MC 1 - Panca
Sungguh keadaan seperti ini tidak pernah dibayangkan oleh Panca. Harusnya saat ini dirinya berada di kantornya, tapi yang terjadi justru keadaanya kini begitu menyedihkan. Tangan dan kakinya terikat dengan kuat, kedua matanya ditutup, bahkan lakban pun menempel dengan sempurna di bibir merah alaminya. Diculikkah atau dirinya sedang kena prank oleh teman-teman yang mengerjainya—dengan dalih memberi kejutan atas peresmiannya menjadi CEO.
Entahlah, Panca tidak tahu. Hawa dingin menyergap tubuh, membuat Panca sedikit menggigil kedinginan. Sepi dan sunyi. Saat ini Panca hanya bisa mengandalkan indera pendengarannya untuk mendeteksi di mana kini ia berada. Yang Panca ingat hanyalah saat dirinya menolong seseorang di basemen parkir, lalu seseorang yang membekapnya dari belakang. Dan, dirinya sadar dalam keadaan mengenaskan sekarang ini.
Saat mendengar suara langkahan kaki, Panca berpura-pura untuk kembali tertidur.
“Hebat lo Ta bisa berhasil ngecoh ini laki.”
Suara siapa? Mengecoh siapa? Dirinya kah? Panca sama sekali tidak mengenalnya.
“Enggak sia-sia rencana si Bos. Kita berhasil! Bonus gede nih!” gelak tawa membahana. Hawa yang semula dingin berubah menjadi lebih ngeri bagi Panca yang tidak pernah dalam posisi seperti ini. Berbagai pikiran buruk mulai datang. Apa yang akan terjadi pada dirinya.
“Bas! Elo bisa diem enggak, sih! ini cowok mulus banget, ya, orang kaya perawatannya emang beda. Enggak kaya kita-kita, nih, sabun mandi, sabun cuci muka, sabun c**i pun sama!” kembali tawa dari beberapa orang terdengar karena ucapan sarkas salah satu dari mereka.
“Ta, elo jangan diem aja. Kenapa? Lo suka sama ini cowok? Iya, sih, wajahnya kayak mas-mas Korea.”
Senyap …
Panca mendengar suara langkah kaki yang perlahan mendekatinya, membuat degup jantung Panca bertaluan kencang. Tangannya yang diikat di depan saling menggenggam, dan kini mulai berkeringat dingin.
Sial! Panca benci keadaannya yang lemah. Selama ini dirinya selalu berkuasa dengan segala apa yang dia miliki. Sejak kecil Panca tidak pernah terlihat lemah, tapi dalam keadaan yang memaksanya buta akan sekitarnya saat ini, membuat Panca cemas setengah mati. Terlebih lagi, langkah kaki yang didengarnya itu seakan mengiris perutnya perlahan, menyayat keberanian Panca yang semakin ciut.
Sungguh! Siapa pun orang yang sedang berjalan mendekat ke arahnya, Panca akan membuat perhitungan dengan orang ini kelak!
Langkah kaki itu berhenti tepat di depannya. Dalam sekian detik, dapat Panca rasakan embusan napas seseorang. Tidak ada pergerakan yang menyakiti dirinya. Panca hanya bisa menduga-duga apa yang sedang dilakukan oleh seseorang yang kini sepertinya sedang berjongkok tepat di hadapannya.
“Dia udah sadar!” suaranya terdengar dingin, tegas dan juga … indah.
Sial! Seseorang yang membuat Panca ketakutan setengah mati adalah seorang perempuan!
***
Dua minggu sebelum penculikan
Lantunan lagu dari Band New Hope Club mengalun merdu, membuat anggota tubuh bergerak seakan memberikan sihir bagi pengunjung yang memadati area dance floor lounge & resto yang sengaja disewa private untuk merayakan ulang tahun seorang putri dari salah satu crazy rich negeri ini. Belinda Hopkins—yang juga dikenal sebagai salah satu pengusaha muda di bidang kecantikan dan clothing line.
Dengan diiringi lagu yang berjudul love again—yang dinyanyikan oleh ketiga pemuda yang berasal dari United Kingdom itu, tampak sang tuan rumah menikmati pestanya—sembari kepalanya bersandar di lengan sang kekasih dan mereka menggerakkan tubuhnya pelan mengikuti irama lagu. Tamu undangan memang tidak sedikit tapi juga tidak padat tapi cukup ramai, bahkan tamu undangan yang juga banyak dari kalangan perempuan berteriak histeris tiap ketiga pemuda brondong asal negara Ratu Elizabeth itu menyanyikan bagian refrain sambil melemparkan senyum.
Pemandangan menggelikan itu tidak lepas dari mata sipit nan tajam seorang pemuda dengan wajah bak tokoh anime Jepang. Tatapannya pongah, bibirnya tipis kemerahan, rambutnya berwarna hitam gelap—kini ia sedang bersedekap malas setelah meneguk sedikit wiski cola.
“Pak CEO, awas itu bola mata lompat keluar terus mendal-mendal kayak bola pingpong,” ucap salah satu temannya yang duduk di seberangnya.
Kemudian temannya yang lain menyahut, “Mata inda bola pingpong—“ lantas mereka tertawa, padahal yang sedang diejek sama sekali tidak merespons selain hanya memutar bola matanya, kemudian kembali menoleh ke arah dance floor.
“Sayang, ya, gue enggak bisa nyanyi dan main gitar kayak gitu, kalau bisa gue juga bakalan bikin band, lagian wajah gue layak disandingkan dengan mereka atau malah boyband Korea.”
“Ah elah, bengeut sia mah ciga Ariel Noah kerendem air kobokan,” sahut temannya lagi yang disambut dengan gelak tawa dari kursi VIP tersebut. Baldin—laki-laki yang dihina oleh teman-temannya itu—disamakan dengan air kobokan—hanya tersenyum masam, dan mengalihkan tatapannya tidak sengaja ke arah pintu masuk.
Netra Baldin cukup terkejut melihat seseorang yang baru masuk ke dalam lounge ini. “Ca … itu sepupu lo si Rendi ‘kan?” tanya Baldin sembari menepuk cukup keras lengan kanan atas Panca—membuat Panca yang sedang menyesap wiski cola-nya tersedak.
“Lo apa-apaan, sih, Din!” hardik Panca kesal, kemudian mengambil sapu tangan di dalam saku celana bahannya dan membersihkan sedikit cairan alkohol yang menetes di kemejanya.
“Itu—ngapain si Rendi ke sini? Emang dia kenal sama Mahadewi Belinda Hopkins? Lihat tuh gelagat sepupu lo, celingak-celinguk, nyari apaan sih?”
Mendengar ocehan Baldin yang tidak berhenti, Panca pun mengalihkan pandangan pada pintu masuk. Ia mengernyitkan dahi atas sikap tubuh Rendi—sepupunya—yang tampak sedikit menahan emosi, entah karena apa. Panca pun hanya mengedikkan bahunya, tak acuh, toh dirinya juga tidak sedekat itu dengan Rendi meski status mereka adalah sepupu dari garis ibunya. Bahkan bisa dikatakan dirinya dan Rendi—atau lebih tepatnya adalah keluarga Rendi, tampak iri dengan Panca dan ibunya, karena Panca yang berhasil menduduki kursi CEO dan memegang perusahaan utama keluarga.
“Biarin ajalah, ngapain sih lo heboh,” ujar Panca.
Baldin tampak tidak suka dengan respons Panca yang acuh dan kembali menatap seorang gadis yang sejujurnya membuat Baldin merasa jengah. Semakin kesal pula hati Baldin melihat ketiga temannya yang lain malah asyik berpagut mesra dengan teman kencannya yang dibawa ke pesta ini.
“Jadi, elo nggak pernah tahu gosip,” ucap Baldin dengan nada tanya dan penuh penekanan. Berharap ucapannya kali ini akan memicu perhatian Panca.
