Bab 32. Rencana Batal

1155 Kata
Veto mendapatkan kabar dari organisasi gelap, bahwa pesanan anggur yang diinginkan akan segera terpenuhi. Pria itu segera memberitahu Eugene mengenai informasi gembira tersebut. Apa tanggapan dari Eugene? Pria gila itu tertawa senang, membayangkan Carol berada dibawah kendalinya demi kesenangan. Meskipun dia tampan tapi otakknya tak waras maka ketampanan itu akan menjadi percuma. “Aku semakin tak sabar menantikan hasilnya.” Eugene memakai jubahnya dengan penuh arogansi. Pria itu pun memutuskan untuk pergi ke Mansion Griffin guna melihat wajah bahagia Carol untuk terakhir kalinya. Lalu Veto dengan senang hati menemani raja itu. Sampai di Mansion Griffin, hari sudah petang. Eugene turun dari kereta kudanya di sambut oleh beberapa pelayan. Keith yang sedang berada di ruang kerjanya hanya menatap kedatangan pria itu dari balik jendela. “Panggil Caroline kemari,” titah Keith kepada Reta yang sedang menuangkan teh. Reta mengangguk, pergi dari ruangan itu menuju ke kamar Caroline. Karena mendengar kegaduhan di luar, gadis itu pun memilih melihat apa yang terjadi. Tentunya bersama Audrey, tapi ketika melihat Reta, dia pamit pergi. “Kebetulan kau sedang ada di sini,” kata Reta ketika bertemu Caroline di lorong. “Ada apa?” tanya gadis itu, lalu menatap ke arah jendela. “Tuan memintamu untuk ke ruang kerjanya.” “Hari sudah malam, dan aku sangat lelah.” Padahal rencana Caroline malam ini adalah datang ke perpustakaan, tapi malah diminta untuk kerja lembur. “Di luar sedang ada orang penting. Sebentar lagi dat-,” belum sempat menyelesaikan kaliamatnya, Eugene beserta Veto sudah memasuki lorong menuju ruang kerja Keith. “Salam hormat untuk Raja Hazelmuth,” sambut Reta, diikuti oleh Caroline. Gadis itu hanya mengikuti gerakan saja, membungkuk hormat. “Kau terlalu tua untuk hormat padaku, Ret,” sindir Eugene terus memandangi Carol. Kenapa ia merasa familiar dengan pria cantik itu? Mungkin hanya perasaannya saja. Jadi, ini pria bernama Carol itu. Jika di dandani menjadi seorang gadis, dia pasti akan sangat cantik. Veto terus memandangi Caroline tiada henti, membuat gadis itu sangat risih. “Saya permisi,” pamitnya dengan hati-hati. “Jangan coba-coba kau beranjak dari tempatmu, Carol!” titah Eugene menggema di seluruh lorong. Ah, Caroline malas meladeni pria tak waras itu, memilih bersikap dingin, lalu balik badan menatap mata sang raja tanpa rasa takut. Mata itu, mata yang begitu indah sampai tak bisa berkata-kata. Eugene yakin kalau Carol menjadi gadis, pasti dia akan menjadi kandidat permaisuri yang cocok. “Saya sedang ada pekerjaan.” Wajah Caroline begitu tenang, tapi tidak dengan Reta ynag sangat cemas. Takut kalau Eugene tahu identitas gadis itu. “Karena kau sudah ada di sini, aku ingin kau menjadi tutorku jalan-jalan di sekitar mansion.” Eugene sengaja membuat Carol bekerja padanya, untuk menikmati kesenangan terakhir dari pelayan itu. “Carol sedang ada tugas, Raja.” Sebisa mungkin Reta mencegah keinginan Eugene. “Sepertinya kau butuh pelajaran tambahan, mengingat statusmu tak boleh bicara seperti itu padaku,” ancam Eugene dengan suara rendah, tapi menusuk di hati Reta. Keterlaluan! Dia sangat tak sopan dengan yang lebih tua, batin Caroline, melirik ke arah Reta yang sedang menundukkan kepalanya. Caroline maju selangkah ke depan, berdiri di antara mereka berdua untuk menghalangi jarak pandang Eugene. Veto yang melihat kelakuakan kurang ajar darinya langsung mengeluarkan pedang, dihunus tepat leher gadis itu. “Aku rasa, hukum di kerajaanmu harus di ubah, Tuan.” Untuk pertama kalinya, Eugene mendengar panggilan ‘tuan’ dari mulut seorang pelayan. Sontak ia langsung meradang, merebut pedang Veto, bergegas dilayangkan ke arah Caroline. “Semakin hari, raja tak bisa menahan diri!” Suara Keith menggelegar di seluruh lorong, mengeluarkan hawa dingin yang sangat mencekam. Eugene menurunkan pedangnya, menatap sengit ke arah Caroline. Lihat gadis itu hanya bersikap biasa, seolah tak memiliki rasa takut sama sekali, padahal hatinya begitu menggigil. Mimpi apa aku semalam, bertindak tanpa pikir panjang. Untung saja Keith datang. “Aku hanya memberi ketegasan pada orang rendahan.” Eugene memberikan pedang itu kepada Veto. “Terlebih lagi orang seperti dia.” Ingin rasanya Eugene mencabik-cabik tubuh Carol dengan pedang sekarang juga. Tapi, keinginanya itu di urungkan karena sebentar lagi ia akan berpesta. “Apa tujuanmu kemari? Apakah ada yang perlu dibahas?” Keith mengubah topik pembicaraan mereka. “Pergilah ke perbatasan, mereka membutuhkanmu.” Jelas sekali Eugene mengusir Keith dengan mengatasnamakan pekerjaan. Di mata Caroline, pria yang berstatus raja itu sangat licik sekali. “Hanya itu saja,” kata Keith dengan dingin. “Kau perlu duduk untuk membahas lebih lanjut lagi.” Eugene menyeringai, menarik lengan Caroline sehingga bersandar ke tubuhnya. Aneh, bau harum menusuk indera penciumannya. Keith yang melihat itu merasakan emosi, tapi ditahan. Sementara gadis itu berusaha melepaskan diri. “Aku hanya ingin bicara dengan pelayanmu.” Eugene menarik lengan Caroline pergi menjauh ke tempat lain. Lalu Keith hanya menatap mereka sambil terus menekan amarahnya. “Tuan janagn bertindak gegabah,” kata Reta dengan hati-hati. “Maafkan bawahan ini karena tak layak menjaganya.” Keith tahu kalau Caroline melindungi Reta tanpa memikirkan konsekuensi yang dihadapinya. “Aku yakin gadis itu bisa keluar dari masalah ini.” Apakah dugaan Keith benar? Langsung ke tokoh utama yang sedang diseret paksa oleh Eugene menuju ke taman samping mansion. “Bisakah anda melepaskan saya?” Caroline bersikap sangat sopan, agar Eugene melepaskan tangannya. Langkah kaki pria itu pun berhenti, balik badan menatap kelat ke arah pria yang katanya cantik itu. “Kenapa kau sangat harum?” tanya Eugene dengan wajah merahnya. Seperti Afrodisiak, seolah menarik hama mendekat tanpa sadar. Itulah yang terjadi pada sang raja untuk saat ini. “Mungkin ada yang salah dengan hidung raja,” jawab Caroline sambil mmebuang muka. “Panggil namaku, jangan sopan.” Eugene mendekati Caroline, mengendus seperti anjing pelacak. “Benar... kau begitu harum.” Dia sangat m***m. “Rencanaku untukmu akan aku hapus. Asalkan kau mau bersamaku. Aku tak peduli jika kau seorang pria,” ucap Eugene tanpa rasa malu sama sekali. Caroline melebarkan pupil matanya, melepas cengkraman tangan Eugene dengan kasar. “Kau!” tunjuk gadis itu tak bisa percaya atas apa yang terucap dari mulut seorang raja. Dia pasti salah minum obat. Jelas-jelas aku berpenampilan pria, tapi tetap saja di embat. “Apa yang salah. Justru kalau kau menolaknya, aku semakin gencar mengejarmu.” Eugene menjentikkan jari, mengode Veto untuk datang mendekat. “Siapkan beberapa pakaian mewah untuk Carol. Dan juga, rencana itu batal.” Disini, Veto yang kebingungan. Dalam waktu singkat, Eugene telah membatalkan rencana penyiksaan untuk pria cantik itu. Padahal ketika masih di kerajaan, dia sudah berkoar-koar melampiaskan seluruh amarahnya. Apa yang dimakan pelayan itu, sampai raja berubah pikrian dengan sangat mudah. “Baik, Raja.” Veto pun undur diri meninggalkan mereka berdua. Tidak adanya orang ketiga membuat Caroline dilanda cemas luar biasa. Aku harap bantuan datang. Siapapun boleh, asalkan ada orang lain. Pucuk di cinta ulam pun tiba, Caroline melihat Audrey dan Devon dari arah yang berbeda. Gadis itu tersenyum tipis, memilih mereka berdua. “Tuan Devon! Audrey! Kemari....!” teriaknya sambil melambaikan tangan. Syukurlah aku tertolong, batin gadis itu tesenyum lega. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN