Bertemu Naresh

1067 Kata
Setelah dia mengucapkan hal itu, Daiva baru tersadar kalau Resti bisa hidup sendiri di sebuah kontrakan. Padahal gaji resti yang bekerja sebagai pegawai sebuah restoran tidak terlalu besar. Daiva juga yakin kalau dia bisa hidup sendiri di luar sana dengan sisa uang yang dia punya. Daiva akan mencari pekerjaan dan melanjutkan hidupnya tanpa Abiraka. “Iya. Aku harus bisa pergi dari rumah ini. Aku harus pergi sebelum pernikahan itu dilaksanakan. Aku tidak mau menuruti keinginan Kak Raka. Aku mau menikah dengan pria yang aku cinta, bukan dijodohi seperti ini. Aku akan pergi malam ini dan besok akan memulai hidup baru,” ucapnya lirih. Setelah memantapkan diri untuk pergi dari rumah, Daiva langsung berdiri dan mengemas beberapa pakaian yang dapat dia gunakan beberapa hari. Daiva masih belum tahu di mana dia akan tinggal. Namun, dia bisa mencari penginapan di pinggiran jalan. Sekarang dia harus pergi dari rumah sebelum Abiraka sadar akan kepergiannya. Satu tas berisikan beberapa pakaian dan barang berharga miliknya sudah siap. Perempuan itu mengecek arlojinya sendiri. Sekarang sudah pukul 01.10, Abiraka pasti sudah terlelap. Daiva harus memanfaatkan kesempatan ini untuk pergi. Kalau menunggu sampai pagi, Abiraka pasti bisa melihat Daiva yang pergi dari rumah dan dia pasti menahannya. Perempuan itu berjalan mengendap-endap keluar dari kamar. Air matanya mengalir saat melewati kamar Abiraka. Ada satu hal yang menyayat hati ketika dia harus pergi meninggalkan orang yang sangat dia sayang. Daiva tidak sanggup meninggalkan orang yang rela berkorban untuknya selama ini. Namun, dia juga tidak mau dipaksa menikah. “Maafkan aku, Kak Raka. Aku tidak bisa menuruti keinginanmu. Aku minta maaf harus meninggalkan kamu di rumah ini sendirian. Jangan hubungi aku untuk beberapa waktu! Aku sayang Kakak, sangat sayang ....” Daiva berbisik di depan pintu Abiraka. Setelah mengusap air matanya, Daiva langsung berjalan dengan langkah tegas keluar dari rumah. Hanya bermodalkan uang dua ratus di dompet Udara yang dingin langsung menusuk kulitnya yang putih. “Ke mana aku harus pergi? Aku tidak tahu di mana kontrakan terdekat.” Tidak ada angkutan umum yang lewat saat itu. Akhirnya, Daiva hanya menyusuri trotoar dengan langkah gontai. Dia bingung harus pergi ke mana. Daiva belum menyiapkan rencana apa pun selain mencari kontrakan. Namun, dia tidak tahu daerah mana yang ada banyak kontrakan. Daiva memutuskan untuk duduk di depan salah satu ruko pinggir jalan. Dia memegang foto dirinya dan Abiraka. Sungguh berat hatinya meninggalkan Abiraka di rumah sendirian. Bagaimana nanti Abiraka hidup? Siapa yang akan memasak untuknya? Daiva harus menghalau seluruh kekhawatirannya pada Abiraka. Dia harus fokus pada misinya untuk pergi dari rumah. “Tidak akan ada kontrakan yang buka sekarang. Aku harus istirahat. Besok aku akan mencari informasi kontrakan.” Perlahan-lahan matanya mulai memejam. Daiva terlelap. *** Daiva terbangun di sebuah kamar yang dipenuhi dengan warna cokelat. Dinding yang dicat dengan warna cokelat mirip dengan warna kayu dan beberapa furnitur yang berwarna cokelat juga. Satu pertanyaan yang terlintas di benaknya saat ini, di mana dia berada sekarang? Perempuan itu menegakkan tubuhnya dan melihat sekitar. Daiva tidak lupa kalau semalam dia tidur di depan sebuah ruko pinggir jalan dalam posisi duduk. Sekarang dia bingung dengan keadaannya. “Di mana aku? Siapa yang membawaku ke sini? Apa yang terjadi semalam? Mengapa aku tidak sadar kalau dipindahkan?” tanya Daiva dengan nada pelan. Daiva mengedarkan pandangan matanya ke setiap sudut kamar. Perempuan itu melihat sosok pria yang sedang tertidur di sofa dekat pintu. Sontak dia memeriksa seluruh keadaan tubuhnya. “Syukurlah. Semuanya masih lengkap. Tidak ada yang terlepas dan tidak ada yang berubah.” Daiva masih menggunakan pakaian yang sama dengan semalam. Sekarang dia bertanya-tanya mengenai pria yang sedang tertidur pulas di atas sofa. Siapa pria itu? Apa niatnya membawa Daiva ke sini? Apa dia berniat jahat pada Daiva? Sayangnya, tidak ada jawaban yang Daiva temukan. Setelah berkutat dengan pertanyaan yang melayang di pikirannya, Daiva berjalan mendekati pria itu. Dia tidak mengenalnya sama sekali. Daiva yakin kalau pria di depannya adalah pria kantoran yang pastinya tampan. Daiva melihat celana bahan formal yang terpasang di tubuhnya. Namun, tubuh atasnya ditutupi selimut tebal. Daiva yakin kalau dia adalah pria yang membawanya ke sini. “Aku tidak boleh terlalu lama di sini, apa lagi hanya ada aku dan dia. Kalau dia bangun dan berbuat jahat, tidak akan ada yang mau menolongku. Aku harus segera pergi,” kata Jesika dengan nada sangat pelan. Daiva berjalan ke arah pintu setelah mengambil tas besarnya di samping kasur. Sayang sekali, pintunya terkunci dan tidak ada kunci yang terlihat di sekitar. Perempuan itu frustrasi karena tidak bisa menemukan kunci pintunya. “Ke mana kuncinya?” Beberapa menit Daiva habiskan hanya untuk memeriksa setiap laci di sana. Namun, dia tidak menemukan satu kunci pun. Sekarang dia bisa menyimpulkan kalau kunci pintu pasti berada di pria yang masih tertidur. “Aku harus bagaimana ini? Membangunkannya dan meminta kunci pintu karena aku ingin pergi? Sepertinya dia tidak akan mau memberikannya dengan mudah,” kata Daiva. Setelah ucapannya selesai, pria itu bangkit dan duduk di sana. Dia meregangkan badannya beberapa saat lalu menoleh ke arah Daiva. Pria itu tersenyum. “Hai!” Daiva yang melihat pria itu tersenyum hanya bisa membalasnya dengan mendengkus. Dia kesal karena pria itu yang membawanya ke sini tanpa izin. Sekarang dia terjebak di dalam kamar hanya berdua dengan pria yang tidak dia kenal. “Siapa Anda?” tanya Daiva yang bernada ketus. Pria itu berdiri dan sontak selimut yang tadi menutup tubuhnya terlepas. Tubuh gagah yang dimiliki pria itu terekspos sempurna dan dapat dilihat secara gratis oleh Daiva. Perempuan itu dapat melihat semuanya; d**a yang bidang, perutnya yang kotak-kotak, bulu halus di sekitar perut dan terus turun ke bawah. Daiva langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia tidak mau terlihat seolah menikmati pemandangan tubuh pria di depannya. “Selimut Anda jatuh. Setidaknya pakai kaus dulu! Hanya ada kita berdua di kamar ini. Jangan sampai setan masuk ke sini dan membutakan pikiran Anda!” Perkataan Daiva sukses membuat pria itu tertawa. Dia tidak sangka kalau perempuan di depannya tidak tergoda dengan badannya yang sempurna. “Baiklah, Nona. Saya akan memakai kaus dulu.” Daiva berjalan ke arah sofa. Hanya tempat itu yang belum dia cari. Penuh harap dia akan berjumpa dengan kunci pintu. Namun, sayangnya tidak ada kunci pintu di sana. “Kamu mencari ini?” tanya pria itu sambil mengangkat sebuah kunci pintu. Daiva membuang napas kasar setelah melihatnya. Dia tidak sangka kalau kunci pintunya benar-benar disimpan rapi oleh pria yang membawanya ke sini. “Berikan kunci pintu itu!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN