Bab 15. Hanya Caroline

1034 Kata
Angin semilir sejuk menerpa beberapa pohon sampai dedaunan gugur. Saat angin berhembus, Caroline yang menyamar menjadi seorang pria menatap ke arah menara besar. Ditengah menara ada sebuah jam, berbetuk kotak dengan jarumnya berwarna emas. Caroline baru menyadari kalau menara itu berada di pusat ibu kota. Ketika hendak melangkahkan kaki, beberapa anak menyenggol tubuhnya. Mata gadis itu menatap kegembiraan mereka. Ia jadi ingat saat kecil, dimana Jason selalu memberi perhatian lebih padanya. “Aku benar-benar merindukan orang tua itu.” Caroline berjalan melewati beberapa bebatuan, hingga sampai ke sungai. Ada sosok pria tua yang sedang berjalan menuju ke arahnya. “Kenapa kau berkeliaran di sini?” Pria itu menatap Caroline dari atas sampai bawah. “Kau terlihat kaya, hidupmu dalam bahaya.” “Apa maksud kakek?” tanya Caroline tak mengerti. “Jika kau ingin pergi dari desa ini, jangan pergi sekarang karena ada bandit.” Sang kekeh menggelengkan kepala lemah. “Para bandit itu adalah pelarian budak.” Caroline jadi mengingat pembicaraan kedua pria yang ada di kedai. Jadi, imbas dari kejadian pertambangan adalah para b***k yang melakukan pelarian. “Kakek...,” panggil Caroline mencari sosok kakek itu. Ternyata dia sudah berjalan jauh, bahkan punggungnya hampir tak kelihatan sama sekali. Caroline meremas lukisan yang ada ditangannya, lukisan Jason. Benar, gadis itu berhasil mencari pelukis untuk menggambar wajah Jason. Sayang sekali, dia tak mau menggandakannya. Jadi, ia hanya punya satu lukisan. “Aku seperti orang buangan.” Saat hendak melangkahkan kakinya kembali, Caroline melihat ujung kaki di dekat bebatuan. Rasa ingin tahunya pun muncul, dan memilih menghampiri orang itu. Wajah Caroline di buatnya terkejut melihat seorang gadis lemah, dengan banyak luka di seluruh tubuhnya. Luka cambuk, luka bakar dan juga baju compang-camping tak layak pakai. “Apakah kau baik-baik saja.” Gadis itu hanya meringis kesakitan, tak membuka kedua matanya sama sekali. Caroline langsung bertindak cepat, membantunya untuk duduk. “Minum dulu.” Si gadis itu mengangguk lemah, mulai membuka kedua matanya. Iris mereka pun bertemu satu sama lain, terdiam dalam waktu cukup lama, bahkan seperti ada perasaan akrab. Mansion Griffin Reta terbelalak ketika Keith menunjukkan potret seorang gadis yang sangat cantik. Mustahil bagi pria itu mendapatkan gadis asing tersebut lantaran sang raja sudah mengklaimnya. “Tuan... anda tak berniat menjadikan kekasih raja sebagai istri, bukan?” “Sejak awal Caroline adalah milikku, bukan milik Eugene.” Jadi, nama gadis itu adalah Caroline. Jika dia menjadi nyonya mansion ini, apakah semuanya baik-baik saja. “Masih ada gadis bangsawan yang cocok sebagai istri anda, Tuan.” Reta masih kuku menjodohkan Keith dengan gadis pilihannya. “Reta!” sentak Keith cukup keras. Ini pertama kalinya wanita tua itu di bentak oleh anak asuhnya. “Kau tak berhak mengatur hidupku.” Wajah Reta langsung pias seketika, karena lupa akan statusnya. Lagi pula kehidupan mereka renggang setelah kejadian beberapa tahun lalu, dimana orang itu pergi sampai pemimpin keluarga jatuh sakit akhirnya meninggal. “Maafkan saya, Tuan. Saya lancang dan bertindak gegabah.” “Keluar...! Jangan menenuiku sampai aku yang meminta!” Keith dengan terang-terangan mengusir Reta, bahkan ia juga melempar teko berisi air tepat setelah wanita itu pergi. “Sialan! Aku tak bisa tinggal dima.” Keith bangkit dari kursi, menuju ke sebuah lemari kayu. Kakinya menginjak sesuatu sontak lemari langsung terbuka. Pria itu masuk, seolah memang dia yang membuat temat rahasia itu. Sampai di dalam ruangan, ada beberapa pakaian dan juga senjata yang terpampang nyata di dalam kaca. Tiba-tiba seekor burung merpati datang, di kakinya terdapat sepucuk surat. Setelah surat itu dibaca, Keith pun memakai topeng, berjalan berlawanan arah menuju ke sebuh lorong yang gelap. Kaki Keith terus berjalan hingga menemukan sebuah pintu berwarna merah tua. Saat pintu itu dibuka tampak pemandangan bukit yang sangat indah. “Salam, Tuan K.” Dua orang pria menyambutnya dengan baik. Mereka Jeff dan Rian sedang membungkuk hormat. “Apakah informasi mu valid?” Keith meraih kertas yang ada ditangan Jeff. “Kemana dia pergi?” Rian mendongak, kembali menundukkan kepala dengan cepat. “Dia pergi ke desa tak jauh drai pondok kami. Kenapa Tuan K bertanya tentang Caroline?” “Sebarkan beberapa orang, buat rumor mengenai seorang pria aneh berkaca mata.” Keith memberikan sebuah kertas yang bertulis ciri-ciri orang yang dimaksud. “Buat dia kembali ke ibu kota secara alami. “Baik, Tuan K.” Dua saudara itu bergegas pergi meninggalkan Keith sendirian. Sementara pria itu bersiul, burung merpati pembawa pesan pun datang. “Berikan surat ini kepada si bodoh Derich.” Pria mengikat secarik kertas di kaki kanan. Merpati itu pun terbang, melebarkan sayapnya di suara, terus menerobos ke awan-awan. Turun menukik dengan pelan, melewati beberapa pohon, hingga matanya mengarah pada pohon besar. Tampak seorang pria yang tak lain adalah Derich sedang latihan pedang. Bunyi alunan pedang saling menyatu ditambah dengan angin yang berhembus membuat suaranya menggema di udara. Merpati itu memiringkan kepala, kemudian terbang menuju ke arah Derich. “Minggir... dasar burung bod...” Seketika olokan nya berhenti karena melihat kertas yang ada di kaki merpati itu. “Cara kuno, kenapa Keith mengirim pesan seperti orang jatuh cinta?” Eugene mulai bergerak. “Cih, apa urusanku. Jika di bergerak aku tak peduli. Lagi pula hidupku terjamin. Aku tak mau terlibat dengan para b***k itu.” Derich meremas kertas itu dengan sangat cepat, lalu kegiatannya itu berhenti saat menyadari sesuatu. “Apa jangan-jangan berhubungan dengan Caroline? Aku tak bisa tinggal diam. Aku harus mendapatkan gadis itu.” Keith memang sengaja memberi kode kepada Derich agar mau bertindak, meskipun sebagai pengalih saja. Bodohnya sang jenderal berpangkat perak adalah dia tak mengerti kalau sedang di manfaatkan. Derich langsung bergegas masuk ke dalam mansion miliknya, segera mengganti seluruh pakaian. “Aku akan pergi ke kerajaan.” “Tidak bisa,” kata salah satu orang kepercayaan Derich. “Ayolah Fredrick..., aku harus menemui Eugene.” Derich mulai mengancingkan kemejanya. “Kerajaan dalam kondisi buruk. Jangan memberi minyak pada api yang masih menyala.” Fredrich segera melepaskan kemeja Derich. “Apa yang kau lakukan? Kau tak sopan sama sekali!” Pria itu menyentil dahi Fredrich cukup keras. “Jangan menghalangiku.” Ia mengambil jas yang tersampir di punggung kursi. “Sampai jumpa, Fred.” Derich melambaikan tangan tanpa menoleh sedikitpun. Hal itu membuat kepala Fredrich cukup pusing karena Derich kerap sekali berbuat seenaknya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN