Niara benar-benar menikah dengan Kenan! Hari yang ditunggu oleh keluarga besarnya tapi tidak untuk sang calon pengantin. Dia masih berharap jika dirinya hanya mimpi, bukan kenyataan. Niara memakai wedding dress yang simpel, dia tidak suka yang terlalu ribet.
Awalnya Niara ingin mengenakan gaun pengantin yang seperti ini. Memperlihatkan kulitnya yang terbuka lebih banyak. Namun tentu saja keinginannya ditentang keras oleh orangtuanya dan juga Niko. Sedangkan Kenan? Tidak pria itu hanya memandangnya dengan alis yang tertarik ke atas. Pria itu mungkin tidak peduli jika dirinya mengenakan pakaian atau tidak. Pria itu tidak mencintainya, ingat?
Jadi daripada dirinya mendapatkan omelan panjang kali lebar, dia memilih pakaiannya yang aman yang dikenakannya sekarang.
Mungkin impiannya saat remaja menikah dengan Kenan memang tercapai, tapi dia tidak menginginkan ini. Rasanya ada yang kosong, mereka menikah bukan tanpa cinta tapi karena suatu keadaan. Andai jika dirinya tidak hamil, apakah dia akan menikah dengan Kenan nanti? Dan tentu saja jawabannya tidak. Kenan tidak mencintainya, pria itu tidak menganggapnya sebagai wanita. Terlebih kejadian 7 tahun lalu yang membuat dirinya dan Kenan seperti orang asing.
"Jangan pernah ngaku-ngaku lagi, lo cewek gue! Lo udah gue anggap sebagai adek gue sendiri, Ra. Berhenti deketin gue lagi, kelakuan lo bikin cewek yang gue suka pergi. Jadi mulai sekarang, jangan pernah lo deket-deket gue ketika Niko nggak ada. Gue risih lo deketin gue terus, lo akan selamanya gue anggap adek. Nggak lebih!"
Sampai kapanpun perkataan Kenan saat menolaknya dulu akan dia ingat, tidak ada yang tahu jika dirinya saat itu mengutarakan perasaannya. Dia pikir selama ini perasaan Kenan untuknya sama, tapi ternyata dugaannya salah. Kenan menyukai cewek lain yang jelas bukan dirinya. Dan mulai sejak saat itu dia bersumpah untuk menghapus perasaan untuk Kenan. Pria itu hanya masa lalunya, bukan masa depannya. Iya memang dia sekarang menikah dengan Kenan. Tapi hatinya? Ntah lah.
"Kamu sakit?" Tanya Kenan begitu melihat Niara yang hanya diam saja dengan pandangan kosong.
Niara yang tersadar dari lamunananya hanya menggeleng. Kenan yang mendapati respon seperti itu dari Niara kembali kesemula, menyalami para tamu.
Pernikahan mereka diadakan tertutup, ini semua karena keinginan Niara yang tidak ingin mengundang banyak orang. Niara beralasan karena kehamilannya membuatnya selalu kelelahan, dan mereka setuju. Namun alasan yang jelasnya, karena Niara tidak ingin sampai ke empat kekasihnya itu mengetahui jika dirinya menikah. Iya benar, Niara tidak memutuskan mereka. Karena pernikahannya dengan Kenan hanya sebuah status untuk anaknya kelak. Dan dia tetap akan melanjutkan hubungannya dengan ke empat kekasihnya.
Niara rasanya sudah pegal, jika kondisi normal tidak hamil. Dia masih tahan dengan sepatu tingginya, tapi sekarang meskipun sepatunya pendek dia sudah tidak kuat.
Niara berjalan mengangkat gaunnya, lalu menghampiri sang mama untuk meminta izin ke kamar. Dia ingin beristirahat sejenak, sebelum dia mengganti gaunnya yang ke empat. Iya benar dia mengenakan 4 gaun yang berbeda ketika menikah. Dan ini membuatnya benar-benar lelah.
"Mau Mama antar?"
Niara menggeleng.
"Yaudah kamu hati-hati yah."
Niara mengangguk lalu berjalan meninggalkan ballroom, Kenan yang masih berdiri di depan hanya bisa memandang dari jauh tubuh kurus Niara yang perlahan menghilang di balik pilar.
Niara mengistirahatkan tubuhnya sebentar, dia tiba-tiba saja mengantuk. Mungkin tidur sebentar tidak akan masalah? Batinnya.
Dan baru saja kepala Niara menyentuh bantal, Niara langsung tertidur. Bahkan dia melupakan jika acara pestanya belum selesai, namun dia tentu tidak peduli.
Beberapa jam kemudian, Niara sudah terbangun. Dia merasa lapar dan haus, dia melirik ke sekitar kamar. Ini kamarnya dan begitu melihat tubuhnya. Pakaiannya sudah digantikan dengan piyama tidurnya, dia tidak mempermasalahkan siapa yang mengganti pakaiannya. Mau Kenan sekalipun yang menggantinya dia tidak peduli. Toh tubuhnya sudah pria itu jamah, untuk apa dia marah?
Niara turun dari ranjang, melirik nakasnya yang tidak terdapat gelas. Dia berdecak, sangat malas jika dia harus turun ke dapur. Begitu dia akan membuka pintu kamar, pintu kamar mandi telah terbuka menampakkan Kenan yang terlihat segar dengan rambut yang basah.
"Mau ke mana?" Tanya Kenan melihat Niara yang hanya bengong melihatnya.
Niara menelan ludahnya gugup kemudian membalas perkataan Kenan.
"Kamu tunggu di sini, biar aku yang ambilkan."
"Tapi aku ingin makan."
"Baik nanti saya akan bawakan sekalian."
Niara kemudian mengangguk lalu kembali ke atas ranjang, tidak percaya jika dirinya mulai menurut perkataan Kenan.
Tak berapa lama Kenan kembali muncul dengan nampan yang membawa makanan juga minuman. Niara yang melihat itu berbinar, dia kemudian makan dengan lahap setelah minum dengan rakus.
Kenan memandang Niara dengan tatapan takjub, melihat Niara yang terlihat kelaparan. Setelah Niara makan Kenan memulai berbicara.
"Besok kita pindah, kita tinggal di apartemen dulu sebelum saya mencari rumah."
Niara hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
"Kamu tidak keberatan, Ara?"
"Tidak, toh kita tidak mungkin tinggal di sini atau rumah ibu mu."
Kenan mengangguk membenarkan.
"Adakah yang ingin kamu tanyakan?"
"Tidak aku lelah sekali, Mas Kenan tidur di sofa. Aku tidak mau tidur seranjang."
Niara berucap sambil kembali menenggelamkan tubuhnya diranjang.
"Baiklah untuk malam ini tidak apa," balas Kenan ambigu yang sepertinya tidak diindahkan oleh Niara.
***
Niara berjalan masuk ke dalam apartemen Kenan. Wanita itu langsung mencari-cara kamar tidurnya, dia membuka satu pintu yang tidak jauh dari pintu apartement. Dia membukanya dan harus menelan kecewa karena itu kamar mandi untuk tamu, dia kemudian kembali masuk lebih dalam dan menemukan sebuah pintu yang terlihat besar. Ketika dibuka dia langsung disuguhi harum Kenan yang sudah dapat dipastikan jika kamar ini adalah kamar Kenan.
"Mana kamarku?"
"Kamu tidur di sini bersama saya."
Niara menyipitkan matanya.
"Tidak, aku tidak mau."
"Tidak ada kamar lain, Ra. Satu kamar lainnya sudah saya gunakan untuk ruang kerja."
"Lalu di mana aku tidur?"
"Ranjang itu sangat luas, kita bisa berbagi ranjang."
Niara benar-benar tidak percaya dengan perkataan Kenan.
"Kamu tidak usah khawatir, saya tidak akan menyentuhmu. Kamu bukan seleraku."
Perkataan Kenan seolah menyadarkannya ke masa lalu. Jika sampai kapanpun pria itu tidak akan menganggapnya sebagai wanita.
"Bagus, dan aku tidak suka Mas Kenan mencampuri urusanku."
Setelah mengatakan kata-kata itu Niara kembali keluar dari dalam kamar, mengambil barang yang akan dia ambil untuk dia rapihkan.
Niara membawa koper yang berisi pakainnya, tak mengidahkan kehadiran Kenan yang tengah memandangnya.
Niara membuka lemari Kenan, lalu mulai memasukan pakaiannya ke dalam lemari tersebut setelah dia menumpuk pakaian Kenan di atas. Dia juga memindahkan dalaman Kenan agar dia bisa memasukan dalamannya juga. Setelah itu dia berbalik menghadap Kenan dengan tangan yang berkacak pinggang.
Kenan memandang Niara yang masih terlihat kurus, apalagi perut wanita itu masih terlihat kecil. Tubuh Niara memang sudah berubah, namun rasanya dia tidak menyukai pakaian yang selalu dikenakan wanita itu. Niara selalu menggunakan pakaian terbuka, yang jelas dulu saat mereka masih dekat Niara tidak pernah memakai pakaian yang kekurangan bahan begini.
"Mas Ken harus tahu, jangan nuntut aku untuk jadi istri sempurna. Karena kita menikah terpaksa, aku gak bisa masak. Mas Ken bisa beli atau sewa asisten rumah tangga, dan aku juga akan tetep kerja. Aku gak mau diem di rumah nunggu Mas Ken pulang, nggak aku bukan perempuan kayak gitu."
Kenan diam, dia tahu kalau Niara memang tidak bisa memasak. Dan itu memang tidak masalah untuknya, namun untuk bekerja. Dia tidak menyukainya, karena wanita itu tengah hamil.
"Tapi kamu sedang hamil, bagaimana jika itu bisa membahayakan bayi kita? Kamu dengarkan waktu itu. Bayi kita lemah, Ra dan kamu sekarang masih mau bekerja?"
"Aku tetap akan kontrol, kamu jangan khawatir.
Setelah mengatakan hal itu, Niara keluar dari dalam kamar. Dia tidak bisa lama-lama satu ruangan dengan Kenan. Lalu bagaimana nasibnya nanti? Sampai kapan dia akan terjebak dengan pria itu? Dia tidak mau memikirkannya, kepalanya bisa pusing nanti dan ini tidak baik untuk kondisi janinnya.
***
Sudah satu minggu Kenan dan Niara menikah, mereka seperti orang asing di dalam rumah. Ketika Kenan pulang kerja, Niara sudah tertidur begitupun ketika Niara bangun di pagi hari Kenan pun sudah pergi. Mereka jarang sekali bertemu, dan itu jelas bagus untuknya. Karena Niara akan mengadakan pertemuan dengan kliennya, wanita itu sudah bangun bahkan sudah siap ketika masuk ke dapur.
Kenan yang sedang membuat kopi melirik Niara yang sudah berpakain kerja. Wanita itu menuruti perintahnya untuk tidak memakai sepatu tinggi, mengapa dia menurut? Karena sebagai gantinya Niara bebas memakai pakaian yang dirinya mau. Seperti saat ini misalnya.
Pakaian yang dikenakan Niara memang tidak seksi, hanya saja rok yang dikenakannya berada di pertengahan paha, yang mana membuat kaki wanita itu terlihat sangat memukau.
"Apa kamu tidak memiliki pakaian lain?"
Niara yang sedang meminum teh hijau memandang Kenan dibalik gelasnya.
"Kita sudah membahasnya oke?"
"Iya, hanya saja rok yang di kenakan olehmu terlalu atas, dan juga apa perutmu tidak sakit? Mengapa rok itu terlihat menekan perutmu?"
"Tidak, kandunganku masih kecil belum terlihat maka dari itu aku akan memanfaatkannya untuk memakai pakaian seperti ini, sebelum perutku membesar."
"Kamu sudah berkonsultasi ke dokter mengenai pakaianmu itu?"
"Mas Ken cerewet sekali, sudah lah aku mau pergi."
Niara melengos begitu saja setelah mengambil roti bakar di atas meja.
"Saya akan menjemputmu nanti sore,"
Niara berhenti di depan pintu.
"Tidak usah, aku mau pergi."
"Tidak boleh, karena saya harus menghadiri acara perusahaan dan kamu harus ikut."
Niara mendesah, dia tidak mau. Di sana pasti akan membosankan.
"Kalau aku tidak mau?"
"Kamu tau akibatnya."
Niara menghela napasnya, "baiklah tapi tidak usah menjemputku, kita bisa bertemu di sini."
Balas Niara yang langsung pergi meninggalkan Kenan yang menghela napasnya.
Ponsel Kenan yang berada di atas meja berdering, dia melihat nama si penelepon lalu mengangkatnya. Kenan membalikkan tubuhnya ke belakang, dia duduk di atas meja dengan salah satu kaki yang terangkay ke atas, dan satu lagi menahan.
"Hallo."
"Bisakah kau membantuku?"
"Ada apa?"
"Aku merindukanmu,"
"Ck kau ini."
"Jadi, apakah kau akan membantuku?"
"Menurutmu?"
"Aku menyayangimu,"
Kenan meringis mendengarnya.
"Baiklah aku akan menemui saat makan siang."
"Bagus, aku akan menunggumu di cafe biasa."
"Hn."
Dan setelah itu panggilan telepon itu berakhir, Niara baru saja melewati dapur dan dia jelas mendengar pembicaraan mereka. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyum, senyum yang sangat tipis.
Apakah wanita itu?
***