9. Tentang perasaan

1997 Kata
Sedari tadi Arjun hanya bisa memandangi perut kotak-kotak yang sudah dia miliki karena selalu rajin olahraga. Apalagi ditunjang dengan latihan fisik setiap hari supaya bisa masuk kepolisian juga menambah sixpack otot-otot perutnya. Jika dilihat-lihat, Arjun memang memiliki tubuh yang proporsional banget. Apalagi jika dilihat dia hanya seorang mahasiswi psikologi yang berharap bisa lolos penerimaan Bintara POLRI. Bima—kakak laki-laki Arjun itu hanya bisa tertawa sambil terus memperhatikan apa yang sedang Arjun kerjakan. Sejak tadi, Arjun hanya memandang perutnya dan mengangkat kedua lengannya hanya untuk memastikan jika ototnya memang sudah mulai terbentuk dengan sempurna. "Daripada taruna-taruna itu, aku jauh lebih sixpack. Kalau cuma pakai seragam ketat begitu, aku juga bisa. Memangnya harus ya dia sampai ngelihatin mereka nggak pakai kedip sama sekali. Merasa terhina aku kalau Rindi lebih memilih fokus sama taruna pesiar tadi," gerutu Arjun yang tidak sadar jika pembicaraannya dengan diri sendiri itu di dengar oleh Bima. Laki-laki yang berumur lebih tua empat tahun darinya itu langsung membuka pintu kamar Arjun lebar-lebar dan masuk ke kamar adiknya itu tanpa permisi sama sekali. "Hm, ngapain kamu Jun? Kurang kerjaan," ucap Bima dengan wajah tak habis pikir. Dia kira, dengan masuknya Arjun ke jurusan psikologi akan sedikit memperbaiki otaknya. Namun ternyata, kewarasannya malah semakin hilang begini. Arjun langsung memakai kaosnya begitu menyadari masnya berada di dalam kamar miliknya dengan tertawa. Lagi-lagi Bima memergoki dirinya melakukan hal-hal yang cukup aneh. Niatnya sih tadi hanya untuk melampiaskan kekesalan karena Rindi yang fokus pada laki-laki tinggi dengan seragam warna coklat di Malioboro tadi. Eh, malah Bima datang ke kamarnya dan melihat dia sedang memperhatikan otot perutnya yang memang sudah terbentuk. "Cuma lagi nonton otot perut aja, mas. Terus mas ngapain ke sini?" tanya Arjun yang sekarang duduk di atas kasurnya. Kasur yang selama beberapa hari ini tidak dia tiduri karena tidak pernah pulang ke rumah. Dia memang banyak menghabiskan waktunya di kost karena sibuk mengerjakan tugas dan harus wara-wiri ke kampusnya untuk mengerjakan ini dan itu. Maklum orang sibuk! Bima juga akhirnya memilih untuk duduk di kursi belajar yang ada di kamar Arjun, "hm, ada yang baru ya? Perasaan aku nggak pernah lihat kamu kaya begini? Jangan-jangan kamu udah punya pacar yang enggak kamu ceritakan sama mas atau ibu bapak ya?" selidik Bima yang membuat Arjun mendengus. Arjun menatap ponselnya yang hening karena Rindi sudah tidur sejak tadi. Karena dia harus pulang ke rumah, jadi memakan waktu sekitar satu jam setengah dan membuat gadis itu harus pamit tidur duluan. Kedua bola matanya kini terfokus pada Bima yang sedang mencari tahu semua kecurigaannya pada Arjun. "Belum! Tapi ada sih yang baru aku deketin mas, cuma waktunya belum tepat aja untuk bilang. Oh ya, mas kan jurusan matematika nih. Menurut mas, anak-anak matematika kalau suka sama orang yang disukai pertama itu apanya?" tanya Arjun yang saat ini berubah antusias. Bima menaikkan sebelah alisnya, "oh, sekarang mainnya sama anak mathematics," goda Bima sambil tertawa karena melihat Arjun yang tiba-tiba jadi salah tingkah sendiri. Setahunya, adik laki-laki satu-satunya itu tidak pernah mendekati perempuan lagi semenjak kelas dua SMA. Tepatnya setelah Arjun disakiti oleh mantan terakhirnya dengan cara diselingkuhi. Arjun memang memiliki kisah percintaan yang tragis. Dulu saja mereka menyakiti Arjun karena dia laki-laki yang polos. Apalagi dia memang punya wajah yang ganteng dan senyuman yang manis. Jaman sekolah, dia sangat terkenal karena salah satu atlit anggar dan juga penjaga gawang super keren yang dimiliki SMA-nya. Maka dari itu Arjun selalu menjadi idola anak-anak cewek. Tapi, ganteng ternyata tidaklah jaminan kebahagiaan. Setiap dia memiliki pacar, dia hanya akan dimanfaatkan. Apalagi mereka hanya melihat dari fisik Arjun yang memang menjadi idaman siapapun. Arjun juga bukan laki-laki yang kurang ajar dan punya banyak teman karena baik. Tapi semenjak dia banyak dicurangi, Arjun perlahan menutup hatinya rapat-rapat dan tidak mau lagi menjalin hubungan semu seperti pacaran. Dia sudah lelah! Arjun mengambil ponselnya dan membuka galeri fotonya, lalu dia menyodorkan ponselnya yang memperlihatkan wajah Rindi yang sedang tersenyum ke arah Bima. Baru setelah itu Bima mengamati bagaimana pilihan adiknya sekarang yang berbeda dengan barisan para mantan Arjun sejak SMP dulu. "Beda dari cewek-cewek yang kamu pacarin dulu. Dia sih jauh kelihatan lebih jutek dan nggak aneh-aneh. Dandanannya enggak menor sama sekali dan tentunya kalau aku lihat sekilas, dia itu jiwa-jiwa cewek pemikir." jawab Bima yang sok menganalisis dari garis wajah Rindi. Padahal Rindi itu memang jenis perempuan pemikir dan terlalu banyak menafsirkan sesuatu. Arjun mengangguk dan kembali menyimpan ponselnya, "emang beda mas, dia nggak sama kaya mantan-mantanku dulu. Dia itu tipikal cewek yang gampang banget berubah-ubah mood-nya. Nggak tahu masalah apa, kadang tiba-tiba bisa bete gitu. Aku yang nggak suka perempuan ribet, jadi tertarik sama dia. Enggak tahu kenapa, tapi sifatnya dan caranya memahami aku itu jauh lebih bikin aku tertarik." ucap Arjun yang memikirkan Rindi di dalam otaknya. Walaupun Rindi bukan perempuan yang cantik dan sempurna. Tapi Rindi adalah perempuan yang bisa menjadi teman, ibu, saudara, musuh dalam waktu yang bersamaan. Bima menepuk pundak Arjun pelan, "menaklukkan cewek kaya dia itu gampang. Cuma dengan keseriusan dan juga sebuah kesuksesan. Apalagi aku sempat dengar kamu nggerutu soal taruna. Berarti dia emang suka cowok yang udah pasti kan kerjanya apa dan jadi apa. Kamu sebagai mahasiswa gini, belum pasti masa depanmu, brother. Tapi, kalau kamu berhasil masuk polisi, aku yakin kalau dia nggak akan bisa ngelak. Tapi jangan nganggep dia matre, mungkin dia juga lelah berharap dengan ketidakpastian." jawab Bima yang membuat Arjun mengangguk. Mungkin ada benarnya omongan Bima untuk Arjun. Karena Rindi juga sangat membutuhkan sebuah hal yang pasti. Maka dia juga akan berusaha keras untuk lolos dalam tahap selanjutnya. Karena bagi seorang Arjuna, Rindi adalah segalanya yang perlu dia perjuangkan. "Intinya, kamu harus memantapkan hati. Tanya sama hati kecilmu itu, rasa cintamu sekarang ini buat siapa. Kalau buat cewek itu, aku harap pilihan kamu nggak akan salah," ucap Bima lalu mengelus kepala Arjun dan berjalan ke arah pintu. Arjun hanya bisa tersenyum, walaupun mereka kadang sering berantem, tapi nyatanya saudara memang jauh lebih baik dari seribu teman yang kita punya. Bima memang