Meneguk sedikit botol alkoholnya yang berasa mirip dengan minuman soda itu, Panca pun menoleh pada Baldin dengan alis kanannya yang diangkat. “Gosip apa?”
“Sepupu lo, si Rendi itu sudah menikah, dan tepat sehari setelah mereka malam pengantin … istri Rendi itu kabur.” Baldin bercerita penuh antusias.
“Ngaco! Enggak mungkin lah si Rendi udah nikah, kalau dia udah nikah, udah jelas dia yang bakal menjabat jadi CEO perusahaan keluarga gue.”
“Informan gue terpercaya, malah dia waktu itu pernah ngirim bukti foto pernikahannya Rendi.”
“Halah paling informan lo juga si lebah Vanya ‘kan? Vanya aja lo percaya.” Panca menampik segala fakta yang dikemukakan Baldin. Karena jelas waktu itu kakeknya sempat mengutarakan bahwa siapa yang terlebih dulu menikah, maka dia yang akan menjadi CEO. Nyatanya beberapa bulan setelahnya, ide sang kakek menguap entah ke mana, karena justru saat ini dialah yang telah menjabat menjadi CEO secara informal sejak dua minggu ini. Karena pelantikan resmi akan dilaksanakan pada dua minggu lagi sesuai jadwal kesepakatan para pemegang saham baik dari internal dan eksternal.
“Elo itu harusnya percaya, karena gue kayak pernah lihat itu istrinya Rendi, tapi di mana gitu, lupita gue.”
“Paling juga wajah istrinya Rendi mirip sama cewek ONS lo ‘kan?”
“Dasar Caca kroco lo! Gue ini alim, tongkat sakti gue belum pernah terjamah oleh siapa pun kecuali tangannya Gigi Hadid!” ujar Baldin tak terima.
“Apa?! Eli Sugigi lo bilang mirip Gigi hadid?” timpal Panca dengan gelak tawanya, membuat Baldin masam tapi mata Baldin tetap fokus pada Rendi.
“Ngobrolin apa , sih, sampai bahagia gitu?” suara lembut dari seorang wanita menyapa lembut telinga panca. Velia—kekasih Panca—kini sudah duduk di sebelah Panca dengan tangan kanannya mengusap lembut pipi kiri Panca yang masih betah tertawa.
“Itu si Baldin sekarang udah kayak host acara-acara gosip, masa dia bilang Rendi udah nikah.” Panca menggeleng keheranan dengan senyuman geli membayangkan Rendi benar-benar telah menikah. Velia yang mendengar perkataan Panca menatap Baldin dengan bola matanya yang melebar.
“Serius Bal, lo bilang Rendi udah nikah?” Velia pun tampak ikut penasaran. Baldin hanya mengedikkan bahu menjawab pertanyaan Velia. Dirinya sudah kesal bila harus kembali mengulang cerita. Velia mendengus karena tidak mendapat respons dari Baldin, Panca pun masih tersenyum geli melihat temannya itu kini malah sedang bermuka masam.
“Udah biarin aja, gosip Baldin jangan didengerin, lagian juga ‘kan udah pasti aku yang akan dilantik secara resmi menjadi CEO,” ucap lembut Panca kemudian mengecup pipi kanan Velia, yang direspons wanita tersebut dengan wajahnya yang merona malu. Tangan Panca menggenggam lembut kekasihnya itu, tapi tangan kanan satunya masih memegang botol wiski cola-nya yang sudah tersisa sedikit.
Velia menatap Panca dalam, kemudian netranya beralih mencari sosok Rendi. Velia bisa merasakan gempuran dahsyat dalam dirinya saat matanya menangkap sosok Rendi. Dengan cepat Velia menunduk saat terlihat sosok Rendi yang berjarak cukup dekat dengannya. Untuk menghilangkan kegugupan dalam dirinya, Velia pun mengenggam erat telapak tangan Panca—seperti mencari perlindungan pada kekasihnya itu. Velia berharap Rendi tidak akan merusak suasana hatinya dan membuatnya ketakutan.