Bab 62. Pergi Diam-Diam

1140 Kata
Devon disuruh pergi begitu saja setelah nyawanya hampir melayang. Sementara Keith sedang tersenyum-senyum layaknya orang gila. Wajar karena dia masih dalam fase kasmaran. Keith tak mengira kalau dirinya akan salah paham mengenai hubungan Caroline dengan Devon. Bisa-bisa ia mengira temannya berkhianat. Sungguh pemikiran yang sangat bodoh dan dangkal. Pria itu sangat malu, sampai tak bisa berpikir untuk kedepannya nati. “Bagaimana aku harus menyikapinya?” Ah, cinta memang membuat orang frustasi, meskipun dia adalah jenderal yang menguasai medan pertempuran. “Aku bisa gila. Sepertinya aku harus segera mengikat Caroline. Aku takut dia akan pergi meninggalkanku. Mengingat wataknya yang sangat keras kepala.” Predikat teman sebentar lagi akan terkikis, dan Keith punya seribu cara untuk membuat Caroline takhluk dengan dirinya. Keith bangkit, berjalan menuju ke lemari yang merupakan akses untuk menuju ruang rahasia. Kebetulan ada suara pintu lemari diketuk sebanyak dua kali. “Keluar...,” ujar Keith sambil melipat kedua tangannya. Seorang pria, yang tak lain adalah Rian keluar. Tampang pria itu mengenaskan dan terlihat sangat pucat. Wajahnya tampak kaku karena kelamaan menggunakan topeng kulit manusia. “Ada apa?” Suaranya dingin dan tega smilik Keith tidak berubah sama sekali. Padahal Rian sudah mengikuti pria itu selama lima tahun. “Tuan, kenapa Anda tak memberi kabar kalau markas diserang?” Saat Rian kembali, Rumah Madu menjadi rumah makan. Rasa kecewa pun menyelimuti dirinya karena usaha untuk membuat rumah itu tidaklah gampang. “Apakah tuan sudah menyerah?” cicitnya dengan hati-hati. “Konyol.” Suasana hati Keith langsung berubah total. “Aku terpaksa meruntuhkan Rumah Madu, karena bawahan raja bergerak cepat.” Sebagai Tuan K, Keith tak punya pilihan lain. “Rumah Madu bukan markas utama, jadi jangan risau.” “Bukan itu, Tuan. Kemana mereka pergi? Para wanita dan gadis yang selama ini bekerja dengan kita. Meskipun mereka b***k, mereka juga berhak hidup!” Suara Rian begitu lantang, sangat tak sabaran. “Kau melewati batasmu, Rian!” Rian langsung bersujud memohon ampun. “Bukan maksud saya, Tuan. Tolong..., mengertilah.” Keith kesal karena Rian mengambil kesimpulan sepihak yang sangat buruk. “Apakah kau tak percaya padaku? Apakah lima tahun tak cukup membuatmu puas?” Keith duduk dengan santai, membiarkan Rian yang sedang bersujud dihadapannya. “Itulah kenapa aku sangat enggan membuatmu menjadi ketua dari Organisasi Gelap. Kau berpikiran terlalu sempit.” Rian mengepalkan tangan kuat karena emosi yang snagat melampui batas. Bukan maksudnya ia tak percaya dengan Keith. Hanya saja, pria itu seharusnya memberi kabar. “Aku tahu kau kecewa karena tidak menerima kabar dariku.” Keith berjalan menatap ke jendela kaca, tampak bulan sambit besinar ditengah gelapnya malam yang ditemani bintang-bintang. “Rumah Makan yang kau sebut itu, adalah Rumah Makan milik pribadiku.” Rian terkejut mendengar perkataan Keith. Itu artinya organisasi mereka tetap berjalan. Bagaimana bisa pria itu melakukannya? Apa yang sebenarnya terjadi. “Maafkan saya, Tuan. Sekali lagi, saya gegabah.” Sepertinya, Keith harus menceritakan keseluruhan cerita yang sesungguhnya kepada Rian, agar tidak terjadi kesalah pahaman yang berlanjut. Flashback Setelah Rian keluar dari ruangan Keith, Jeff masuk tanpa permisi. Kedua adik dan kaka itu sama-sama membuatnya pusing. “Ada apa? Pasti kau mendengar percakapan kami,” kata Keith dengna dingin. “Anda membuat Rian pergi ke perbatasan. Kenapa melakukan hal itu?” Jeff mengepalkan tangan kuat, tak berani menatap wakah Keith. “Aku lebih percaya kau mengatasi Rumah Madu. Jika dalam keadaan terdesak nanti, rubah Rumah Madu menjadi Rumah Makan atau restorant elit.” Keith mengambil nafas panjang, “...itupun kalau kau berniat mengelolanya. Setelah ini, mungkin ketua organisasi akan jatuh ditanganmu.” Meskipun Rian pintar, tapi Keith lebih memilih Jeff karena kesabaran yang dimiliki. Dengan adanya mereka berdua, semuanya akan berjalan lancar. “Raja akan curiga kalau Anda membeli Rumah Madu atas nama pribadi.” Jeff tak ingin Keith bertindak gegabah. “Aku tahu, para mentri akan memojokkanku. Mereka akan sibuk menjatuhkanku. Disaat itu terjadi, kau bawa para b***k ke tempat aman, misalnya desa para bandit.” Wajah Jeff tampak syok mendengar ucapan Keith yang tak masuk akal. “Tenanglah, Jeff.... Aku sudah memikirkannya.” Flashback off Rian pergi setelah mendapatkan jawaban dari Keith mengenai Rumah Madu. Satu masalah sudah terselesaikan. Tinggal melihat reaksi para mentri. Untuk Eugene, pasti juga memikirkan pembebasan para b***k yang dibahas beberapa wkatu lalu. Sibuk dengan segala pemikirannya, Keith tak menyadari kalau ketiga orang sedang bersiap untuk pergi dari mansion dengan diam-diam. Mereka menunggu tengah malam, disaat semua orang lengah. “Dev, apakah kau yakin ikut dengan kami?” tanya Audrey sekali lagi. “... dulu kau membenciku karena penyihir. Aku tak menyangka kau mencintaiku sangat besar.” Sejujurnya, Devon tak pernah melupakan wajah mungil Audrey. Meskipun dia takut rahasinya terbongkar karena ingin membalas dendam. “Aku melupakan semua, dendamku.” Devon telah berubah, setelah kepergian Keith dan Audrey. Pria itu menyadari, hidup di dalam kegelapan tidaklah ada artinya. Jauh didalam lubuk hati pria itu mendambakan cinta yang amat besar. “Sepuluh tahun lalu, bukan Griffin yang membunuh orang tuamu.” Audrey memasukkan seluruh barangnya ke dalam tas. “Bagaimana kau bisa tahu? Karena bukti sepuluh tahun lalu sudah tidak ada?” Devon memegang kedua bahu Audrey cukup kasar. “Apa yang kalian lakukan?” sela Caroline ketika mengetahui mereka berdua sedang bertengkar. “Cepat masukan semua barang yang dibutuhkan! Dna segera pergi dari sini.” “Aku akan menceritakan nanti jika pelarian kita berhasil. Sekarang, kita harus pergi dari tempat ini,” kata Audrey dengan lembut. Devon setuju, lalu memimpin mereka pergi ke jalur rahasia tanpa ada hambatan sama sekali. Endingnya, mereka berada di belakang pagar mansion, pinggir hutan. “Karena malam, kita harus berhati-hati. Takutnya ada binatang buas,” peringat Devon. Caroline balik badan, menatap ke arah mansion. Pertemuan mereka yang singkat akan menjadi kenangan tersendiri. Berpisah sekarang lebih baik dari pada nanti. Jujur, dia sendiri juga tak rela jika harus meninggalkan Keith sendirian. Tebukti bahwa air matanya menetes tanpa peringatan, sampai Caroline sendiri tak sadar dengan tingkahnya. Selamat tinggal, Keith. Jangan mencariku. Semoga kau bahagia. Caroline balik badan dengan wajah lesu dan sayu. Baru saja dia mendapatkan lamaran pernikahan mendadak, sekarang dengan egoisnya, gadis itu pergi begitu saja. “Nona, jangan bersedih,” hibur Audrey sambil merangkul pinggang Caroline. “Aku baik-baik saja,” dusta Caroline. Audrey menatap Caroline yang sedang mengusap kedua mata dengan lembut. Mulut bisa bicara dusta, tapi ekspresi wajah tak bisa dibohongi. Aku akan melihat, seberapa keras kalian bertiga mencoba mengambil hati Caroline, batin Audrey Mereka pun akhirnya berjalan menuju ke dalam hutan, menghilang dibalik kegelapan malam. Sedangkan Keith yang masih membuka matanya, merasakan kegelisahan yang amat dalam. Kalau Reta, tersenyum puas melihat kejadian itu. Dia senang Caroline pergi dari kehidupan Keith untuk selamanya. “Pikiranmu memang terbuka, Caroline. Aku tak menyangka kalau kau sadar diri.” Reta kembali ke kamarnya, mengambil jubah miliknya. Tentu kabar baik harus diberikan kepada sekutu. Lantas, apa yang akan terjadi jika Keith menyadari kalau Caroline pergi begitu saja?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN