Hans melemparkan satu lembar kertas pemecatan di depan Andra --- sang adik. Kedua tangan Andra mengepal erat.
“Bang, bukannya waktu di rumah, kalian setuju aku mengundurkan diri?” Andra menahan emosi. Hans menyeringai merendahkan.
“Itu, kemarin! Ini hari ini! Kamu dipecat tanpa pesangon!” ujarnya tersenyum puas.
“Aku tidak melakukan kesalahan apapun dan Abang tidak bisa mengkategorikanku ke dalam pelanggaran kesalahan berat!” Gigi Andra gemelutuk menahan kesal.
“Oh, jadi tanpa surat keterangan kerja dari sini kamu takut tidak bisa mencari pekerjaan lain di luar sana?” Hans seolah sengaja hendak membuat Andra kesal.
“Aku hanya meminta hakku, Bang! Perusahaan ini didirikan ayah bukan untuk berbuat semena-mena!” pekik Andra dengan mata menatap tajam pada sang Kakak yang saat ini menjabat sebagai direktur utama.
“Kalau kamu memang takut miskin, lebih baik kamu turuti apa mau mama! Kamu tahu ‘kan kalau dia masih bisa melakukan hal yang lain lagi untuk mendapatkan keinginannya? Termasuk menyingkirkan wanita itu!” ucap Hans lagi penuh penekanan.
“Jangan sesekali berani menyentuh istriku! Dan jangan harap aku akan mengiba meminta belas kasihan dari kalian!” Andra akhirnya terpancing emosi hingga dia melupakan tujuan awal. Kini fokus dia mulai teralihkan pada ego untuk mempertahankan harga diri.
Hans tertawa keras penuh ejekan. Dia kembali berucap pada Andra.
“Mobil yang kamu pakai, dibeli pakai uang perusahaan! Jadi itu masih uang mama, tolong kembalikan!” ujar Hans lagi.
Andra menggeleng kepala dan berdecak kesal. Tidak terpikirkan olehnya jika sang Ibu akan mengungkit sampai hal sedetail itu.
“Ambil semua, Bang! Ambil saja asal kalian puas!” Andra membanting pintu dan meninggalkan ruangan sang direktur.
Dia berjalan dengan wajah kecut, kemudian perlahan menyelinap ke ruangan HRD untuk bernegosiasi tentang satu dokumen. Setelah selesai, dia bergegas ke ruangannya untuk mengambil barang-barang miliknya.
Semua orang tahu kinerja Andra yang menjabat sebagai direktur pemasaran sangat bagus. Dia bisa dengan mudah mendapatkan kepercayaan dari pelanggan agar mereka bisa membeli produk dari perusahaan.
“Bapak, terakhir hari ini?” Febrina sang staff menatap tidak percaya pada atasannya.
Andra mengangguk sambil membereskan laptop dan peralatan miliknya. Ada tarikan napas berat yang dia hirup setiap kali teringat akan meninggalkan perusahaan itu.
Andra selalu teringat kerja keras sang ayah ketika mereka masih kecil dulu, sang ayah merintis usaha ini. Namun kini harus dia tinggalkan dan tidak lagi bisa memastikan apakah semua akan baik-baik saja.
Andra tahu seperti apa Hans selama ini, sering sekali semau-maunya dan terlalu bebas. Apa jadinya sebuah perusahaan tanpa enforcement yang riil dari pemilik perusahaan. Entahlah, tapi ini sudah menjadi pilihan sang ibu.
“Maafin Febri kalau selama di sini banyak salah sama Bapak, ya!” ujar gadis itu dengan mata mengembun.
Sebetulnya hatinya terluka bukan hanya karena kehilangan sang atasan. Namun sudah lama Febrianti menyukai Andra dalam diam, hingga kabar pernikahan itu melukai hatinya tapi dia tetap setia dengan perasaannya. Baginya mencintai bukan berarti harus memiliki. Menatap Andra dan masih bisa berbincang dengannya adalah kebahagiaan.
“Sama-sama, Feb!”
Andra berjalan keluar dari ruangannya. Beberapa manager dan staff dari divisi lain yang mendengar kabar dadakan itu sudah menunggunya. Tidak ada tangis dalam ucapan perpisahan itu tapi tetap saja membekaskan haru dan terasa berat.
Hans memandang punggung sang adik yang berjalan keluar meninggalkan kantor tempat mereka mencari nafkah selama ini. Dia segera menelpon seseorang.
“Hallo, adik gue sudah resmi keluar dari perusahaan! Tetap awasi gerak-geriknya ke perusahaan mana saja dia pergi melamar dan jalankan misi yang kami beritahu kemarin! Jangan sampai ada satu perusahaan pun yang menerimanya! Cukup sebutkan nama gue mereka akan tahu!” ucapnya pada seseorang. Rupanya Marni tidak main-main dengan ucapannya untuk membuat sang anak bontot kembali padanya.
***
Selepas kejadian malam itu Tari merasa bersalah pada sang suami. Apalagi sejak berangkat tarawih sampai tadi bangun pagi hendak berangkat kerja, Andra masih diam saja tidak seperti biasa.
“Mas, ini sepatu sama kaos kakinya! Jadi hari ini mengundurkan dirinya, Mas?”
“Hmmm!”
“Uang simpanan kita yang bulan lalu masih ada sih, Mas! Tapi gak banyak! Moga cepet dapet kerja lagi, ya, Mas!”
“Hmmm!”
Sang suami lantas berdiri dan berpamitan. Hanya ucapan salam yang mengakhiri percakapan mereka pagi itu.
Suara gedoran pada pintu membuat Tari melonjak kaget, bayangan pagi tadi yang tengah menari-nari dalam benaknya berhamburan.
Pikiran Tari masih semrawut. Perubahan sikap Andra merusak moodnya. Sejak pagi tadi dia hanya menatap layar laptop yang sudah menjadi teman kesehariannya sejak tiga bulan lalu mengisi waktu dengan menulis.
Tari beringsut berdiri dari duduknya. Disibaknya tirai gorden untuk mengintip siapa yang datang. Kedua alisnya saling bertaut. Tari melangkah mendekati pintu dan memutar pegangannya. Tari menemui sang tamu.
“Permisi, Mbak! Saya sedang cari Bang Andra! Di sini 'kan rumahnya?” ujarnya sambil terisak.
“Iya, ini rumahnya! Memangnya ada apa, ya? Kenapa Mbak menangis?” Tari menatap wanita yang sedang terisak itu. Wanita itu berkali-kali mengusap perutnya yang tampak sudah sedikit membesar.
“Saya hamil! Saya mengandung anaknya Andra! Saya mau mencarinya agar dia bertanggung jawab pada janin ini!” ucapnya.
DEG
Sesuatu terasa membentur hatinya. Tari masih mematung kaku. Hatinya berdiri di antara dua sisi, percaya dan sangsi. Apakah benar bayi dalam kandungan itu milik suaminya?
“Mbak jangan sembarangan bicara, ya! Mas Andra itu suami saya! Dia tidak mungkin menghamili wanita lain! Dia lelaki baik-baik, Mbak!” ujar Tari memberanikan diri melawan prasangkanya.
Wanita itu malah duduk dan bersimpuh. Isaknya semakin menjadi. Seolah dia adalah orang yang paling menderita.
“Mbak, tolong biarkan Bang Andra bertanggungjawab atas perbuatannya! Pernikahan kalian melukai saya, Mbak! Jadi ternyata kamu wanita yang membuat Bang Andra berpaling dari saya!” Isak tangisnya malah semakin menjadi.
“Jika kamu memang punya hati, Mbak … sesama wanita harusnya saling mengerti! Coba kalau kamu ada di posisi saya, Mbak … saya mohon tinggalkan dia demi anak dalam kandungan saya ini! Apa kata orang-orang jika bayi tak berdosa ini lahir tanpa seorang ayah! Tolong tinggalkan Bang Andra demi bayi tak berdosa ini, Mbak!” Wanita itu semakin terisak. Dia terus menangis seolah hendak menumpahkan semua beban yang selama ini ditanggungnya sendirian.