memiliki pasangan, malah sedang membuang waktu di Mansion Griffin.
“Justru mengejar seorang gadis secara terang-terangkan adalah etiket Kerajaan Hazelmut,” kata Eugene dengan lembut.
Caroline mendengus kesal, menghempaskan kedua tangan mereka. “Aku tak suka dengan cara kalian, karena merupakan pemaksaan.”
Gadis itu sedikit membungkuk, untuk menunjukan sikap hormat kepada Eugene dan Dercih. “Salam, aku pergi.”
Secepat kilat dia berlari meninggalkan mereka berdua, sesekali menoleh ke belakang dan bernafas lega karena tak dikejar.
“Syukurlah aku selamat.” Laju larinya berhenti ketika sampai di taman belakang mansion. Entah kenapa, berada di antara singa dan harimau membuatnya merinding.
“Ini medan pertempuran.” Saat hendak balik arah, ada badan tegap nan kokoh berada tepat dihadapannya. Perlahan tapi pasti, Caroline mendongak ke atas untuk memastikan, siapa gerangan yang menghalangi langkahnya.
Seketika itu pula, gadis itu cegukan karena merasa syok luar bisa. Dalam hidupnya, baru kali ini dia dirundung rasa malu yang amat besar. Dan yang dilakukan sekarang hanya menutup mulutnya rapat-rapat meskipun cegukan tak berhenti.
“Aku rasa, pertemuan kita adalah takdir.”
Dia adalah Keith, seorang pria yang berkali lipat tampat setelah mengajak Caroline menikah, itu versi dari gadis tersebut. Padahal wajahnya seperti biasa, tak berubah sama sekali. Memang dia sedari dulu sangat tampan.
Mata Caroline seperti tersihir, melihat pahatan sempurna dihadapannya. Yang ada dibenak gadis itu adalah, kemana saja ia selama ini? Ada orang tampan disampingnya, tapi malah menghindar alias menjauh.
“Apakah kau baik-baik saja? Kau terlihat kesakitan?” Melihat wajah merah seperti tomat milik Caroline, Keitth mengira kalau gadis itu sedang deman. Meski jantungnya berdetak, sebisa mungkin pria itu menyembunyikan kegelisahan yang terus mengikis tubuhnya dari waktu ke waktu.
Tangan kanan Keith pun dengan lancang menyentuh dari Caroline. Wajah yang memerah, tambah merah bahkan siap disantap jika itu buah tomat.
Dengan gerakan refleks, Caroline menghidar tangan itu, lantas membuang muka ke arah lain. Wajah Keith yang kecewa tampak jelas, walau tidak begitu kentara.
“Maafkan aku. Bukan maksudku menghindar darimu!” Nadanya sedikit berteriak karena malu luar biasa. “... aku belum siap bertemu denganmu karena ajakan itu.”
Ah, Caroline melirik sekilas ke arah Keith yang sedang menahan senyum dengan lembut. Tangan kirinya ditaruh di bibir yang seksi itu.
“Aku kira kau membenciku. Aku sangat bahagia mendengarnya.”
Caroline yang tadinya malu perlahan mulai menguasai dirinya kembali. “A-aku dan kau, maksudku, kau mengajakku menikah.”
Kini giliran Keith yang tampak malu. “Memang bukan waktu yang tepat, aku tak bisa menunda lagi.”
Apa ini? Apa dia kebelet minta nikah. Kita saja baru kenal. Astaga..., kenapa dunia ini begitu aneh.
“Karena aku sudah memasuki usia dewasa, aku di anjurkan untuk segera menikah. Semua orang mendesakku,” dusta Keith sambil melirik ke arah lain. Mendesak? Siapa yang berani mendesaknya. Lagi pula dirinya adalah Jenderal Emas tiada tandingannya. Lihat, dia bersikap lemah dihadapan Caroline.
“Bukankah raja juga seusiamu? Dia bahkan belum menikah.” Caroline menghela nafas panjang. “Aku tak bisa menikah muda.”
Seperti disabar petir di siang bolong. Keith membeku bak patung hidup. Apakah dirinya terlalu memaksa Caroline, sehingga ditolak begitu saja.
“Kita bisa saling mengenal, sebagai teman.”
Suasana hati Keith mendadak berubah total. Teman bisa naik kasta menjadi kekasih, dna ia tak akan melewatkan kesempatan itu.
“Terimakasih, Caroline.”
Gadis itu mengangguk, menatap bibir Keith. Entah kenapa dia mengingta kembali ciuman mereka.
Otak m***m, menyingkirlah..., tujuan utamamu adalah kembali dan jangan terlibat.
“Bolehkan aku memelukmu?” pinta Keith dengan sopan.
“Tentu..., karena kita adalah teman.”
Mereka tidak menyadari, kalau dua orang pria yang menatapnya dari jauh memasnag wajah peuh permusuhan. Keith lebih dulu unggul dan tak terkalahkan.
“Aku benci melihat situasi seperti ini,” kata Derich tak menyembunyikan kekesalannya.
“Mereka bukan sepasang kekasih. Bukankah lebih baik kita mengejar Caroline.” Eugene melipat kedua tangannya. “Aku memberi deklarasi perang dalam merebutkan hati Caroline.”
“Eugene, apakah kau mau bertaruh seperti dulu?” Derich tampak malas mendengar ocehan tak bermutu dari Eugene.
“Caroline bukan barang. Jadi, aku tak ada pikiran mengarah ke sana.” Eugene memegang bahu Derich. “... di antara kita bertiga, siapa yang akan dipilih oleh Caroline. Aku ingin sekali menantikannya.” Pria itu pergi meninggalakn Derich sendirian.
Sedari dulu, Eugene selalu saja seperti itu. Seolah menganggap sesuatu barang berharga. Nyatanya dia hanya terobesesi dengan kecantikan.
“Kau akan menyesal, Eugene. Di dalam hidupmu, tak akan ada cinta sama sekali,” geram Derich tertahan.