kakaknya yang selalu mengerti apapun yang dia mau. Soal hatinya untuk siapa, sepertinya tidak perlu dibahas lagi karena Arjun sudah yakin dengan pilihannya. Rindi, adalah pilihannya. ### "Arjun, aku nge-fans banget lho sama kamu sejak jaman awal aku ngelihat kamu jadi pembawa acara di acara BEM semester lalu," ucap seorang perempuan dengan pakaian korsa warna biru dan bertuliskan program studinya yaitu pendidikan fisika. Arjun hanya tersenyum kikuk, pagi-pagi dia sudah di datangi oleh orang tidak dikenal seperti ini. Karena jujur saja, Arjun tidak mengenal perempuan yang selalu menyapa dirinya. Mulai dari anak fakultas psikologi sampai anak-anak dari fakultas dan program studi yang lainnya. Kecuali jika dia ikut organisasi yang sama dengannya mungkin kemungkinan dia kenal cukup besar. Buku-buku psikologi dengan sampul biru itu dia tutup untuk menghormati orang yang sedang mengajaknya bicara itu. Walau dia tidak kenal dan baru saja tahu jika dia punya fans dari FKIP—Fakultas Kegurusan dan Ilmu Pendidikan. Tapi yang menjadi fokus Arjun adalah, bukannya sekarang masih ujian, kenapa perempuan ini sudah sampai kampusnya saja? Arjun menyeruput s**u di dalam cup yang dia beli di kantin tadi seraya melihat ke arah gadis itu dengan tatapan bingung. Gadis itu seakan sudah menemukan sesuatu yang selama ini dia cari. Ah, siapa yang tidak mengenal Arjun? Semua juga tahu jika anak itu adalah kebanggaan BEM karena multitalent. Dia serba bisa dan tanggap dalam segala hal. Maka dari itu Dirga lebih mengutamakan Arjun meski dia hanya seksi acara saja. "Btw, aku sedikit lupa soal kamu. Maaf ya, tapi apa kita pernah satu ruangan atau satu tim gitu sebelumnya? Nggak enak kalau kamu kenal aku tapi akunya lupa atau malah nggak kenal," ucap Arjun dengan tersenyum tipis. Sedangkan perempuan itu hanya bisa menikmati senyuman laki-laki yang sudah dia idam-idamkan sejak dulu. "Kita nggak pernah ketemu sih dan ngobrol secara langsung. Ini first time buat aku, jadinya aku agak gugup juga. Aku kira kamu bakalan antipati sama orang. Ternyata kamu orangnya emang selalu welcome sama orang baru ya. Jadi makin kagum," ucapnya lagi yang membuat Arjun hanya manggut-manggut. "Kenalin, namaku Sofia. Mungkin kamu heran kan karena aku bisa di sini padahal sekarang ujian. Sebenarnya aku ada acara juga, jadinya terpaksa nggak ikutan ujian." jawabnya antusias padahal Arjun sama sekali tidak bertanya. Dan kebersamaan keduanya itu terekam dengan jelas di depan Lusia. Perempuan itu meremas roknya tidak terima. Mungkin jika di depan sana adalah Rindi, dia tidak akan berani karena dia jelas tahu Arjun sangatlah jatuh cinta pada Rindi. Tapi jika ada perempuan ganjen yang sedang duduk bersama Arjun, bukan berarti Lusia akan diam saja. Dia tidak terima jika Arjun di dekati gadis yang sok manis dengan senyumannya yang dibuat-buat. Lusia memasukkan bukunya ke dalam tas. Agenda belajar yang sudah dia rencanakan sejak tadi gagal karena melihat Arjun yang digoda perempuan. Apalagi dia tahu betul jika Arjun nampak risi dan tidak suka. "Arjun," suara Lusia kini sudah mendominasi tempat itu. Untung koridor masih sepi karena masih pagi untuk para mahasiswa yang biasanya suka datang mepet di jam masuk saja. Keduanya langsung menoleh ke arah suara termasuk Arjun yang sudah tahu sebenarnya siapa orang yang memanggilnya. Lusia dengan sikap angkuhnya sudah berjalan ke arah keduanya. Sedang Sofia hanya memasang wajah tidak suka. Dia jelas tahu soal rumor kedekatan antara Arjun dan Lusia yang santer di bicarakan anak-anak BEM dan juga beberapa organisasi yang lainnya. Bagaimana tidak? Arjun adalah ikon dari cowok paling ganteng di BEM, sedangkan Lusia adalah ikon cewek paling cantik di BEM. Keduanya juga sering terlibat dalam satu acara bersama. Percaya atau tidak, acara akan lebih hidup jika dibuka dengan wajah-wajah tampan dan cantik tentunya. Bagaimana sepak terjang keduanya, Sofia paham. Maka dari itu, banyak yang membenci Lusia karena dia dianggap terlalu memonopoli Arjun. Padahal Arjun sendiri sedang mendekati perempuan yang mereka sebut sebagai PHO—Perusak Hubungan Orang, antara Arjun dengan Lusia. "Siapa sih kamu? Nggak usah sok akrab sama Arjun. Arjun pasti nggak kenal kan sama kamu?" tandas Lusia dengan sadis. Lagi-lagi Arjun hanya bisa menepuk dahinya pelan. Dia sudah tahu jika akan ada semacam perang dingin antara keduanya. Sofia berdiri dengan wajah sok sombongnya, "emang kamu juga siapa sok banget marah-marah. Oh hampir lupa, kamu cuma temannya Arjun ya?" ucap Sofia tidak mau kalah. Sedangkan Lusia yang mulai terbakar emosinya semakin mengepalkan tangannya. "Hm, nggak bisa jawab kan? Selama Arjun masih jomblo, dia itu milik bersama," ucap Sofia pelan namun berhasil membuat Lusia diam. Wajah perempuan itu seakan sudah merah padam karena emosinya sudah di ubun-ubun. Lusia maju dan mendorong Sofia dengan telunjuknya, sesekali kedua perempuan itu menoleh ke arah Arjun yang berdiri disamping keduanya. Laki-laki itu menarik keduanya untuk saling menjauh. "Kalian apa-apaan sih. Enggak udah pakai acara berantem segala deh. Malu dilihatin yang lainnya, sebentar lagi kita mau ujian juga. Nggak usah buang-buang tenaga," tegas Arjun yang tidak digubris keduanya. Lusia tersenyum miring, "halah, kamu yang minta kenalan sama Arjun duluan. Emangnya aku nggak lihat semuanya, enggak malu apa? Tuh lihat mukanya Arjun yang nggak suka kamu deket-deket sama dia, nyadar dong kalau kamu nggak lebih pantas dari aku buat ada disamping dia," ucap Lusia dengan percaya diri. "Dasar perempuan kurang aj—" tangan Sofia hampir melayang mengenai pipi Lusia jika saja jemari Rindi tidak menahan lengan Sofia. Arjun mengusap wajahnya kasar, pasti Rindi akan mengamuk padanya. Apalagi jika melihat kejadian semacam ini. "Nggak perlu pakai kekerasan untuk menyalurkan emosi. Kalau diantara kalian nggak ada yang mengalah, maka masalah akan terus menjadi masalah." ucapnya dengan pelan lalu melepaskan jemarinya dari lengan Sofia. Rindi melangkah pergi setelah melirik Arjun kurang dari lima detik, "mau kemana? Rindi? Aku mau ngomong," ucap Arjun dengan berlari di belakang perempuan itu. Kedua perempuan itu saling menatap bingung. Acara mereka sudah usai dengan adanya drama baru antara Rindi dengan Arjun yang sudah mulai menghilang dari pandangan mereka. "Siapa?" tanya Sofia ke arah Lusia dengan isyarat mata. Sedangkan Lusia hanya bisa menghela napasnya kasar. "Cewek yang penting buat Arjun. Cewek yang dia cintai! So, aku dan kamu nggak akan pernah punya kesempatan untuk bisa dapetin Arjun. Jadi, lebih baik kita sama-sama menyerah mulai sekarang. Karena tahta tertinggi dari perasaan cinta, adalah merelakan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN