Chapter five

1620 Kata
"Pagi, Bumil." Sabrina menarik paksa selimut tebal yang beberapa detik lalu menutup tubuh Clarissa. "Hn, pagi." Sabrina membuka tirai jendela sehingga menampilkan balkon kamar rumah Adit. "Tuh suami kamu lagi ngopi sama ibunya." Clarissa terusik, dengan gerakan pelan dia bangun. Mengikuti arah pandang Sabrina, di mana kedua orang yang baru saja disebut tengah bercengkrama. Mata Clarissa memanas mendapati suaminya tertawa renyah di hadapan Tamara. "Apa dia nggak kangen sama aku semalam ku tinggal?" tanya Clarissa membatin. Sabrina mendorong pelan bahu Clarissa menuju ranjang. "Kayanya kamu nggak perlu beli sarapan lagi, pasti mertuamu udah masak." "Sab, kok bisa sih Adit nggak nyariin aku?" tanya Clarissa mengalihkan topik. Sabrina duduk di ranjang sebelah Clarissa, menatap sahabatnya dalam-dalam. "Kamu tahu artinya apa?" Gelengan kepala polos membuat Sabrina terkekeh. "Ibu mertuamu berhasil menghasut Adit." Tubuh tinggi langsing itu berdiri, melangkah pelan menuju meja rias. "Setahu aku sih, banyak banget suami yang nggak menghargai istrinya karena seorang ibu. Dan menurut aku Tamara masuk kategori mertua yang wajib dihindari." "Kamu benar, Sab. Emang dia tuh pintar banget menghasut Adit." Kepalanya melengos ke arah balkon tadi. Kali ini hanya ada Tamara di sana, sekilas dapat Clarissa tangkap perempuan paruh baya itu mendecih. Sabrina tersenyum miring. "Udah, nggak usah diambil hati! Kita have fun aja ke mall, gimana?" "Ngapain?" "Aduh, Clar. Udah berapa lama Adit ngurung kamu di rumah sampai lupa caranya have fun di mall?" Sabrina menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir. Clarissa menggaruk belakang leher. "Maklum, sibuk nyuci-nyuci." "Yuk!" Sabrina berdiri mengulurkan tangan kanannya. "Kamu pakai baju aku aja." Clarissa mengangguk, menghampiri lemari besar yang berada di sisi kanan ranjang. "Yang benar aja, Sab. Kamu mau pinjemin baju kecil-kecil kaya gini?" Tangannya meraih dress moca polos dengan body mungil. "Ya nggak yang itu juga kali," desah Sabrina. Mengambil kaos crop top jumbo dengan celana kulot hitam. Clarissa menerima dengan bibir tersenyum. "Coba dulu ya?" Tanpa menatap anggukan kepala Sabrina, Clarissa buru-buru masuk kamar mandi. Sembari menunggu Clarissa bersiap, Sabrina memilih untuk memoles wajahnya dengan sapuan foundation tipis. "Celananya agak susah masuk, tapi masih bisa diselamatkan." Clarissa berteriak. Sabrina menatap pantulan wajahnya di kaca rias dengan raut geli. "Kalau robek ganti setengah harga loh." Clarissa keluar bersama langkahnya yang kesusahan membenahi letak celana. "Menurut kamu gimana?" Tanpa membalik badan, hanya melihat tampilan Clarissa dari balik kaca saja Sabrina dapat menilai dengan baik. "No worry, nanti pakai jaket denim sama sneakers." "Syukurlah," desah Clarissa. "Sini deh." Tangan Sabrina menepuk kursi di depannya. "Aku pengen moles wajah kamu." Clarissa menurut saja, duduk dalam diam menunggu tangan lihai Sabrina menyulap dirinya menjadi abg dengan perut buncit? "Nah, aku bilang juga apa? Kamu tuh cantik banget, Clar." Yang dipuji merona, menatap diri lewat kaca rias. "Kamu emang jago, Sab. Ini kaya aku pas mau kawin dulu." Sabrina bangkit, meraih stelan baju yang tergantung di rak minimalis. "Siapa dulu?" "Sabrina." Candaan itu terpotong kala suara baritone Adit yang menyerukan nama Clarissa dari parkiran depan. Sang empu hendak bergegas turun, tapi Sabrina lebih dulu mencekal pergelangan tangannya. "Mau apa?" "Itu Adit manggil." Sabrina menggeleng. "Nggak! Kamu nggak lupa 'kan kita mau kemana?" "Tapi?" "Nggak ada tapi-tapi lagi." Sabrina menarik tangan itu keluar kamar. Mereka mengintip Adit yang tengah mencium tangan Tamara dari balik tirai ruang tamu. "Halah, untung tadi kamu nggak nongol. Coba kalau nggak aku cegah, mau jadi apa kamu di telinga tetangga?" Sabrina menatap Clarissa serius. "Mertuamu pasti bongkar kelakuan kamu habis-habisan." Clarissa tak menjawab, memang yang dikatakan Sabrina akan benar adanya. Apa lagi waktu pagi begini banyak tetangga yang terjaga. Namun, dalam hati kecilnya merasa bersalah karena tak menilik pamitan kerja suaminya. "Clar?" Tangan Sabrina melambai di depan wajah Clarissa. "Kok bengong?" "Eh, nggak kok." Dia sampai tak sadar kalau mobil Adit sudah tak ada di garasi. Hanya menyisakan Tamara yang tengah menutup pagar rumah. Sabrina meraih kuncil mobil sebelum berkata, "Ayo berangkat!" "Tunggu!" cegah Clarissa resah. "Emang nggak papa aku pergi tanpa izin Adit?" Sabrina menarik paksa tangan gembul itu keluar rumah. "Jangan dipikirin! Yang penting kamu senang." Clarissa hanya bisa pasrah sembari melihat pintu rumahnya yang beberapa detik lalu ditutup Tamara. Mereka melaju dalam hening, tepatnya Clarissa yang terpaku akan lamunannya sendiri. Ponselnya pun tak mendapat satu pesan saja dari sang suami. "Apa Adit udah nggak peduli lagi sama aku?" tanya Clarissa dalam hati. Perempuan hamil memang lebih sensitif, meski Clarissa akui yang dia lakukan saat ini salah. Pergi bermalam di rumah Sabrina tanpa izin Adit, juga bersenang-senang di mall, Adit juga tak mengetahuinya. Sabrina menoleh lantas mengernyitkan kening. "Masih kepikiran Adit?" "Iya." Clarissa menjawab pelan. Terdengar Sabrina membuang nafas kasar. "Ya udah telfon gih! Sekalian minta duit belanja." Clarissa menoleh, menepuk jidatnya pelan. "Oh iya, kok bisa aku nggak bawa apa-apa." Sabrina mengedikan bahu. "Emang duit Adit bukan kamu yang pegang?" "Nggak, cuma beberapa lembar merah yang dia kasih habis gajian." "What?" Sabrina hampir menghentikan laju mobil itu saking tak percayanya. "Serius?" "Hn." Sebelum mengungkit kembali, Tamara berdehem lebih dulu. "Kamu nggak cu--" "Nggak," potong Clarissa cepat. Menatap jalan di depan yang tak terlalu ramai. "Aku nggak pernah curiga." Sabrina mendecih lirih hingga mungkin tak terdengar telinga Clarissa. "Ya menurut aku si, curiga itu perlu." "Kebutuhan Adit banyak," jawab Clarissa membela, atau lebih tepatnya tak mau mendengar hasutan Sabrina lebih jauh. Dia cukup paham akan kalimat lanjutan yang akan Sabrina ucapkan. Sabrina memasang raut yang begitu meyakinkan. "Gini, Clar. Mertua kamu 'kan nggak kerja, dapat pensiunan juga enggak. Terus dia gimana caranya buat mencukupi kebutuhan dia sendiri kalau bukan dari Adit?" "Aku nggak tahu soal itu, dan aku nggak berani ngomong apa-apa." Clarissa menutup mata. Sabrina terlihat mengepalkan kedua tangannya sebelum kembali rileks. "Aku cuma ngasih saran aja, mending kamu waspada." Clarissa mengangguk cepat, ingin menyudahi saja percakapan yang semakin melebar ke mana-mana. Bukan apa, Clarissa hanya tak mau malam nanti tidurnya tak nyenyak karena terlalu banyak pikiran. Omongan Sabrina memang benar, dia patut curiga. Tapi, sepertinya Clarissa tak bisa memendam rasa curiganya terus menerus jika benar omongan Sabrina barusan adalah fakta yang tak sekalipun dia relakan. Sabrina diam-diam melirik sahabatnya yang terlihat gusar. "Kapan terakhir kamu dibelanjain sama Adit?" Pertanyaan itu membuat Clarissa kembali flashback delapan bulan lalu. Saat terakhir kali dia menginjakkan kaki di lantai mall. "Udah lama." "Aku tahu kamu tuh butuh refreshing." Sabrina menyarankan. "Aku emang nggak tahu rasanya hamil, tapi kalau lihat dari mata kamu, kayanya bosan cuma berdiam diri sama kasur?" "Kamu nggak perlu tanyain itu lagi, Sab. Kepalaku rasanya muter-muter terus setelah lima hari bebas tanpa ibu mertua, eh kalau week end pengen pacaran sama Adit, jadi nggak bisa," eluh Clarissa menunduk. Sabrina tersenyum maklum. "Sekarang nggak perlu lagi takut buat keluar