"Huwaaaaaa! Dia bakalan wamil!"
Ia biarkan Rissa dan dunia fangirl-nya yang gila. Gadis itu sudah jarang menonton drama Korea. Bahkan banyak melewatkan drama-drama yang sedang hits saat ini. Mereka akan berangkat ke Kuala Lumpur hari ini. Tapi memutuskan untuk berangkat jam dua belas siang nanti. Bertepatan dengan jam keluar dari hotel. Mereka belum makan apapun sejak pagi. Hanya makanan sisa semalam. Itu pun sudah basi dan sudah dibuang Khanza ke tempat s****h.
"Gue kira lo gak segila yang lain," celetuk Khanza. Sudah lama mengenal Rissa tapi terkadang terheran-heran dengan tingkahnya.
"Gue itu sukanya sama aktor yang lama-lama. Kayak Lee Seung Gi Oppaaaa! Huwaaaaaa!"
Khanza menghela nafas. Menyesal sudah bertanya. Hahaha. Gadis itu bergerak mematikan televisi. Toh tidak ditonton juga. Ia juga berselancar dengan ponselnya. Tak ada apapun pesan yang ia terima lagi. Sepertinya obrolan mereka terhenti. Terakhir hanya membicarakan perjalanan ini. Lalu tak ada apa-apa. Khanza bingung. Ia harus bagaimana kah? Bertanya pada temannya? Tapi akan terasa ganjil. Lantas harus bagaimana?
Lalu tak lama Rissa beranjak. Sepertinya akan mandi, mengingat ini sudah jam sepuluh pagi. "Kita ke mana hari ini? Masjid Sultan lagi?"
"Ada tempat lain yang enak buat numpang sampe sore?"
Rissa menggeleng. Tempat menggembel lain belum tentu enak. Satu-satunya tempat terenak ya hanya masjid Sultan. Itu adalah pilihan tempat pertama dan terakhir. Rissa menghentikan langkahnya tepat di depan kamar mandi. Tadinya memang mau masuk tapi tak jadi dan malah mundur lagi lalu menatap ke arah tempat tidur di mana Khanza duduk. Gadis itu menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur.
"Eh-eh! Gue jadi inget film semalem deh."
Kening Khanza mengerut. "Film apaan?" .
"Yang China semalam."
"Aaaaah," Khanza mengangguk-angguk. Entah lah apa. Hahaha. Ia sudah lupa soal film semalam. Sementara Rissa malah tampak semangat membahasnya.
"Gue kecewa aja karena dia gak sama seseorang yang selama ini udah bantuin dia. Malah sama cowok lain yang baru datang ke kehidupannya," ungkapnya sedih. Khanza menggeleng-gelengkan kepalanya. Baginya itu tak penting. Pikirannya masih kalut karena memikirkan tidak adanya kelanjutan dari pesan-pesan kemarin. Oke, katanya memang berdosa. Tapi ia hanya ingin tahu kejelasan dari hal ini. Ta'aruf seperti apa yang harus ia jalani? Karena jujur saja, berkenalan dan saling mengirim pesan seperti ini juga terasa ganjil. Namun pilihan yang ada saat ini memang hanya ini. "Haaah! Dunianya emang gak adil. Kalau gue jadi cewek itu--"
"Lo gak bakal jadi cewek itu. Lo tetep jadi Rissa. Udah sana-sana mandi. Ntar kita telat keluarnyaaaa!"
Rissa mengerucutkan bibir. Walau akhirnya tetap masuk ke dalam kamar mandi. Khanza kembali menggelengkan kepala. Kalau menunggu Rissa selesai bercerita, mereka bisa keluar dari hotel tanpa mandi sama sekali. Lalu mau ditambah tidak mandi lagi nanti sore? Hohoho. Makanya setidaknya sebelum keluar dari hotel ini, mereka harus mandi.
Rissa selesai mandi, gantian Khanza yang masuk. Lalu suasana hening. Rissa tampak sibuk memberesi sisa-sisa barangnya lalu merapikan kamar hotel seadanya. Sebetulnya petugas hotel menawarkan apakah kamar mereka mau dibersihkan atau tidak. Tapi kedua gadis ini kompak menolak. Karena apa? Segan saja. Hahaha. Meski memang sudah tugasnya. Tapi biasanya kalau Rissa menginap di hotel-hotel yang ada di Indonesia, ia juga tak pernah menemukan hal semacam itu. Baru pertama kali mendengar saat tiba di sini.
"Kita berantakan banget ya?" tutur Khanza begitu keluar dari kamar mandi. Rissa terkekeh. Tapi setidaknya, ia sudah agak merapikannya dengan lebih manusiawi.
"Kira nyari makan di mana? Sekitar masjid Sultan?"
Khanza berdeham. "Kalau makan di warung makan yang orang India itu gak nyaman kan dengan kondisi kayak gini?" tanyanya sembari menunjuk dasarnya yang tergeletak di atas tempat tidur. Ya memang tidak nyaman. "Gue mau lepas aja ah di Malaysia."
"Gitu?"
Khanza mengangguk-angguk.
"Kita emang abal-abal."
Khanza tertawa. "Minimal bertahan di sini udah keren."
Rissa menggelengkan kepala. Ia juga mudah goyah. Apalagi Khanza malah memasukan cadar ke dalam tasnya. Ia menukarnya dengan masker kain. Rissa memeriksa masker kainnya namun sayangnya masih kotor. Mereka belum mencuci baju sama sekali. Rencananya akan mencuci besok saat tiba di Kuala Lumpur. Pertimbangannya? Harganya lebih murah dibandingkan dengan di sini. Pilihan yang bagus bukan? Tentu saja. Dengan uang yang serba terbatas, mereka harus menentukan pilihan termurah dan termanusiawi bagi perut manusia. Bagaimana pun, urusan makan adalah yang tidak bisa ditunda.
Hampir jam dua belas, keduanya masih duduk. Saat ada yang mengetuk, mereka baru berdiri. Ternyata sudah ditegur sang pemilik hotel. Mungkin pemilik atau juga petugas. Mereka juga tak tahu. Yang jelas, begitu diketuk, keduanya langsung memakai sepatu dan beranjak menuju pintu.
"See you!" pamit Rissa yang hanya membuang Khanza geleng-geleng kepala. Entah pamit pada siapa. Karena tak ada siapapun di dalam kamar hotel itu.
Keduanya beranjak menuruni tangga. Saat tiba pertama kali di sini, Khanza ingat kalau ia mendengar suara orang-orang Indonesia berbicara. Pastinya memang banyak turis Indonesia yang ke sini. Dan saat berpisah dengan hotel ini, Khanza tak tahu apakah harus senang atau kah sedih. Ia senang karena mereka akan segera ke Malaysia. Ingin merasakan perjalanan panjang menuju ke sana. Namun di sisi lain, ia juga sedih karena kepergian mereka hari ini adalah pertanda kalau liburan mereka tak begitu lama di luar negeri. Akan segera menghadapi realita yang sangat ingin dihindari. Tapi tanggung jawab tidak mungkin ditinggal pergi. Karena Khanza juga tak mau menjadi pengecut dan menyesal seumur hidupnya.
"Haaaaah! Akhirnya ke Malaysia juga!" seru Rissa yang tampak senang.
Khanza menoleh sedikit. "Kita belum ke sana. Masih harus ngegembel di masjid Sultan."
"Aaaaah iya lo bener!" serunya karena baru ingat. "Semoga gue ketemu jodoh di sana mumpung hari terakhir."
Khanza terbahak mendengarnya.
@@@
"Sepertinya jodoh gue emang bukan di sini," gumamnya pelan. Khanza sampai membekap mulutnya sendiri karena terbahak mendengar itu. Mereka baru saja tiba di masjid Sultan lalu solat Zuhur. Setelah solat, tentu saja kelaparan. Dari pagi kan memang belum makan apapun.
"Katanya berhenti mikirin jodoh biar bisa fokus penelitian," sindir Khanza.
"Aah elu, gue bercanda aja didengerin."
Khanza tertawa. Kadang ia tak bisa membedakan mana yang candaan dan keseriusan dari Rissa. Keduanya memesan banyak makanan secara tak sengaja. Niat hati mau menghabiskan sedikit uang. Berhubung uang mereka untuk makan di Singapore memang masih banyak. Efek terlalu mengirit dalam dua hari kemarin. Akhirnya hari ini balas dendam.
Rissa melirik ke arah pemilik kedai Turki yang mereka sambangi. Sedari mereka masuk, keduanya memang terus diperhatikan. Bahkan tadi si penjualnya sempat menyeletuk saking penasaran dengan bagaimana keduanya makan. Khanza malah sebodo amat. Ia makan semaunya saja. Yang penting perutnya kenyang.
"Ini masih banyak heh," tegur Rissa. Mereka salah memesan. Harusnya cukup memesan satu bakul nasi. Mana tahu pula kalau diberikan satu bakul bukannya satu piring. Mereka mengira kalau satu porsi itu yaa satu piring. Makanya tadi memesan dua porsi. Saat makanannya diantarkan tadi pun Khanza ingin tertawa. Merasa bodoh.
"Minta bungkus aja gimana?"
"Tahan malu ya?"
Khanza terkekeh. Tapi memang tak ada jalan lain lagi. Khanza yang biasanya makan dua kali lebih banyak dari Rissa saja sudah tak sanggup. Meski dari pagi perut mereka kosong. Kini masih setengah makanan dari yang dipesan, terpampang di atas meja.
Akhirnya setelah mencoba memakan lagi, mereka menyerah. Sambil menahan malu, Khanza meminta agar makanannya dibungkus. Entah kapan akan dimakan tapi lumayan untuk perjalanan yang panjang setelah ini.
"Kita ke mana lagi?"
"Duduk di masjid aja lah sampai Ashar," usul Rissa. Toh mereka memang tak punya tempat lagi. Khanza setuju. Akhirnya keduanya berjalan kembali menuju masjid Sultan. Suasana siang ini mendung. Meski belum hujan. Tapi Rissa juga was-was. Kalau sampai hujan dan hujannya awet kan akan brabe. Mereka tak membawa payung karena mengira cuaca akan terus cerah. Rissa juga sudah melihat ramalan cuaca di Singapore dan Malaysia di tanggal-tanggal keberadaan mereka di sini. Seharusnya aman. Tapi Rissa hampir lupa kalau itu hanya lah ramalan manusia. Jangan percaya ramalan karena jatuhnya seperti syirik. Iya kan? Namun menarik sisi positifnya. Ini kan ramalan cuaca. Bukan untuk mengubah kepercayaan seseorang. Rissa juga tak berpikir berat ke arah sana.
"Hujan gak ya?"
Khanza agak khawatir. Tas ransel mereka bisa basah kalau sampai kehujanan.
"Atau mau berangkat aja?" tawar Rissa. Meski ia tak yakin juga. Ia melirik jam di ponselnya. Sudah hampir jam setengah tiga sore. Ashar masih lumayan lama.
"Kalau dijamak gimana?"
"Harusnya sih bareng solat Zuhur tadi."
Khanza masih berpikir. Namun akhirnya memilih tetap tinggal hingga Ashar. Toh mereka akan berangkat dengan bus tengah malam. Akhirnya keduanya menggembel di masjid Sultan. Tapi jangan sampai tertidur karena bisa saja diusir. Menjelang Ashar, keduanya langsung bersiap-siap. Mereka berangkat ke tempat wudhu lalu kembali ke atas. Selesai solat, keduanya segera berjalan menuju stasiun MRT.
"Sampe Woodland kan?"
Rissa mengangguk-angguk. "Nanti tukar kartu ini di sana."
Khanza mengangguk. Keduanya berjalan cepat agar bisa cepat sampai di stasiun. Setibanya di sana, keduanya langsung naik kereta. Berhubung hari ini tak mendapat tempat duduk, keduanya terpaksa berdiri. Rissa menurunkan tas ranselnya dan menjepitnya dengan kedua kaki. Karena tas ranselnya berat dan banyak baju kotor. Ia juga sudah gerah. Tadi sempat berpikir ingin mandi di toilet masjid tapi tak mungkin. Nanti ia benar-benar diusir di sana. Karena di dalam toilet pun jelas ada tulisan dilarang mandi.
"Perjalanan kita lancar selama di sini."
Khanza mengangguk. Memang benar.
"Tapi gak ada kejadian-kejadian ikonik kayak di drama-drama Korea gitu ya."
Khanza hanya terkekeh kecil mendengar itu. Saat melihat tempat duduk, ia menepuk bahu Rissa dan mengajaknya duduk.
"Akhirnya," keluh gadis itu. Bahunya pegal dan perjalanan menggembel masih panjang. Begini lah nasib backpacker kere dari tanah melayu. Hihihi. "Satu sampe dua tahun nanti bakalan ke mana lagi ya?"
Khanza terkekeh. Ia juga punya mimpi untuk ke luar negeri lagi.
"Minimal ke negara-negara ASEAN lah kalo dompetnya masih pas-pasan."
Khanza tertawa. "Thailand? Vietnam? Filipina? Sebenarnya gue agak kurang tertarik sih."
"Thailand boleh lah. Gue pengen ketemu Nichkhun."
Khanza tertawa. "Bukannya masih di Korea ya?"
Rissa mengendikan bahu. Ia juga kurang tahu karena sudah jarang mengikuti perkembangan dunia hiburan Korea Selatan. Akhir-akhir ini ia sibuk dengan dunianya sendiri. Rasanya? Menyenangkan sih. Karena ia bisa fokus pada hidupnya sendiri.
"Kadang tuh ya terlintas pengen kuliah di Korea."
Khanza terkekeh. "Bukannya Inggris ya?"
"Yang mana dapatnya sih kalau gue."
"Ya sih. Rezeki, maut dan jodoh itu emang gak ada yang tahu."
"Kalau udah tahu, gak ada yang seru lagi. Memang keren skenario Allah menciptakan drama hidup hamba-hamba-Nya."
Khanza tersenyum kecil. Memang benar. Ia juga mengakui keagungannya. Obrolan mereka ringan sore ini. Hingga tak sadar sudah membawa mereka ke stasiun pemberhentian terakhir tujuan mereka. Tentu saja Woodland. Mereka akan naik bus lagi. Kalau dari informasi yang didapatkan Khanza, mereka akan naik bus untuk ke Imigrasi dan lalu ke terminal bus Lankirn. Ia belum ada bayangan akan seperti apa. Tapi begitu turun, keduanya langsung bertanya di mana bus yang bisa mereka naiki untuk ke Johor Bahru. Tadinya mau mencoba Sleeper Train. Tapi saat bertanya, ternyata tak bisa membeli tiket langsung disana. Harus melalui online dan mereka bingung cara membayarnya. Kan uangnya sudah dalam bentuk tunai dan lagi tak ada yang punya akun Paypal atau sejenisnya.
"Itu yang dimaksud?"
"He-eh?" Khanza sempat kehilangan fokus gara-gara melihat kios penjualan coconut ice cream yang tak sempat mereka coba di sini karena harganya mahal. Sekitar 5 dolar Singapore atau lima puluh ribu rupiah. Hahaha. "Oh iya kayaknya," tutur Khanza. Saat melihat banyak bus berderet, mengingatnya pada busway.
"Rame banget ya?"
Khanza mengangguk-angguk. Padahal ini kan hari kerja. Tapi keduanya memang belum tahu apa-apa tentang apa yang sering terjadi di sini. Saat naik bus, mereka dibawa menuju Woodland Checkpoint.
Keduanya bingung saat tiba-tiba diturunkan padahal menurut mereka, belum tiba di tempat tujuan. Saat bertanya, sang kondektur bus hanya menyuruh turun lalu nanti naik lagi. Katanya begitu. Dengan wajah bingung keduanya turun, saat turun itu lah Khanza melihat kantor Imigrasi. Aaaah. Ia mengangguk-angguk. Keduanya segera berjalan menuju ke arah loket Imigrasi. Kantor ini sangat lah besar. Berbeda dengan saat di bandara tentunya. Yang menjadi perhatian Rissa dan Khanza adalah keramaian yang terjadi. Bahkan ada yang mengenakan baju sekolah dasar. Ya warna putih merah tapi tentu saja bentuk seragamnya agak berbeda dengan yang di Indonesia. Lalu banyak yang memakai kemeja. Mengingatkan Rissa pada suasana lagi dan sore hari di commuterline. Ia baru paham setelah lama mengamati.
"Kayaknya pada kerja di Singapore tapi rumahnya di Johor Bahru. Yaaa kayak orang Bogor kerja di Jakarta lah."
Aaah. Khanza ikut mengangguk-angguk. "Antriannya panjang banget lagi."
Rissa mengangguk-angguk. Mau bagaimana lagi?
"Gue baru ngecek."
"Apaan?"
"Kita cuma ke masjid Sultan doang ya. Padahal ada beberapa masjid lain juga yang bagus." Ia menunjukan layar ponselnya. Khanza ikut memepetkan tubuhnya untuk membaca informasi itu.
Ya selain masjid Sultan, memang ada beberapa masjid lain yang juga terkenal di Singapore. Sayangnya, mereka melewatkannya. Ada Masjid Abdul Gafoor yang merupakan masjid yang unik di tengah pemukiman Little India, di Dunlop Street, salah satu Masjid bersejarah di Singapura. Masjid ini awalnya di bangun oleh kaum Muslim India Selatan yang bermukim di Kampong Kapor. Lalu ada Masjid Hajjah Fatimah. Sesuai dengan namanya Masjid Hajjah Fatimah, masjid ini dibangun oleh seorang pengusaha wanita kaya. Dulunya Ibu Fatimah bertempat tinggal di tanah ini, tiba-tiba terjadilah kebakaran, beruntungnya Ibu Fatimah berhasil selamat tanpa ada luka sedikitpun. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa ia pun membangun Masjid ini, dan dinamakan Masjid Hajjah Fatimah. Bangunan masjid ini sangat cantik dan unik, karena perpaduan arsitektur, Melayu, Tionghua dan Eropa. Lalu ada Masjid Malabar. Masjid ini bertempat di 471-Victoria Street, Singapura. Masjid Jamaath Muslim Malabar dulunya ini dibangun oleh Jemaah Muslim dari India Kerala pada tahun 1927. Terakhir, Masjid Jamae Chulia. Masjid ini adalah salah satu masjid tertua di Singapura, rumah ibadah ini terletak di Chinatown. Masjid ini punya ciri khas dengan gerbangnya yang bernuasa Pagoda Tiongkok d******i dari Chinatown.
@@@
Usai membeli paket internet, keduanya lega. Seolah tadi dunia hilang hanya karena tak ada paketan internet. Tapi Rissa juga merasakan kehampaan sih. Mana jomblo pula kan. Kasihan.....
"Laper gak?"
"Yang tadi masih ada?"
Khanza tertawa. Minimal masih ada roti Bazlama yang tadi mereka minta bungkus. Bazlama adalah roti pipih khas Turki yang secara tradisional dimasak dalam oven luar ruangan dan disajikan dalam keadaan hangat. Roti ini terbuat dari tepung, gula, garam, ragi, yogurt, dan air. Rasanya enak. Rissa saja suka.
"Eh beli makanan aja sekalian di situ. Yang bisa buat berdua."
Khanza tertawa. Ia hampir lupa kalau harus hidup hemat. Meski tadi baru saja menukar sisa uang dolar Singapore mereka dengan uang ringgit. Hasilnya lumayan. Rissa berniat jajan lebih banyak di sini karena harga-harga makanan tentunya akan lebih murah di sini dibandingkan dengan Singapore.
Keduanya makan di sebuah warung makan setelah turun dari tangamga Johor Bahru Checkpoint. Tentunya tadi baru keluar dari Imigrasi untuk masuk ke daerah Malaysia. Berhubung masih jam delapan malam, keduanya makan dulu.
"Mau solat gak? Tadi belum magrib juga," tutur Khanza, mengingatkan. Rissa mengangguk-angguk sambil mengunyah gorengan. Di Malaysia juga ada gorengan, pikirnya. Hahaha.
Keduanya masuk lagi ke Johor Bahu Chekpoint untuk menanyakan tempat solat. Lalu menjamakkan solat Magrib dan Isya. Mereka masih sempat duduk sebentar karena lelah setelah satu jam berdiri. Punggung pegal juga karena harus menyandang dua tas, yabg satu di belakang dan yang satu di depan. Setelah hampir setengah jam berisitirahat, keduanya berjalan menuju bus.
"Udah hampir jam sembilan. Mau berangkat aja?"
Khanza mengangguk-angguk saja. Mereka bertanya di mana bus menuju Terminal Lankirn. Beruntungnya, keduanya masih berhasil mendapat bus terakhir yang akan berangkat ke sana. Bayarnya sekitar 2 ringgit atau kalau dirupiahkan sekitar enam ribu rupiah. Bus yang mereka naiki persis metromini yang ada di Jakarta. Tampilannya, bututnya dan ugal-ugalannya. Khanza dan Rissa berpegangan erat dengan sisi kursi di sepanjang perjalanan. Karena laju bus yang tak karuan. Padahal jalanan sudah lengang. Tapi tetap saja tak menghentikannya untuk tetap mengebut di jalan. Setibanya di terima Lankirn, jantung Rissa benar-benar hampir lepas.
"Gue pikir bakal mati sebelum menikah."
Khanza tertawa mendengar itu. Ya lumayan lah ya. Dikala tubuhnya lelah begini, mereka masih bisa bercanda.
"Gak di Jakarta, gak di sini. Heran gue."
"Namanya juga sopir. Kadang lupa kalau bawa manusia. Ngejarnya cuma duit."
Rissa mengangguk-angguk setuju. Keduanya berjalan masuk ke dalam terminal. Kemudian mencari-cari tempat duduk.
"Duh! Pengen pipis lagi!"
"Samaaaa! Gue jugaaa!"
Rissa tertawa. Mereka adalah anak yang kebelet pipis. Usia bertanya di mana letak toilet, Rissa mengangguk-angguk. Ini benar-benar Indonesia, pikirnya. Toiletnya membuatnya menutup hidung dan mengeluh dalam hati. Kalau bukan karena khawatir akan pipis di celana, ia berjanji tidak akan mau pipis lagi.
"Ris! Ris! Wooi!" panggil Khanza.
Gadis itu terbangun. Tak tahu kalau tertidur di bahu Khanza.
"Mau naik bus kagak?"
"Perasaan tadi baru habis pipis."
Khanza terkekeh. "Ngigo loh ya? Itu udah kejadian beberapa jam lalu. Udah jam dua belas nih. Mau naik gak?"
Rissa menguap. Ia mengangguk pelan lantas berdiri dan mengikuti langkah Khanza menuju bus untuk berangkat ke Kuala Lumpur. Haah. Ia benar-benar lupa apa yang terjadi usai pipis tadi.
Setengah jam kemudian mereka baru bisa duduk di dalam bus. Khanza mengintip ponselnya lagi. Namun hanya bisa menghela nafas dan akhirnya menyimpan ponselnya ke dalam tas. Tak ada pesan lagi. Apa yang ia harapkan dari ta'aruf ini? Ta'aruf apa pula ini namanya, ia tak tahu. Tak paham dan tak mengerti. Saat menoleh ke arah di sebelahnya, ia melihat Rissa sudah mendengkur halus. Sepertinya benar-benar lelah, pikirnya. Ia juga sama. Tubuhnya amat sangat lelah. Mana membawa ransel berat seharian ini.
Bus mulai terisi penuh dan segera berjalan. Ini bus ternyaman yang pernah Khanza naiki. Tentu berbeda jauh dengan bus yang ia naiki kala pulang kampung ke Padang. Meski sudah sering, ia tetap saja mual kalau ingat itu. Perjalanan dengan menaiki kendaraan daratan tentu lebih menyenangkan menurutnya dibandingkan dengan naik pesawat. Karena apa? Saat melihat ke arah jendela, ia bisa melihat banyak pemandangan. Meski malam ini hanya ada pandangan jalanan dan oenukiman yang sepi. Mungkin karena ia tak benar-benar melewati jalan pemukiman. Tapi tangannya otomatis menepuk bahu Rissa saat Khanza melihat pemandangan yang luar biasa bagus. Mereka melintasi atas jembatan dan dalam keadaan malam-malam begini tentu saja sangat bagus. Rissa sampai membuka matanya lebar-lebar meski sudah mengantuk.
"Waah kayaknya karena kota ini di perbatasan negara jadi keren ya?"
Khanza mengangguk-angguk. Mungkin karena perbatasannya dengan Singapore. Akan berbeda nasib jika berada di perbatasan Kalimantan sana. Katanya memang bagus tapi jalanan masih banyak hutan. Kalau yang ini, Khanza juga mengakui sangat keren. Meski demikian, ia itu tetap saja tak begitu menghibur hatinya. Apakah ini yang dinamakan ta'aruf? Menunggu pesan? Ia pun tak paham.
@@@