rumah, kamu bisa ajak aku kapan aja." Clarissa mengangguk. Lalu tanpa sadar mobil itu sudah sampai di parkiran. Sabrina keluar mobil dengan sangat percaya diri, Clarissa merasa iri karena tak memiliki mental setinggi yang Sabrina miliki. Hanya tak sengaja bersitatap dengan orang-orang yang kebetulan tengah lewat saja membuat kepala Clarissa tertunduk. "Sab, aku tunggu di mobil aja ya?" Permintaan itu membuat Sabrina terheran. "Loh kenapa?" Clarissa menunjuk tampilannya sendiri yang terlihat norak. "Harusnya ibi hamil tuh pakai daster aja." Tak tega meninggalkan Clarissa dalam mobil sendirian, Sabrina menarik tangan Clarissa, menuntunnya ke sebuah puast perbelanjaan dalaman perempuan. "Kamu tuh kenapa si, Clar? Hari ini aneh banget. Siapa yang bilang cuma boleh pakai daster? Kamu itu cantik banget." "Makasih pujiannya." Sesaat senang, sesaat pula rasa percaya dirinya hilang. Sabrina berhenti melangkah, sengaja melakukannya Agar Clarissa juga. "Kok berhenti?" tanya Clarissa dengan alis yang menyatu. "Kamu belum telfon Adit," ucap Sabrina mengingatkan. Clarissa menggeleng. "Nggak perlu, aku nggak mau beli apa-apa." "Duh, Clar. Ngawur lagi. Udah jauh-jauh ke sini cuma buat galau kaya gitu?" Sepertinya Sabrina mulai jengah. Clarissa menunduk. "Kalau boleh minjam uang kamu dulu," katanya pelan. Menelfon Adit, hanya untuk meminta uang bukanlah caranya. Meskipun suaminya seorang manager dengan gaji yang tak sedikit, tapi Clarissa bukan tipikal perempuan yang mudah memanfaatkan hal itu. Sabrina mengangguk. " Ya udah, ayo!" Mereka berjalan beriringan, Sabrina sengaja membelokkan langkah Clarissa menuju tas-tas branded yang dipajang. Dia raih sebuah mini bag warna silver. "Ini cocok deh buat kamu." Clarissa menggeleng. "Nggak ah, buang-buang duit. Lagian aku jarang keluar rumah." Sabrina kekeuh memaksa. "Harus beli, mumpung lagi promo." "Ini mahal, Sab." "Udah tenang aja," ujar Sabrina angkuh. Sabrina membungkus tas itu sebagai barang pilihan pertama yang Clarissa beli. Dia rangkul pundak perempuan hamil itu memutari seluruh penjuru mall. Clarissa sebagai ibu hamil merasakan kakinya yang mulai pegal-pegal. Dia menarik lengan Sabrina agar beristirahat lebih dulu. "Sebentar, aku capek banget." Sabrina menatap Clarissa dengan mata yang sedikit memicing. "Mau makan dulu aja?" Clarissa mengangguk. "Boleh." Demi apapun Clarissa sudah terlalu cukup menenteng beberapa belanjaan. Dan Sabrina masih saja memaksa untuk membeli banyak hal tadi. Dia tatap satu persatu baju serta sepatu yang dia beli, sejujurnya Clariss tak terlalu butuh itu. Tapi, lagi-lagi ucapan Sabrina tak bisa dia elak. "Mumpung lagi ada kesempatan buat belanja, lagian baju-baju ini bakal kamu butuhin nanti setelah lahiran." Ibu hamil mungkin lebih pusing berbelanja kebutuhan sang calon bayi ketika usia kandungan sudah mencapai enam bulan. Dan Sabrina lagi-lagi menyarankan, "Itu biar jadi urusan Adit. Kamu bisa belanja nanti sama dia." Menjadi istri yang gemar foya-foya seharian bukan membuat perasaan Clarissa lega, dia justru bertambah galau. Membayangkan bagaimana reaksi suaminya nanti ketika mendapati seorang Clarissa begitu berbeda. Belum lagi Tamara yang masih betah tak beranjak pulang. Sabrina menyeruput es kopi seraya menatap wajah lelah Clarissa lekat. "Kamu nggak suka aku ajak jalan-jalan?" Mendengarnya dengan cepat Clarissa menggeleng. "Masa nggak senang sih? Aku justru berterima kasih sama kamu karena udah luangin waktu buat nemenin aku cari udara segar." Kini wajah Sabrina terulas senyum manis. "Kalau gitu sekarang kamu nikmati makanannya. Aku ada urusan kerja di sana sebentar," tunjuknya pada orang-orang yang bergerombol memutari brand kosmetik yang dengar-dengar baru rilis setengah bulan lalu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN